Auriga tidak menyadari dia sedang terjebak dalam sebuah masalah yang akan berbuntut panjang bersama Abel, gadis 18 tahun, putri temannya yang baru saja lulus SMA.
Obsesi Abel kepada Auriga yang telah terpendam selama beberapa tahun membuat gadis itu nekat menyamar menjadi seorang wanita pemandu lagu di sebuah tempat hiburan malam. Tempat itu disewa oleh Mahendra, ayah Abel, untuk menyambut tamu-tamunya.
“Bel, kalau bokap lo tahu, gue bisa mati!” Kata Ode asisten sang ayah tengah berbisik.
“Ssst...tenang! Semuanya aman terkendali!” Abel berkata penuh percaya diri.
“Tenang-tenang gimana? Ini tempat bukan buat bocah ingusan kayak elo!”
“Dua hari lagi aku 18 tahun! Oh my God, gatel ya,Mahen!Lo ya, ganjen banget! Katanya nggak mau nikah lagi tapi ani-aninya seabrek!" Umpat Abel pada sang papa.
***
Di satu sisi lain sebuah kebahagiaan untuk Auriga saat mengetahui hubungan rumah tangga mantannya tidak baik-baik saja dan tidak bahagia dia pun kembali terhubung dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tris rahmawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17 Lolipop Spesial
“Hallo?” Auriga menjawab panggilan sambil menatap layar komputer di depannya. “Ya, Pak Mahen. Ini sudah di Jakarta. Pagi tadi saya tiba.”
Di ruangan besar yang menjadi kantornya, Auriga terlihat sibuk. Di meja kerja, berkas-berkas menumpuk, sementara Cecil berdiri di sisi meja, memberi laporan singkat.
“Baiklah, ayo ngopi,” suara Pak Mahen terdengar di seberang. “Saya kebetulan lagi di kawasan dekat kantor kamu.”
Auriga melirik arlojinya, memeriksa waktu. Jam menunjukkan hampir pukul sebelas siang. Ia merenung sejenak, mengingat ulang jadwalnya. Sepertinya siang ini tidak ada urusan mendesak. Ajakan ngopi dari Pak Mahen tentu bukan sekadar duduk santai, melainkan obrolan bisnis yang selalu membawa pembahasan strategis dan bernilai.
“Oke, Pak,” jawab Auriga akhirnya. “Saya segera ke sana.”
Ia berdiri dari kursinya dengan gerakan tegas. “Cecil, beri tahu kalau ada hal mendesak. Saya akan bertemu rekan di kafe dekat sini.”
Cecil mengangguk, mencatat arahan Auriga. “Baik, Pak.”
Tanpa berlama-lama, Auriga mengenakan jasnya, mengambil ponsel, dan beranjak keluar dari ruangan. Langkahnya cepat, seperti biasa. Pertemuan dengan Pak Mahen ini mungkin akan membuka peluang baru, dan Auriga suka dengan tongkrongan Pak Mahendra yang selalu berisi.
Sementara itu, di tempat lain, Abel sedang sibuk membantu Oma dan para asisten rumah tangga mempersiapkan masakan untuk acara arisan yang akan digelar di rumah Oma malam nanti.
Sebenarnya, Ana alias Abel merasa gugup luar biasa. Dia takut membuat kesalahan dan mendapat perlakuan tidak menyenangkan, karena dia sama sekali tidak pernah memasak. Namun, dia memutuskan untuk jujur.
“Saya nggak pintar masak, Oma,” ujar Abel dengan ragu. “Biasanya saya Cuma jadi asisten atau pengasuh orang tua, nggak pernah urus dapur.”
Namun, tak seperti yang dikhawatirkannya, Oma dan para asisten rumah tangga justru menyambut pengakuannya dengan santai. Mereka tersenyum dan berkata, “Nggak apa-apa, Ana. Kamu bantu yang ringan-ringan aja, seperti motong-motong atau merapikan wadah, ya.”
Mendengar itu, Abel merasa sedikit lega. Dia mencoba berbaur, melakukan apa yang diminta, meski sering kali bingung.
Diam-diam, Abel memanfaatkan ponselnya untuk mencari di mesin pencarian internet bagaimana cara membersihkan piring dengan benar, menata makanan, hingga teknik sederhana memotong sayuran. Dia bahkan mencatat beberapa tips cepat agar terlihat seperti orang yang sudah berpengalaman.
“Ternyata ini gampang, ya,” gumam Abel sambil mengatur wadah sayur di meja, berusaha menyembunyikan rasa bangganya karena berhasil menyelesaikan tugas kecil.
Oma memperhatikan Abel dari kejauhan, tersenyum hangat. “Kamu bisa tuh, semuanya rapi Oma lihat.” Puji Oma.
“Ah, Oma bisa aja.” Abel tersipu malu.
Dapur rumah Oma berubah menjadi tempat yang hangat. Abel, meski masih merasa canggung, mulai menikmati sekali suasana di dapur, belajar hal-hal baru sambil merasakan kasih sayang oma dan penerimaan orang-orang di sekitar Oma.
Di coffee shop itu, Mahendra tampak santai hanya ditemani sopir pribadinya, tanpa asisten atau sekretaris seperti biasanya. Ketika Auriga tiba, mereka langsung menyapa satu sama lain dengan hangat. Sebuah tepukan singkat di bahu menjadi pembuka pertemuan mereka.
“Udah lama, Pak Mahen?” tanya Auriga sembari duduk.
“Enggak juga,” jawab Mahendra sambil tersenyum. Ia menyesap kopinya perlahan, lalu melanjutkan, “Saya udah bilang, kamu ambil aja rumah itu. Lihat sendiri kan, kamu bolak-balik Singapura terus. Capek, kan?”
Auriga tersenyum tipis sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Entahlah. Saya pikir-pikir dulu. Gimana kemarin? Aman semuanya?”
“Ya, begitulah. Tapi, saya lagi nggak enak hati.” Mahendra menarik napas panjang. “Abel masih ngambek, nggak mau pulang-pulang. Udah hampir dua minggu.”
“Masih dari hari itu?” tanya Auriga, yang hanya tahu nama anak Mahendra tanpa benar-benar mengingat wajahnya. Mahendra memang sering bercerita tentang anaknya.
“Iya,” Mahendra mengangguk. “Saya malah kepikiran buat batalin rencana kuliah dia di Australia. Dia maunya kuliah dekat-dekat sini aja. Lihat kali ini dia benar-benar marah. Sekarang lagi liburan sama temannya, dan nggak mau telepon saya sama sekali.”
Auriga tertawa kecil. “Sekarang usianya berapa?”
“Udah 18 tahun,” jawab Mahendra sambil tersenyum kecil, ada nada haru di suaranya. “Kadang saya masih nggak percaya. Dulu saya yang bawa dia ke mana-mana waktu kecil, ngerawat sendiri dan sudah sebesar ini.”
“Abel pasti akan ngerti, Pak Mahen maklum masa peralihan anak seusia Abel.” kata Auriga dengan nada meyakinkan. “Mungkin sekarang dia lagi butuh waktu buat sendiri, tapi suatu saat dia bakal sadar dan ngerti betapa sayangnya Pak Mahen sama dia. Saya rasa keputusan Pak Mahen udah tepat buat sekolahin dia ke Aussie. Nanti Abel akan berterima kasih untuk itu.”
Mahendra terdiam sesaat, lalu tersenyum tipis. “Semoga aja. Saya Cuma ingin yang terbaik buat dia.”
Percakapan mereka berlanjut panjang dan kemana-mana seperti biasa, diiringi suasana coffee shop yang mulai ramai.
***
Menjelang sore, Oma meminta Abel untuk mengambil pesanan kue untuk acara arisan sore itu. Ia ditemani oleh sopir keluarga berangkat mengambil pesanan.
Di perjalanan Abel memainkan ponselnya. Sudah beberapa hari Auriga kembali ke Singapura dan kabarnya hari ini ia akan pulang ke rumah Oma. Selalu sja Abel merindukan Auriga seseorang yang seharusnya tidak perlu aku rindukan?
Tapi dia sudah berjanji pada dirinya ini akan menjadi hari-hari terakhirnya di sini.
Sebentar lagi, dia akan kembali ke kehidupannya semula, meninggalkan orang-orang baik yang beberapa waktu terakhir memberi warna dalam hidupnya.
Di tempat pemesanan kue itu Abel sedang sibuk mengambil dan memeriksa pesanan, tiba-tiba Oma menghubungi dan memberitahunya bahwa sopir akan langsung ke Airport Opa sudah minta di jemput.
Supir tidak bisa mengantar Ana pulang sebagai gantinya, Auriga akan datang menjemputnya kebetulan dia akan pulang ke rumah Oma setelah tadi pagi langsung ke kantor.
Jantung Abel langsung berdetak kencang. Seperti orang yang menjalani hubungan jarak jauh, hatinya tak karuan hanya dengan membayangkan Auriga yang akan menjemputnya.
Abel, yang sedang menunggu di toko kue, berulang kali melirik kaca di dinding. Ia memastikan penampilannya bagus, dress sederhana nan anggun, rambut panjangnya tergerai, dan sepatu pantofel yang membuatnya tampak elegan semuanya tampak pas.
Meskipun ia merasa ini bukan stylenya ini bukan lagi “Abel Anais” yang biasa, ia selalu menjaga kesan sederhana selama tinggal bersama Oma.
Tak lama kemudian, mobil Auriga muncul di halaman. Laki-laki itu turun dari mobilnya, tersenyum tipis, lalu menyapa Abel.
“Pak Tasman jemput Opa,” katanya santai. “Saya tadi mau pulang, tapi Oma suruh jemput kamu dulu.”
“Terima kasih, Mas,” jawab Abel sedikit canggung. “Padahal tadi saya bisa naik taksi.”
Auriga tak banyak bicara. Ia langsung mengambil semua bungkusan pesanan kue dari tangan Abel, “Biar saya bawa. “ Auriga membawanya ke mobil. Abel pun menyusul dengan membawa sisanya.
Saat tiba waktunya masuk mobil, Abel merasa gugup. Haruskah dia duduk di depan? Akhirnya, ia memilih duduk di kursi belakang.
“Beneran saya jadi supir hari ini?” sindir Auriga, menoleh ke belakang sambil tersenyum kecil.
Abel tertawa kecil, merasa sedikit malu. Akhirnya, ia membuka pintu depan dan duduk di sebelah Auriga.
Di dashboard, ada bungkusan belanjaan kecil seperti dari mini market. Bungkusan itu mengganggu pemandangan Abel, tapi ia tidak berani menyentuhnya.
Auriga, yang sedang bersiap mengemudi, berdeham pelan. “Itu buat kamu,” katanya sambil melirik bungkusan itu. “Barusan beli air mineral, terus lihat itu. Saya ambil aja.”
Abel mengernyit, tidak yakin apa maksudnya. “Apa ini?” tanyanya ragu.
“Lihat aja,” sahut Auriga santai.
Dengan perlahan, Abel membuka bungkusan itu. Seketika, ia tertawa kecil dengan mata berbinar di dalamnya ada beberapa batang lolipop.
Lolipop.
Itu adalah camilan favorit Abel, sekaligus “obat stres” yang selalu bisa mengembalikan suasana hatinya. Rasanya ingin sekali ia berteriak kegirangan, tapi ia menahannya, hanya mampu menatap Auriga dengan rasa tidak percaya
“Terima kasih, Mas,” gumamnya sambil menahan senyum.
Auriga hanya mengangguk tipis sambil memutar setir, memulai perjalanan mereka kembali ke rumah Oma.
Ini sih enggak bakalan gue makan, Gue pajang, Iya museum kan sekalian! berlebihan lo bocil!
Setelah itu suasana menjadi hening kembali, sejak Abel menjadi Ana selalu berusaha tampil lemah lembut, anggun, dan pendiam sangat berbeda dari dirinya yang biasa yaitu seseorang yang spontan, penuh semangat, dan terkadang sedikit keras kepala. Tetapi sebagai Ana, ia menjaga peran itu dengan hati-hati.
Seperti saat ini, di dalam mobil bersama Auriga. Sepanjang perjalanan, Abel memilih diam, memandang keluar jendela, meskipun hatinya penuh dengan berbagai pikiran.
Sampai kemudian Auriga memecah keheningan. “Aman? Semuanya baik-baik saja waktu saya tinggal?” tanyanya, tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.
Abel menoleh perlahan mendengar suara itu. Ia mengangguk pelan, memberikan jawaban singkat. “Aman.”
Namun, mendadak pikirannya kemana-mana. Apa yang sebenarnya Auriga pikirkan tentang dirinya ya? Apakah pria itu pernah melihatnya lebih dari sekadar “orang asing-asisten” Oma? Atau pernah menjadi hal lain yang lebih
Tiba-tiba, sebuah bayangan melintas di benaknya sebuah pikiran yang begitu absurd, bahkan membuat Abel merasa perlu menertawakan dirinya sendiri. Haha, apa aku benar-benar berharap Auriga memikirkanku seperti aku memikirkannya? Mustahil.
Ya dia tidak lagi akan berharap, semuanya sudah selesai. Thanks mas.
Papa anakmu pulang!
next akak tris 🙏
💪💪
Padahal masalah sepele “Cintq…
Huhuhu jadi ga sabar up kak 🥰🥰
serem
timakasi tris rahma 😘
km ketauan....