Di bawah cahaya bulan, istana di lembah tersembunyi menjadi saksi kelahiran seorang bayi istimewa. Erydan dan Lyanna, pengemban Segel Cahaya, menyambut putri mereka dengan perasaan haru dan cemas.
"Dia adalah harapan terakhir kita," ujar Erydan, matanya menatap tanda bercahaya di punggung kecil bayi itu.
Lyanna menggenggam tangannya. "Tapi dia masih bayi. Bagaimana jika dunia ini terlalu berat untuknya?"
Erydan menjawab lirih, "Kita akan melindunginya."
Namun di kejauhan, dalam bayang-bayang malam, sesuatu yang gelap telah bangkit, siap mengincar pewaris Segel Cahaya: Elarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon monoxs TM7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Tanda Awal Kehancuran
Langit terus bergemuruh di atas mereka, memancarkan kilatan cahaya yang seakan mengoyak malam. Suasana menjadi semakin tegang. Elarya berdiri di tengah reruntuhan hutan dengan tubuh yang bergetar, bukan karena dingin, tetapi karena perasaan aneh yang tumbuh di dalam dirinya. Segel cahaya yang selama ini melindunginya kini seperti pedang bermata dua—sumber kekuatan sekaligus ancaman bagi dirinya sendiri.
Kael, meski kelelahan, tetap berdiri gagah di sisinya. “Kita tidak bisa terus di sini,” katanya sambil melirik ke arah hutan gelap yang masih dipenuhi makhluk bayangan. "Mereka hanya akan terus berdatangan. Kita harus menemukan tempat berlindung."
Elarya mengangguk, meskipun pikirannya masih kacau. "Tapi... ke mana kita harus pergi? Sepertinya setiap langkah yang kita ambil selalu diawasi."
Kael menggenggam tangan Elarya dengan lembut namun tegas. "Percayalah padaku. Aku akan menemukan jalan keluar."
Namun, langkah mereka baru saja dimulai ketika bumi kembali bergetar, kali ini lebih hebat dari sebelumnya. Di depan mereka, tanah retak, dan dari dalamnya muncul makhluk raksasa dengan tubuh yang dipenuhi duri dan mata merah menyala. Suara raungannya menggema, mengguncang udara di sekitar mereka.
Elarya mundur beberapa langkah, matanya melebar. "Apa itu?"
Kael menarik pedangnya, bersiap menghadapi ancaman baru. "Entahlah, tapi jelas mereka tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja."
Makhluk itu, yang tampaknya menjadi pemimpin pasukan bayangan, mengarahkan pandangannya ke Elarya. Dengan suara yang berat dan menggelegar, ia berkata, "Putri Cahaya, kau tidak akan bisa melarikan diri. Takdir sudah memanggilmu."
Elarya merasakan tekanan luar biasa di dadanya. Segel di tubuhnya berdenyut keras, seakan merespons panggilan makhluk itu. Ia menggenggam erat tempat segel itu berada, mencoba menahan energi yang semakin liar.
"Elarya, jangan dengarkan dia!" seru Kael sambil menyerang makhluk itu dengan pedangnya.
Namun, serangan Kael tidak cukup untuk melukai makhluk itu. Tubuhnya terlalu keras, dan setiap serangan hanya memantul seperti mengenai baja. Sebaliknya, makhluk itu mengayunkan lengannya yang besar, hampir menghantam Kael jika ia tidak bergerak cepat.
Sementara itu, Elarya mulai merasakan kekuatan dalam dirinya kembali bangkit, meskipun tidak sepenuhnya stabil. Cahaya dari segelnya mulai memancar lagi, meski redup. "Aku tidak bisa terus lari," pikirnya. "Aku harus melawan, apapun risikonya."
Dengan segenap keberanian, Elarya mengangkat tangannya, mencoba mengeluarkan kekuatan dari segel itu. Namun, seperti sebelumnya, segel itu terasa menolak. Cahaya yang keluar hanya sedikit, seperti percikan api yang hampir padam.
Makhluk itu tertawa, suara gelapnya memenuhi udara. "Kau bahkan tidak bisa mengendalikan kekuatanmu sendiri. Bagaimana kau berharap melawanku?"
Elarya menggigit bibirnya, merasa putus asa. Namun, sebelum ia benar-benar menyerah, Kael kembali berdiri di depannya, meskipun tubuhnya penuh luka. "Jangan biarkan dia meruntuhkan semangatmu, Elarya. Kau lebih kuat dari yang kau pikirkan."
Kata-kata Kael, meskipun sederhana, berhasil membangkitkan tekad Elarya. Ia menutup matanya, mencoba fokus, mengabaikan suara makhluk itu dan kekacauan di sekitarnya. Dalam keheningan batinnya, ia mendengar sesuatu—sebuah suara lembut yang berasal dari dalam dirinya sendiri.
“Segel ini adalah bagian darimu, Elarya. Kau hanya perlu mempercayainya.”
Elarya membuka matanya perlahan, dan kali ini cahaya dari segelnya mulai tumbuh dengan lebih kuat. Makhluk itu mundur beberapa langkah, tampak terganggu oleh pancaran cahaya tersebut.
"Mustahil!" raungnya. "Kau tidak akan bisa mengalahkan kami!"
Namun, sebelum Elarya bisa menggunakan kekuatannya sepenuhnya, suara ledakan besar terdengar dari kejauhan. Sebuah lubang besar muncul di langit, dan dari dalamnya turun sosok berjubah hitam yang mengeluarkan aura lebih menakutkan daripada makhluk raksasa itu.
Kael menatap sosok itu dengan wajah tegang. "Apa lagi sekarang?"
Sosok berjubah hitam itu turun perlahan, memancarkan aura kegelapan yang begitu pekat hingga udara di sekitar mereka terasa berat. Dengan suara dingin, ia berkata, "Kalian sudah cukup bermain-main. Waktunya untuk mengakhiri semuanya."
Elarya merasakan tubuhnya melemah lagi. Sosok itu jelas jauh lebih kuat daripada makhluk raksasa sebelumnya. Namun, ia tahu, ini bukan saatnya untuk menyerah. Dengan napas dalam, ia menggenggam tangan Kael dan berkata, "Kita tidak bisa kalah sekarang. Aku akan mencoba yang terbaik, meskipun aku tidak tahu apakah ini cukup."
Kael mengangguk, meskipun wajahnya penuh keraguan. "Bersama-sama, Elarya. Kita akan melawan sampai akhir."
Pertarungan baru pun dimulai. Kegelapan dan cahaya saling bertabrakan di bawah langit yang semakin kacau. Namun, ancaman yang mereka hadapi kali ini bukan hanya kekuatan fisik, tetapi juga perang batin yang harus mereka menangkan.
Elarya dan Kael berdiri diam di tengah kehancuran, tubuh mereka lelah dan penuh luka. Namun, mereka tidak bisa berhenti sekarang. Sosok berjubah hitam itu berdiri di udara, auranya semakin menekan.
“Kau pikir cahayamu itu cukup?” tanya sosok itu, suaranya seperti ribuan suara berbicara bersamaan. “Aku adalah Arkhael, tangan kanan Sang Kegelapan. Kau hanyalah sisa lemah dari kekuatan kuno.”
Elarya menatapnya tajam, meski tubuhnya gemetar. "Aku tidak peduli siapa kau. Aku tidak akan menyerah segel ini!"
Arkhael tertawa, suara gelapnya menggema hingga pepohonan di sekitar mereka roboh. "Maka bersiaplah untuk menghadapi kehancuranmu."
Ia mengangkat tangannya, dan dari celah-celah gelap di udara, muncul belasan makhluk besar berbentuk seperti serigala bayangan, masing-masing dengan taring tajam yang bersinar merah. Mereka mengelilingi Elarya dan Kael, menggeram dengan ancaman yang nyata.
“Kael,” bisik Elarya. “Aku tidak yakin bisa mengatasi ini semua.”
Kael menggenggam tangannya, memberikan kekuatan yang ia bisa. "Kita akan melawan bersama. Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu."
Saat makhluk-makhluk itu mulai menyerang, Kael mengayunkan pedangnya dengan tegas, membelah bayangan pertama yang mendekat. Namun, serangan mereka terlalu cepat dan terus-menerus. Meskipun Kael mampu menahan sebagian besar serangan, beberapa berhasil menerobos, membuat luka di tubuhnya semakin banyak.
Elarya mencoba memanggil kekuatannya lagi. Cahaya dari segelnya mulai muncul, meskipun tidak stabil. Ia mengarahkan tangannya ke salah satu serigala bayangan, memancarkan cahaya yang cukup kuat untuk membuat makhluk itu menghilang. Namun, setiap kali ia menggunakan kekuatannya, tubuhnya semakin melemah.
"Aku tidak bisa terus seperti ini," pikirnya, rasa putus asa mulai menyelimuti.
Di tengah kekacauan itu, suara lembut namun tegas muncul di pikirannya.
"Elarya, jangan biarkan rasa takut menguasaimu. Kekuatan segel ini adalah bagian dari hatimu. Percayalah pada dirimu sendiri."
Suara itu seperti percikan api yang membangkitkan harapannya. Elarya menggenggam erat tempat segelnya, mencoba mengendalikan cahaya yang semakin liar di dalam dirinya.
Sementara itu, Arkhael melangkah maju, menatap Kael yang kini hampir kehabisan tenaga. "Kau hanyalah penghalang kecil. Pergilah, dan aku mungkin akan membiarkanmu hidup."
Kael mendengus, meski tubuhnya gemetar. "Aku tidak akan pernah menyerahkan Elarya padamu."
Arkhael mengangkat tangannya, menciptakan bola energi hitam yang besar. "Maka matilah di tempatmu!"
Bola energi itu meluncur ke arah Kael dengan kecepatan luar biasa. Kael bersiap menghadapinya, meskipun ia tahu bahwa serangan itu terlalu kuat untuk ditahan. Namun, sebelum bola itu menghantam, Elarya melompat ke depan, memancarkan cahaya yang membentuk perisai besar di sekeliling mereka.
Ledakan besar terjadi, mengguncang seluruh area. Ketika debu mulai mereda, Elarya terlihat berdiri dengan gemetar, tangannya terangkat untuk mempertahankan perisai cahaya itu.
Arkhael tertawa lagi. "Kau benar-benar keras kepala, Putri Cahaya. Tapi kau tidak akan mampu melindungi semuanya selamanya."
Elarya tidak menjawab. Ia memusatkan seluruh energinya untuk memperkuat perisai itu, meskipun tubuhnya hampir tidak kuat lagi berdiri.
Di tengah tekanan yang luar biasa itu, Kael memutuskan sesuatu. Ia mendekati Elarya dan berbisik, "Percayakan bagian ini padaku. Fokuslah pada kekuatanmu."
Elarya menatap Kael dengan mata penuh kekhawatiran. "Tapi, Kael—"
"Percayalah," potong Kael. "Aku tidak akan membiarkan mereka menang."
Kael maju ke depan, mengarahkan pedangnya ke Arkhael. "Kau ingin bertarung? Maka hadapilah aku dulu!"
Arkhael tersenyum dingin, menyadari keberanian Kael yang tampak bodoh di matanya. "Kau mencari kematian, manusia kecil."
Pertarungan mereka pun dimulai. Kael menyerang dengan seluruh kekuatannya, mencoba memberikan waktu bagi Elarya untuk memulihkan diri. Meskipun ia tahu bahwa Arkhael jauh lebih kuat, ia tidak menyerah.
Sementara itu, Elarya menutup matanya, mencoba menggali lebih dalam ke dalam kekuatan segelnya. Di dalam pikirannya, ia melihat bayangan dirinya sendiri, berdiri di tengah lautan cahaya.
"Kekuatan ini bukanlah sesuatu yang harus kau takuti," kata bayangan itu. "Terimalah, dan jadilah satu dengannya."
Elarya membuka matanya. Cahaya dari segelnya kini mulai stabil, memancar dengan lebih terang. Ia melangkah maju, memanggil kekuatan itu ke tangannya.
"Arkhael," panggil Elarya dengan suara tegas.
Arkhael menoleh, wajahnya berubah serius saat melihat cahaya yang dipancarkan Elarya. "Kau akhirnya memutuskan untuk bertarung?"
Elarya mengangkat tangannya, memancarkan cahaya yang begitu terang hingga membuat semua makhluk bayangan menghilang seketika. "Ini bukan hanya tentang aku. Ini tentang dunia yang harus kulindungi. Kau tidak akan mendapatkan segel ini."
Arkhael tampak terguncang, meskipun ia mencoba menyembunyikannya. "Kau pikir kekuatan kecilmu itu cukup untuk mengalahkanku?"
Elarya tidak menjawab. Dengan cahaya yang semakin besar di tangannya, ia bersiap melancarkan serangan terakhirnya. Namun, sebelum ia bisa melakukannya, suara gemuruh lain terdengar, dan dari langit muncul retakan besar yang memancarkan cahaya hitam.
Arkhael tertawa keras. "Waktumu habis, Putri Cahaya. Sang Kegelapan akan tiba, dan kau tidak akan bisa menghentikannya."
Elarya dan Kael hanya bisa menatap dengan cemas saat retakan itu semakin membesar, membawa ancaman yang jauh lebih besar dari yang pernah mereka hadapi sebelumnya.
Retakan besar di langit semakin melebar, memancarkan cahaya hitam pekat yang menutupi bintang-bintang. Dari celah itu, sesuatu yang besar dan mengerikan tampak akan muncul. Aura dingin menyebar, membuat udara terasa berat, dan langkah Elarya serta Kael terasa semakin sulit.
"Ini bukan hanya ancaman," gumam Kael dengan napas terengah. "Ini... kehancuran yang sesungguhnya."
Arkhael berdiri di bawah retakan itu, senyumnya penuh kemenangan. "Kalian berdua tidak akan punya cukup waktu untuk melarikan diri. Sang Kegelapan akan segera datang, dan segel itu akan menjadi miliknya!"
Elarya menatap retakan besar itu dengan tatapan penuh tekad. Meskipun kekuatannya belum sepenuhnya stabil, ia tidak bisa membiarkan hal ini terjadi. Cahaya dari segelnya mulai berdenyut lagi, kali ini lebih stabil dan kuat.
"Aku tidak akan membiarkan dia keluar," ujar Elarya dengan suara tegas. Ia melangkah maju, mengangkat tangannya ke arah retakan di langit.
Kael terkejut. "Elarya, apa yang kau lakukan?"
Elarya menoleh ke arah Kael, matanya penuh keyakinan. "Aku harus mencoba menutup retakan ini sebelum semuanya terlambat."
Kael menggenggam lengannya. "Itu terlalu berbahaya! Kau bahkan belum sepenuhnya menguasai segelmu!"
Elarya tersenyum tipis. "Jika aku tidak melakukannya sekarang, kita tidak akan punya kesempatan lagi. Percayalah padaku, Kael."
Sebelum Kael bisa menghentikannya, Elarya melangkah lebih jauh, memusatkan kekuatannya. Cahaya dari segelnya mulai memancar ke langit, menutupi retakan itu sedikit demi sedikit. Namun, Arkhael tidak tinggal diam.
"Beraninya kau mencoba melawan takdir!" raung Arkhael. Ia melesat ke arah Elarya dengan kecepatan luar biasa, tangannya yang berlumuran kegelapan siap menghantam.
Kael langsung melompat ke hadapan Elarya, menahan serangan Arkhael dengan pedangnya. Dentuman besar terjadi, membuat keduanya terpental. Namun, Kael berhasil berdiri lagi, meskipun darah mengalir dari sudut bibirnya.
"Jika kau ingin menyentuhnya," kata Kael dengan suara berat, "kau harus melewati aku dulu."
Arkhael tertawa dingin. "Itu bisa diatur."
Keduanya kembali bertarung, dengan Kael menggunakan seluruh kemampuannya untuk menahan Arkhael. Sementara itu, Elarya terus memusatkan kekuatannya pada retakan di langit. Cahaya yang dipancarkan segelnya mulai mempersempit celah tersebut, tetapi energi yang dibutuhkan sangat besar.
"Aku tidak akan menyerah," gumam Elarya, meskipun tubuhnya mulai melemah.
Namun, retakan itu tampaknya lebih kuat daripada yang ia duga. Dari dalam celah, tangan hitam raksasa mulai muncul, mencoba merobek langit lebih lebar. Kehadiran tangan itu membuat tekanan di udara semakin berat, dan bahkan cahaya Elarya tampak mulai goyah.
“Elarya!” teriak Kael sambil berusaha menghindari serangan Arkhael. "Kau tidak bisa melakukannya sendiri!"
Tetapi Elarya tidak mendengar. Semua fokusnya tercurah pada retakan itu, mencoba menahan tangan raksasa yang terus mendorong keluar. Cahaya segelnya kini bersinar begitu terang, hingga membuat Arkhael dan makhluk-makhluk bayangan lainnya mundur beberapa langkah.
Arkhael menatap Elarya dengan tatapan benci. "Kau benar-benar keras kepala, Putri Cahaya. Tapi ini hanya akan mempercepat kehancuranmu."
Tiba-tiba, sebuah suara lembut namun kuat terdengar di telinga Elarya.
"Elarya, kekuatan sejati segel ini hanya dapat diaktifkan dengan satu hal: pengorbanan."
Elarya tersentak, tetapi ia tidak bisa berhenti sekarang. "Apa maksudmu?" pikirnya.
Suara itu kembali berbicara. "Kekuatan segel ini adalah bagian dari hatimu, tetapi untuk membangkitkannya sepenuhnya, kau harus rela melepaskan sesuatu yang paling berharga bagimu."
Kata-kata itu menghantam Elarya dengan keras. Ia menyadari apa yang dimaksud suara itu, tetapi ia tidak bisa berhenti sekarang. Tangan raksasa itu semakin keluar, dan jika ia tidak melakukan sesuatu, semuanya akan hancur.
Sementara itu, Kael terus bertarung mati-matian dengan Arkhael, meskipun tubuhnya semakin lemah. Ia tahu bahwa ia tidak akan bertahan lama, tetapi ia tidak peduli. Yang penting adalah memberi Elarya cukup waktu.
“Elarya!” teriak Kael lagi. "Aku percaya padamu. Kau bisa melakukannya!"
Kata-kata itu membuat Elarya semakin yakin. Ia menutup matanya, memusatkan seluruh kekuatannya pada segelnya. Cahaya yang ia pancarkan mulai berubah, menjadi lebih murni dan lebih kuat.
Arkhael mundur beberapa langkah, wajahnya penuh keterkejutan. "Apa yang kau lakukan?!"
Namun, sebelum ia bisa menyerang lagi, Kael melompat ke arahnya, menahan pergerakannya.
"Jika ini adalah akhirku," gumam Kael sambil tersenyum kecil, "setidaknya aku mati melindunginya."
Cahaya dari segel Elarya kini memenuhi seluruh langit, menutup retakan itu sepenuhnya. Tangan raksasa yang mencoba keluar mulai menghilang, diserap oleh cahaya tersebut. Namun, kekuatan itu juga mulai menguras nyawa Elarya.
Kael menyadari apa yang terjadi dan berteriak, "Elarya, hentikan! Kau akan mati!"
Namun, Elarya hanya tersenyum lemah. "Ini... adalah pilihan yang harus aku buat. Aku tidak bisa membiarkan dunia ini hancur."
Dengan satu ledakan besar, cahaya itu menutupi segalanya. Ketika semuanya mereda, retakan di langit telah hilang, dan Arkhael serta makhluk-makhluk bayangan juga menghilang.
Kael berlari ke arah Elarya, yang kini terjatuh ke tanah, tubuhnya lemah dan hampir tak bernyawa.
“Elarya!” Kael mengguncang tubuhnya dengan panik. "Kau tidak boleh pergi!"
Elarya membuka matanya perlahan, tersenyum pada Kael. "Aku... berhasil, bukan?"
Kael mengangguk, meskipun air mata mulai mengalir di wajahnya. "Ya, kau berhasil. Tapi jangan tinggalkan aku."
Namun, sebelum Elarya bisa menjawab, tubuhnya mulai memudar menjadi cahaya, seolah ia akan menghilang sepenuhnya.
"Kael..." bisiknya. "Jangan pernah menyerah. Dunia ini masih membutuhkanmu."
Kael hanya bisa memeluk tubuhnya yang perlahan berubah menjadi cahaya, berusaha menahan rasa kehilangan yang begitu mendalam.
Di kejauhan, langit mulai cerah kembali, tetapi di hati Kael, hanya ada kegelapan.