Genre: Action, Drama, Fantasy, Psychological, System
Seluruh siswa kelas 3A tidak pernah menyangka kalau hidup mereka akan berubah drastis ketika sebuah ritual aneh menarik mereka ke dunia lain. Diberikan gelar sebagai "Pahlawan Terpilih," mereka semua mendapat misi mulia untuk mengalahkan sang Raja Iblis dan menyelamatkan dunia asing tersebut. Di antara mereka ada Hayato, siswa yang dikenal pendiam namun selalu memiliki sisi perhatian pada teman-temannya.
Namun, takdir Hayato justru terpecah dari jalur yang diharapkan. Ketika yang lain menerima berkat dan senjata legendaris untuk menjadi pahlawan, Hayato mendapati dirinya sendirian di ruangan gelap. Di sana, ia bertemu langsung dengan sang Raja Iblis—penguasa kegelapan yang terkenal kejam. Alih-alih membunuhnya, Raja Iblis memberikan tawaran yang tak bisa Hayato tolak: menjadikannya "Villain Sejati" untuk menggantikan posisinya dalam tiga tahun mendatang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nov Tomic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
— BAB 21 — Melanjutkan Misi Part 1 —
Sinar matahari menembus dedaunan yang lebat, menciptakan bayangan bercorak di tanah. Udara hutan terasa segar, meski suara-suara alam—kicauan burung, gemerisik dedaunan, dan suara langkah kaki kami di atas tanah—mengusik ketenangan itu. Beberapa hari telah berlalu sejak kami bertahan di hutan ini, dan luka-lukaku kini jauh lebih baik, berkat Eirene.
Ia merawatku dengan penuh kasih sayang, bahkan lebih dari yang pantas aku terima. Ia membuat ramuan herbal dari dedaunannya, memastikan aku makan dengan teratur, dan tidak pernah membiarkanku kelelahan. Rasanya tidak ada kata yang cukup untuk menggambarkan betapa besar rasa terima kasihku.
Di bawah terik matahari siang itu, aku akhirnya memutuskan untuk berbicara tentang sesuatu yang selama ini kupendam.
"Eirene," panggilku, duduk di atas batu besar sambil menatapnya yang sedang menyiapkan perbekalan.
Ia menoleh, senyum lembut terukir di wajahnya. "Ada apa, Hayato?"
Aku menarik napas dalam, mencoba merangkai kata-kata. "Aku ingin memberitahumu sesuatu. Tentang... sistem yang ada di dalam diriku."
Matanya menyipit sedikit, tanda bahwa ia mencoba memahami apa yang kukatakan. "Sistem?"
[Status Ditampilkan!]
[Level: 10]
[Nama: Hayato]
[Umur: 18 Tahun]
[Stamina: 90]
[Attack: 81]
[Defense: 77]
[Speed: 85]
[Tipe: Calon Raja Iblis]
[Skill: Adaptasi Kegelapan, Gigitan Kegelapan, Manipulasi Racun, Memasak, Manipulasi Darah, Penglihatan Malam, Null, Petunjuk Arah]
[ - Slot 1: Tas Hitam Kecil]
[ - Slot 2: -]
[ - Slot 3: -]
[Misi: Teka Untuk Membuka!]
Sembari menatap layar sistem, aku mengangguk. "Ya, semacam kemampuan atau mekanisme yang hanya bisa kulihat. Itu membantuku, memberi informasi tentang misi, statistik, bahkan kemampuan yang bisa kugunakan. Tapi, itu hanya muncul untukku, dan tidak ada orang lain yang bisa melihatnya."
Eirene menatapku dengan penuh perhatian. "Aku tidak sepenuhnya mengerti, tapi... aku percaya padamu, Hayato. Jika kau mengatakan itu ada, maka aku yakin itu nyata."
Kata-katanya begitu sederhana, tetapi membuat dadaku terasa hangat. Aku tersenyum tipis. "Terima kasih. Sistem ini adalah alasan aku tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Salah satu misinya adalah memburu tiga jenis monster yang berbeda dengan total 15 monster. Sejauh ini, aku baru berhasil membunuh lima goblin. Itu berarti aku butuh dua jenis monster lagi, masing-masing lima."
Ia mengangguk pelan, lalu tersenyum kecil. "Kebetulan aku tahu di mana letak Orc. Mereka tidak jauh dari sini. Aku melihatnya saat menjelajahi hutan waktu itu, saat kau..."
Kalimatnya terhenti, tetapi aku tahu apa yang ia maksud. Ia berbicara tentang saat aku meninggalkannya sendirian. Rasa bersalah kembali menyeruak di dadaku, tapi aku menahan diri untuk tidak menyesali hal itu lagi.
"Eirene, aku minta maaf—"
"Jangan," potongnya, menggeleng pelan. "Kita sudah membahas ini. Yang penting sekarang kau di sini bersamaku."
Aku mengangguk, lalu berdiri. "Kalau begitu, ayo kita pergi. Tapi nanti, saat aku melawan Orc, tetaplah diam. Sistem ini bersifat individu. Aku harus melakukannya sendiri."
Ia tidak membantah, hanya mengikuti di belakangku saat kami menyusuri hutan.
Setelah beberapa jam berjalan, kami akhirnya menemukan mereka.
Tujuh Orc berjalan tanpa arah di sebuah area terbuka. Mereka memiliki tubuh besar, setinggi hampir dua meter dengan kulit kehijauan yang kasar dan tebal. Wajah mereka menyerupai babi liar, dengan hidung pesek, taring yang mencuat, dan mata merah menyala. Mereka membawa senjata besar seperti gada dan kapak, yang tampak berat hanya dengan melihatnya.
Aku menarik napas dalam. "Diam di sini, Eirene. Jangan ikut campur."
Ia mengangguk tanpa suara, bersembunyi di balik semak-semak.
Aku melangkah maju, mengangkat tanganku. Manipulasi Darah adalah pilihan pertama. Aku membentuk tombak dari darah yang mengalir di tubuhku, lalu melesatkannya dengan kecepatan tinggi ke arah salah satu Orc.
Tombak itu menembus udara, tetapi Orc itu mengangkat gada besar untuk menangkisnya. Benturan itu menghasilkan suara nyaring, dan tombakku terpental, hanya meninggalkan goresan kecil di gada itu.
"Sial, kulit mereka terlalu tebal," gumamku, mundur selangkah.
Salah satu Orc menggeram, memberi sinyal kepada yang lain. Mereka mulai mendekatiku, menyeret senjata mereka di tanah.
Aku segera melompat ke belakang, menggunakan Gigitan Kegelapan. Kabut hitam pekat keluar dari telapak tanganku, membentuk mulut besar yang melahap salah satu Orc. Namun, itu hanya cukup untuk melukai mereka, bukan membunuh.
"Ah, ini tidak cukup," pikirku.
Orc lain menyerangku dengan kapaknya. Aku menghindar ke samping, tetapi gerakanku melambat karena tubuhku masih belum pulih sepenuhnya. Kapak itu berhasil menggores lenganku, dan rasa sakit yang tajam menjalar ke seluruh tubuhku.
Aku tidak punya waktu untuk merintih. Dengan cepat, aku mengaktifkan Manipulasi Racun, mencampurkan energi kegelapan dengan darah yang menetes dari lenganku. Cairan itu kuarahkan ke arah dua Orc, mengenai wajah mereka. Dalam hitungan detik, mereka mulai mengerang kesakitan, mata mereka memerah, dan tubuh mereka bergetar hebat.
"Aku masih harus menghadapi lima lagi," gumamku.
Tiga Orc menyerangku bersamaan, membuatku tidak punya pilihan selain mengaktifkan Adaptasi Kegelapan. Tubuhku diselimuti lapisan energi hitam pekat, memperkuat pertahananku. Serangan gada salah satu Orc menghantam dadaku, tetapi tidak cukup untuk melumpuhkanku.
Aku memanfaatkan momen itu untuk melompat tinggi, menciptakan beberapa tombak darah di udara, dan meluncurkannya ke arah Orc yang berada di bawahku. Kali ini, aku berhasil menembus leher salah satu dari mereka. Darah hijau memancar keluar, dan tubuhnya ambruk ke tanah.
Pertarungan terus berlangsung dengan intens. Setiap gerakan terasa seperti tarian kematian, dengan aku melompat, menyerang, dan bertahan. Rasa lelah mulai menyerang tubuhku, tetapi aku tidak bisa berhenti.
Akhirnya, hanya tersisa satu Orc. Ia lebih besar dan tampak lebih kuat daripada yang lain, dengan gada berduri yang tampak seperti senjata utama mereka.
Aku memusatkan seluruh energiku, menciptakan satu tombak darah raksasa, lalu meluncurkannya dengan seluruh kekuatanku. Tombak itu menembus dada Orc terakhir, dan ia terjatuh dengan suara yang mengguncang tanah.
Sebuah layar sistem muncul di depanku:
[Misi, Sedang Aktif]
[ - Jelajahi Hutan Lebih Jauh dan Bunuh Tiga Jenis Monster Berbeda!]
[ - Total: 15 Monster, 5 Dari Setiap Jenis]
[ - Progress: 5 Goblin, 5 Orc, ...]
[ - Hadiah: Peta Menuju Kastil Raja Iblis]
Aku menghela napas panjang, tubuhku gemetar karena kelelahan.
Eirene keluar dari tempat persembunyiannya, berlari ke arahku dengan wajah penuh kekhawatiran. "Hayato! Apa kau baik-baik saja?"
Aku hanya mengangguk, menatap tubuh-tubuh besar Orc yang tergeletak di sekelilingku.
Pertarungannya begitu sengit karena aku sedikit menahan diri. Aku sengaja menggunakan banyak skill sebagai percobaan kombinasi, tetapi aku tidak menggunakan Null karena skill itu terlalu menguras tenaga. Mungkin, di pertarungan selanjutnya—aku akan menggunakannya.
"Ayo istirahat untuk hari ini, kau terluka lagi," kata Eirene dengan nada penuh kekhawatiran.
Aku hanya bisa mengangguk, menerima ajakannya.