Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.
Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.
Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?
Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7: Mission Started
Pagi itu pukul 06.00, Wira dan Bima berangkat ke rumah sakit dengan persiapan yang jauh lebih matang daripada sebelumnya. Mereka mengenakan alat komunikasi di telinga, membawa senjata api, beberapa granat flashbang, dan beberapa potong roti untuk bekal.
Bima duduk di kursi pengemudi, memegang erat setir mobil LCGC yang mereka gunakan. Mobil itu sudah mereka modifikasi, menghilangkan jok belakangnya agar bisa memuat tabung kriogenik dengan lebih leluasa.
Di sepanjang perjalanan, Wira mulai menjelaskan rencana mereka dengan detail. “Dengan modifikasi seperti ini kita setidaknya bisa membawa tiga tabung kriogenik,” ujarnya sambil menatap jalanan sepi di depan mereka. "Kemungkinan Ruo yang ada di sana sudah bertambah menjadi empat. Jadi ingat, kita tidak akan bertarung. Fokus kita adalah mengambil tabung dan keluar secepat mungkin."
Bima mengangguk serius. “Oke, tiga tabung dan keluar secepatnya. Dimengerti!.”
Wira menatap Bima sekilas, sedikit ragu. “Dan ingat, jangan biarkan rasa takut menguasaimu. Kita sudah tahu bahwa Ruo bisa mendeteksi emosi. Jangan sampai kamu ketakutan seperti kucing kena air.”
Bima tersenyum kecil, seolah tersinggung tapi juga memahami maksud Wira. “Santai, Wira. Aku bisa menjaga diriku. Lagipula, yang kutakuti bukan Ruo, tapi rencana gila yang selalu kamu buat.”
Wira tertawa singkat, senyumnya samar tapi penuh arti. “Yah, kalau bukan rencana gila, kita mungkin sudah tewas dari dulu.”
Bima tertawa kecil, tapi tak bisa sepenuhnya menyangkal kebenaran kata-kata Wira. Meski sering merasa was-was, ia tahu Wira selalu punya akal. Bima mengalihkan pandangannya ke jalan lagi, mempercepat laju mobil, menembus kesunyian kota yang porak-poranda.
Dalam hati, Wira sudah mempertimbangkan berbagai kemungkinan dan persiapan yang harus mereka lakukan untuk menghindari pertemuan langsung dengan Ruo. Bagi Wira, keberhasilan mereka kali ini bukan hanya tentang membawa pulang tabung kriogenik, tetapi juga tentang menjaga emosi dan ketenangan
Sesampainya di rumah sakit yang hening dan mencekam, Wira dan Bima bergerak perlahan, mengamati setiap sudut dengan cermat. Masing-masing dari mereka membawa pistol dan granat flashbang, waspada terhadap kemungkinan bahaya di setiap lorong.
Mereka menyusuri area rumah sakit, memastikan jalur menuju ruang radiologi aman. Namun, begitu sampai di salah satu lorong utama, mereka melihat sesuatu yang membuat langkah mereka terhenti. Di balik dinding, mereka mengintip sosok yang berjaga—Ruo dalam wujud kakek yang mereka selamatkan sebelumnya. Kini, Ruo itu tak lagi membutuhkan kursi roda; ia hanya berjalan mondar-mandir dari ujung lorong ke ujung yang lain, mengawasi setiap jengkal ruangan dengan ketenangan menyeramkan.
"Dasar Ruo sialan," bisik Wira pelan. "Sepertinya dia sengaja berjaga di tempat-tempat yang harus kita lewati."
Bima menyipitkan mata, memerhatikan Ruo yang terlihat sangat waspada. "Kita nggak bisa menghadapinya langsung. Kalau kita melawan, seluruh Ruo di sini pasti akan datang," ujarnya dengan nada cemas.
Wira berpikir keras, mencari cara untuk mengelabui Ruo itu tanpa menarik perhatian yang lain. Setelah beberapa saat, sebuah ide berani terlintas di benaknya. "Dengar, Bima," katanya dengan suara rendah. "Aku akan memancingnya keluar dari pos jaga itu. Tapi kali ini... aku akan memanipulasi emosiku sendiri, membuat diriku terlihat ketakutan."
Bima memandang Wira dengan alis terangkat, bingung tapi juga penasaran. "Tunggu, kamu bakal sengaja bikin diri sendiri takut?"
Wira mengangguk, ekspresinya serius. "Ruo merespons rasa takut. Jadi kalau aku berhasil membuat diriku sendiri terlihat ketakutan, Ruo itu akan mulai tertarik. Saat dia meninggalkan posnya, kamu langsung bergerak cepat melewati lorong dan masuk ke ruang radiologi. Aku akan berusaha mengalihkan perhatiannya selama mungkin."
Bima terdiam sejenak, mempertimbangkan rencana Wira. Meskipun terdengar berisiko, ia tahu Wira jarang melakukan kesalahan dalam perhitungan.
“Aku percaya padamu, Wira. Tapi kalau ada yang nggak sesuai rencana, aku bakal kembali untuk bantu kamu,” katanya akhirnya, menatap Wira dengan serius.
Wira tersenyum kecil, sedikit lega mendengar kepercayaan Bima. "Jangan khawatir. Fokus saja untuk sampai ke ruang radiologi dan ambil tabung kriogenik. Jangan buang waktu, dan jangan biarkan emosimu menguasai."
Bima mengangguk, mengatur napasnya dan bersiap untuk menjalankan rencana. Mereka saling memberi anggukan singkat, tanda bahwa mereka siap mengambil risiko ini. Wira melangkah maju dengan pelan, berusaha menahan rasa gugupnya dan membiarkan sedikit ketakutan menguasai dirinya, berharap rencana berani ini akan berhasil menarik perhatian Ruo dari pos jaganya.
Wira sudah berada di posisi yang berlawanan dengan Bima, siap menjalankan rencana mereka. Ia mencoba memanipulasi emosinya untuk merasakan ketakutan, untuk membangkitkan reaksi dari Ruo yang berjaga. Tapi, semakin Wira memikirkan sosok Ruo kakek itu dan mencoba membayangkan rasa takut, yang muncul justru rasa amarah yang membara. Ia mendapati dirinya sama sekali tak mampu merasakan ketakutan. Kemarahan dalam dirinya terasa terlalu kuat, mengalahkan segala upaya untuk menggetarkan hatinya.
“Kenapa… kenapa aku nggak bisa merasa takut?” gumamnya pelan, mulai kebingungan. Ia tahu rencana mereka akan gagal jika ia tak bisa memancing Ruo menjauh.
Wira melirik ke arah sekitarnya, mencari inspirasi. Di salah satu sudut dinding, ia melihat pecahan cermin yang memantulkan wajahnya dalam bentuk pecahan-pecahan kecil. Refleksi itu mengingatkan Wira akan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, dan sekejap itu membuatnya merinding—perasaan aneh yang cukup untuk memancing perhatian Ruo.
Perlahan, Ruo kakek yang berjaga mulai memperhatikan kehadiran Wira dan mengarahkan pandangannya ke arah Wira dengan tatapan kosong. Bima, yang melihat kesempatan ini, langsung bergerak cepat melewati pos jaga yang kini kosong, berlari lurus menuju lorong selanjutnya. Setelah beberapa langkah, Bima berhenti di sudut aman dan menghubungi Wira lewat alat komunikasinya.
"Wira, aku sudah berhasil melewati pos itu," lapor Bima dengan napas tertahan. "Tapi di lorong selanjutnya ada Ruo lain… kali ini dalam wujud perawat."
“Nice, Bima,” jawab Wira, menyembunyikan ketegangan dalam suaranya. Namun, sialnya, dalam sekejap mata, Ruo kakek itu menoleh ke arah Wira dan langsung mengenalinya. Wira yang sama sekali tidak merasa takut terkejut saat melihat Ruo kakek mulai bergerak cepat ke arahnya.
“Ruo ini masih bisa melihat!” kata Wira dalam bisikan panik melalui alat komunikasinya. “Bima, teruskan ke lorong berikutnya. Jangan berhenti!”
Wira mulai berlari menjauh dengan Ruo kakek yang terus mengejarnya. Sialnya, suara langkah mereka menarik perhatian Ruo perawat, yang langsung berbelok dan ikut mengejar Wira dari arah lain. Kini, Wira berada dalam pengejaran ganda, dan ia harus berpikir cepat untuk membuat Ruo kehilangan jejaknya.
Di sisi lain, Bima berlari cepat menuju lorong ketiga, seperti yang diperintahkan Wira. Sesampainya di sana, ia melihat dua Ruo lain berdiri berjaga di depan ruang radiologi—target utama mereka.
Bima berpikir cepat, menggenggam flashbang di tangannya. “Ini satu-satunya kesempatan,” gumamnya. Ia mengaktifkan flashbang, melemparkannya tepat di depan dua Ruo yang berjaga.
“Bang!” Cahaya yang menyilaukan memenuhi lorong, membuat kedua Ruo itu tersentak dan terhenti sesaat. Dengan cepat, Bima mendobrak pintu ruang radiologi, masuk ke dalam, lalu berbalik memancing kedua Ruo untuk mengejarnya ke dalam ruangan.
Saat Ruo-ruo itu masuk ke ruang radiologi, Bima menembakkan pelurunya ke arah dua tabung kriogenik yang ada di sudut ruangan. “DORR!” Tabung itu meledak, dan dalam sekejap, kabut beku menyelimuti ruangan. Suhu mendadak turun drastis, membekukan kedua Ruo yang terjebak di dalamnya.
Melihat mereka sudah melambat, Bima meraih tongkat besi yang ada di ruangan dan, tanpa membuang waktu, ia menghantam dua kepala Ruo yang mulai membeku, menghancurkan kepala mereka hingga tak berbentuk.
Bima menghela napas lega, lalu cepat-cepat mengangkat salah satu tabung kriogenik yang masih utuh. Dengan penuh tenaga, ia menyeret tabung tersebut keluar dari ruang radiologi dan mulai bergerak ke arah pintu keluar, menghubungi Wira dengan nada lega bercampur waspada.
“Wira, aku sudah dapat satu tabung! Ayo, kita keluar dari sini sebelum mereka menyadari keberadaan kita!”
Sementara itu, Wira masih terus berlari menghindari dua Ruo yang mengejarnya dengan gigih. Napasnya mulai tersengal-sengal, tapi ia tak punya pilihan selain bertahan sedikit lebih lama. Melalui alat komunikasinya, Wira menyuruh Bima untuk segera membawa tabung kriogenik yang sudah ia amankan.
“Cepat masukkan tabungnya ke mobil, Bima!” kata Wira dengan napas berat.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, suara Bima terdengar di telinga Wira. “Tabung sudah di dalam mobil! Kembali sekarang, Wira.”
Namun, seolah menyadari sesuatu, salah satu Ruo, yang berwujud perawat, tiba-tiba berhenti mengejar Wira dan berbalik arah, menuju ke arah mobil di mana Bima berada. Mata Wira terbelalak, dan tanpa berpikir panjang ia langsung berteriak ke dalam alat komunikasi.
“Bima, Ruo perawat mengejarmu! Tancap gas! Pergi sekarang juga dan tinggalkan aku di sini! Kembali ke markas!”
Bima ragu sejenak, suaranya penuh kebimbangan. “Tidak! Aku nggak bisa meninggalkanmu sendirian, Wira!”
“Percayalah padaku, Bim! Aku punya rencana!” kata Wira dengan suara yang penuh kepastian. Namun dalam hati, Wira tahu bahwa dirinya sebenarnya tidak punya rencana sama sekali. Ia hanya ingin memastikan Bima selamat dengan membawa tabung kriogenik kembali ke markas.
Akhirnya, setelah jeda yang singkat, Bima mengangguk di seberang komunikasi. “Baiklah… aku akan kembali ke markas. Hati-hati, Wira.” Dengan penuh keyakinan, Bima segera menancap gas, meninggalkan Wira sendirian menghadapi Ruo yang tersisa.
Wira melanjutkan pelariannya, tapi kini tubuhnya mulai terasa lelah. Langkah-langkahnya semakin berat, dan napasnya semakin pendek. Dengan sisa tenaga yang ada, ia mendongak dan melihat sebuah sungai besar di kejauhan. Tanpa ragu, ia mengarahkan pelariannya menuju sungai, berharap ini bisa menjadi jalan keluar terakhirnya.
“Ini sedikit lucu... melihat kakek-kakek bisa berlari secepat ini,” gumam Wira sambil tertawa kecil di tengah kelelahan, mencoba mempertahankan semangatnya.
Setelah berlari cukup jauh dari Rumah Sakit Wira melompat dengan satu lompatan besar, Wira menceburkan dirinya ke dalam sungai. Air dingin menyelimuti tubuhnya seketika, membuatnya merinding. Ternyata, Ruo kakek yang mengejarnya tak ragu ikut melompat ke sungai, hanyut dalam arus bersama Wira. Wira segera merasakan suhu air yang dingin mungkin memiliki efek pada Ruo yang keras dan tak kenal lelah.
Menggenggam pistolnya dengan tangan gemetar, Wira mengangkatnya, mengarahkan moncongnya langsung ke kepala Ruo yang mengapung tak jauh darinya. “Mari tidur bersama, kakek sialan!” gumamnya dengan senyum tipis.
“DORR! DORR! DORR!” Wira menembak berulang kali, pelurunya menghantam kepala Ruo yang mulai melemah di tengah arus dingin sungai. Perlahan, kekuatan Ruo terlihat berkurang, dan tubuhnya mulai lemas.
Wira tersenyum puas, namun kelelahan dan suhu dingin membuat tubuhnya melemah. Pandangannya mulai kabur, dan ia merasa dirinya hanyut bersama arus, kesadarannya perlahan menghilang. Dengan senyum kecil di bibirnya, Wira akhirnya tak sadarkan diri, terbawa arus sungai yang mengalir deras.
Markas Nora, Sore hari.
Di markas, Bima tiba dengan tabung kriogenik di tangannya. Ia tampak kelelahan, namun berhasil membawa pulang barang yang menjadi tujuan mereka. Nora, yang langsung melihat kedatangan Bima tanpa Wira, mendekat dengan ekspresi cemas.“Bima... mana Wira?” tanyanya dengan nada penuh kekhawatiran.
Bima menghela napas, wajahnya terlihat murung. “Aku… aku tidak tahu, Nora. Wira… dia mengorbankan dirinya agar aku bisa membawa tabung ini kembali dengan selamat.”
Mendengar jawaban itu, Nora terlihat lemas, wajahnya seketika berubah pucat. Tangan gemetarannya mencengkeram lengan Bima, matanya berkaca-kaca. "Apa kamu yakin dia... dia selamat?”
Bima hanya bisa menunduk, tidak tahu harus menjawab apa. Situasi yang baru saja mereka alami begitu menegangkan, dan meski ia ingin percaya bahwa Wira bisa selamat, kenyataannya Wira memilih untuk menghadapi Ruo sendirian demi misinya.
Rizki, yang mendengarkan percakapan itu, segera mengambil langkah cepat. "Biar aku coba lacak alat komunikasinya," katanya, langsung menuju ke perangkatnya untuk mencoba menemukan sinyal alat komunikasi Wira. Namun setelah beberapa percobaan, hasilnya tetap nihil.
“Tidak ada sinyal,” gumam Rizki dengan nada kecewa. “Sepertinya alat komunikasinya rusak.”
Setelah memastikan alat komunikasi Wira tak memberikan sinyal apa pun, Rizki menarik napas panjang. Meski kecewa dan khawatir, ia menolak membiarkan rasa putus asa menguasainya. Dengan langkah tegas, ia mengambil tabung kriogenik yang dibawa Bima dan menatapnya sejenak.
“Kalau aku tidak bisa menemukan Wira, maka inilah yang bisa kulakukan untuknya,” gumam Rizki, setengah kepada dirinya sendiri dan setengah kepada yang lain.
Rizki segera membawa tabung kriogenik itu ke ruang kerja kecilnya dan mulai bersiap untuk merancang bom pembeku. Tangannya bergerak cepat, mempersiapkan bahan-bahan yang telah ia riset sebelumnya. Rasa kehilangan bercampur ketekunan terpancar dari gerak-geriknya; ia tahu bahwa menciptakan senjata ini adalah satu-satunya cara untuk menghormati pengorbanan Wira, dan mungkin bisa menjadi penyelamat tim mereka di masa depan.
Flora memperhatikan Rizki yang sibuk dengan rancangannya, lalu berbisik lembut kepada Nora dan Bima, “Rizki benar. Saat ini, yang terbaik adalah tetap fokus pada apa yang bisa kita lakukan.”
Keputusasaan mulai merayap dalam hati mereka. Flora yang berdiri di samping, menggenggam tangan Meyrin yang masih cemas, mencoba memberikan ketenangan. "Dengar," kata Flora dengan suara pelan namun penuh keyakinan, "Wira itu orang yang kuat. Kamu tahu sendiri, kan? Tidak mungkin dia mati semudah itu."
Meyrin menatap Flora dengan mata besar penuh rasa takut, seakan mencoba mencari harapan dalam kata-kata Flora. Melihat ekspresi itu, Flora mengelus kepala Meyrin dengan lembut, seolah meyakinkan baik anak kecil itu maupun dirinya sendiri bahwa Wira pasti akan kembali.
Bima memandang teman-temannya dan, dengan nada bersalah, berkata, “Besok… aku akan mencarinya saat keluar untuk mencari makanan. Kita tidak bisa menyerah begitu saja. Kalau Wira masih hidup di luar sana, aku harus menemukannya.”
Nora mengangguk pelan, meski masih tampak sangat khawatir. Keberanian Wira telah memberi mereka banyak harapan, dan kali ini mereka tahu mereka harus kuat untuknya juga.