SIPNOSIS:
Kenneth Bernardo adalah pria sederhana yang terjebak dalam ambisi istrinya, Agnes Cleopatra. demi memenuhi gaya hidupnya yang boros, Agnes menjual Kenneth kepada sahabatnya bernama, Alexa Shannove. wanita kaya raya yang rela membeli 'stastus' suami orang demi keuntungan.
Bagi Agnes, Kenneth adalah suami yang gagal memenuhi tuntutan hidupnya yang serba mewah, ia tidak mau hidup miskin ditengah marak nya kota Brasil, São Paulo. sementara Alexa memanfaatkan kesempatan itu untuk mendapatkan suami demi memenuhi syarat warisan sang kakek.
Namun, kenyataan tak berjalan seperti yang Agnes bayangkan, setelah kehilangan suaminya. ia juga harus menghadapi kehancuran hidupnya sendiri-dihina orang sekitarnya, ditinggalkan kekasih gelapnya uang nya habis di garap selingkuhan nya yang pergi entah kemana, ia kembali jatuh miskin. sementara Alexa yang memiliki segalanya, justru semakin dipuja sebagai wanita yang anggun dan sukses dalam mencari pasangan hidup.
Kehidupan Baru Kenneth bersama Alexa perlahan memulihkan luka hati nya, sementara Agnes diliputi rasa marah dan iri merancang balas dendam, Agnes bertekad merebut kembali Kenneth bukan karena haus cinta tetapi ingin menghancurkan kebahagiaan Alexa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HMYT-32
Alexa duduk di kursi penumpang, matanya melayang ke luar jendela untuk sesaat, namun perhatiannya kembali terfokus pada Kenneth yang tengah sibuk memperbaiki mobilnya. Dari sudut matanya, dia memandangi pria itu dengan seksama, mencoba untuk menilai setiap gerakannya, mencocokkan dengan kriteria yang dia miliki tentang pria seperti apa yang sebenarnya bisa dia terima dalam hidupnya.
Di bawah sinar lampu bengkel yang agak redup, tubuh Kenneth terlihat kuat dan tegap, seperti seorang pria yang tak mudah menyerah. Alexa mengamati bahunya yang lebar, otot-otot lengan yang terlihat menonjol saat dia mengutak-atik bagian mesin mobil, keringat yang mulai membasahi pelipisnya, tapi dia tetap fokus pada pekerjaannya.
"Dia cukup terlihat kuat," pikir Alexa, sedikit terkesan. "Tapi... apakah cukup? Bisa dia memenuhi ekspektasiku?"
Matanya turun ke tangan Kenneth, yang kini memegang alat-alat bengkel dengan cekatan. Setiap gerakan tangannya terasa terampil, seolah pekerjaan ini bukan sekadar rutinitas, tapi sudah jadi bagian dari dirinya. "Bisa diandalkan, ya..." gumamnya dalam hati.
Namun, Alexa sedikit meringis. Bagaimanapun juga, meskipun fisiknya tampak sesuai dengan apa yang dia harapkan, ada satu hal yang masih mengganjal. Kenneth bukanlah tipe pria yang bisa menarik perhatian banyak orang dengan kata-kata atau pesona yang dia miliki. Tidak ada daya tarik khas yang memancar, tidak ada tatapan penuh karisma yang bisa menundukkan siapa pun.
"Dia ini... nggak punya pesona, ya?" gumam Alexa dalam hati, sedikit kecewa. Namun, dia segera mengalihkan pandangannya. "Tapi fisiknya cukup. Kalau begini, mungkin bisa jadi pilihan."
Dia kemudian mengalihkan perhatiannya pada wajah Kenneth yang tampak serius, matanya yang tajam fokus pada mesin, mulutnya yang terkatup rapat. Ketika dia membungkuk sedikit untuk mengecek detail mobil, Alexa tidak bisa menahan diri untuk meneliti lebih jauh.
"Tapi, wajahnya terlalu datar. Tidak ada yang istimewa," pikirnya. "Apakah dia bisa menahan diriku yang seperti ini? Aku butuh seseorang yang lebih dari sekadar pekerja keras. Aku butuh seseorang yang bisa membuatku merasa dihargai."
Namun, setelah beberapa saat, Alexa sedikit melonggarkan pandangannya, mengamati lebih banyak ke arah tubuh Kenneth yang tetap fokus dan serius. "Sepertinya dia tidak peduli sama sekali tentang kehadiranku. Tidak ada sedikit pun perhatian yang dia berikan." Ini sedikit mengejutkannya, karena biasanya, pria yang seharusnya tertarik padanya pasti akan melirik, setidaknya menunjukkan perhatian lebih.
Tapi di sini, Kenneth malah seolah tak peduli. Alexa merasa sedikit tidak dihargai, namun dia berusaha untuk tetap tenang, mencoba mengabaikan perasaan itu.
"Tapi... Dia bekerja keras. Itu harus dihargai." Alexa memutuskan dalam hati, berpikir bahwa meskipun tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan dalam hubungan ideal, mungkin ada hal lain yang bisa jadi nilai lebih.
Alexa duduk diam, tangannya terlipat di pangkuan, matanya mengamati setiap gerakan Kenneth yang tengah bekerja di depan mobilnya. Dia mencoba untuk menilai, menimbang, apakah pria ini benar-benar memenuhi standar yang ia inginkan. Ada banyak hal yang dia perhatikan, mulai dari penampilannya hingga cara dia bekerja.
"Hmm, sepertinya dia cukup tampan, tapi... apakah cukup untuk menarik perhatian kakek?" pikir Alexa dalam hati, menilai fisik Kenneth yang tampak kekar, dengan otot-otot lengan yang menonjol saat dia bekerja. Seiring dengan gerakan tangannya yang cekatan, Alexa sedikit terkesan. Namun, hatinya masih merasa ragu.
Dia melirik bahu Kenneth yang lebar, tubuhnya yang tampak kokoh, dan ia menyadari bahwa Kenneth memang tipe pria yang bisa diandalkan, tapi apakah itu cukup? "Mungkin untuk kerja keras, dia cukup. Tapi kakek... apakah dia akan menerima seorang pria seperti dia?" Alexa berkerut kening, seolah memikirkan pendapat Carlson, kakeknya yang sering kali menuntut lebih dari sekadar ketampanan fisik.
Matanya melorot ke tangan Kenneth yang kini terampil memegang alat-alat bengkel. Setiap gerakan tangannya terasa natural, terlatih, seperti sudah jadi bagian dari dirinya. "Hmm, dia punya keterampilan. Itu cukup bagus. Tapi apakah kakek akan melihat ini sebagai sesuatu yang berharga?" Alexa berpikir sambil menyelidiki keahlian Kenneth, mencoba mencari nilai lebih dalam dirinya.
Namun, saat dia mengalihkan pandangannya ke wajah Kenneth yang terfokus, mata Alexa mulai menyusuri lebih dalam. Kenneth tampaknya tidak terlalu peduli dengan keberadaannya. Wajahnya serius, tidak ada ekspresi berlebihan, tidak ada senyuman atau gestur yang menunjukkan ketertarikan. "Dia benar-benar tidak tahu cara memperlakukan wanita seperti aku, ya?" Alexa mulai merasa sedikit kecewa, meski dia mencoba
menyembunyikannya. "Seharusnya dia lebih perhatian, lebih peka dengan keadaan."
Matanya bergerak turun lagi, menyusuri tubuh Kenneth yang sekarang tampak sangat fokus pada pekerjaannya. "Tubuhnya cukup oke, cukup atletis. Tapi apakah dia cukup mampu menghadapi tantangan hidupku yang jauh lebih besar?" Alexa mulai meragukan apakah Kenneth bisa memenuhi ekspektasinya yang lebih tinggi, baik dari segi kepribadian maupun status sosial.
Dia mengerutkan kening, lalu berusaha untuk tetap tenang, menilai pria ini lebih jauh. Namun, Alexa masih merasa ada satu hal yang mengganjal. "Pekerjaan keras dan ketangguhan memang penting, tapi apakah itu cukup untuk membuktikan bahwa dia bisa bertahan di sisi aku dalam jangka panjang?" Dia tahu kakeknya tidak akan memandang sebelah mata seorang pria yang tidak bisa menawarkan lebih dari sekadar keahlian teknis dan fisik.
Alexa berusaha menahan rasa tidak sabarnya, mencoba untuk berpikir logis. "Sepertinya dia cukup bagus untuk masalah fisik dan kemampuan bertahan hidup, tapi... apakah kakek akan menerima dia sebagai pilihan yang tepat untukku?" Dia tahu bahwa keluarganya, terutama Carlson, sangat mempengaruhi pilihannya. Kakek yang keras kepala itu tidak akan menerima begitu saja seseorang yang tidak bisa menunjukkan kualitas lebih dari sekadar tampang atau keterampilan praktis.
Dia mendengus pelan, mencoba mengingatkan dirinya sendiri bahwa pernikahan ini bukan hanya tentang dirinya dan Kenneth, tapi juga tentang banyak hal yang lebih besar, seperti status keluarga, warisan, dan harapan besar yang dipikul oleh Alexa sejak lahir.
Dengan hati yang sedikit tercampur, Alexa kembali menatap Kenneth yang tampak tak terganggu dengan pengamatannya. "Mungkin, dia cukup untuk saat ini," pikirnya, meskipun dalam hatinya masih ada keraguan yang besar. "Tapi apakah kakek... akan melihatnya sebagai pilihan yang baik? Aku masih ragu."
Tapi sebelum dia memutuskan apa-apa, dia membiarkan perasaannya melayang sedikit lebih jauh, mencoba mencari tahu apakah ada sesuatu di dalam dirinya yang bisa membuatnya merasa nyaman dengan pria ini. Dan meskipun ada sedikit ketidakpastian dalam pikirannya, Alexa tahu satu hal: "Aku akan beri kesempatan, mungkin ada sesuatu di dalam dirinya yang bisa aku terima."
Setelah beberapa saat bekerja, Kenneth sedang mengecek lagi hasil perbaikan mobil Alexa. Tiba-tiba, temannya yang bernama Kelvin datang dengan secangkir kopi. Melihat suasana yang agak hening di antara Kenneth dan Alexa, Kelvin merasa ada yang aneh.
Kelvin duduk di dekat Kenneth, menatap Alexa yang sedang masuk ke dalam mobil dengan ekspresi datar.
"Eh, Ken, aku mau nanya. Itu pelanggan tadi kenapa ya? Kok terkesan agak ketus gitu? Ku liat dari jauh kayak ada yang nggak beres."
Kenneth melirik Alexa sebentar, lalu kembali fokus pada pekerjaannya tanpa menanggapi langsung pertanyaan Kelvin.
"Biasa aja, kelihatan capek kali," jawab Kenneth singkat.
Kelvin sedikit mengernyitkan dahi, lalu melanjutkan.
"Tapi kan, nggak kayak biasanya, terkesan... dingin gitu sama dia. Kayaknya udah kenal banget, ya? Soalnya dari tadi,di liat kok kayak ada semacam hubungan yang agak... gak nyaman gitu."
Kenneth mengangkat bahu tanpa menoleh ke arah Alexa.
"Gak ada apa-apa. Cuma pelanggan biasa, masalah biasa."
Kelvin masih penasaran dan menatap Alexa yang sudah mulai menyalakan mobilnya.
"Pelanggan biasa? Hmm... aneh aja, sih, biasanya orang kayak gitu pasti lebih ramah. Tapi dia kok malah terkesan sinis gitu ya sama mu?"
Kenneth tidak mengubah ekspresi wajahnya, seolah tidak ada yang aneh.
"Ya, mungkin cuma emang kayak gitu orangnya."
Kelvin terdiam sejenak, memikirkan perkataan Kenneth, kemudian mengangguk dengan ragu.
"Oke deh, kalau kau bilang gitu... Tapi kok aku ngerasa kayak ada yang nggak enak gitu ya, kalau kamu nggak kenal, kenapa kau kelihatan nggak peduli sama sikap dia?"
Kenneth hanya menghela napas pelan, lalu menatap mobil Alexa yang mulai menjauh. "Aku emang nggak peduli."