Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 21 Sebaiknya Menjauh
“Bagaimana keadaannya?” tanya Adrian dengan nada khawatir, matanya tak lepas menatap ruang rawat di mana Enzio berbaring.
“Hanya demam karena kelelahan. Tapi, dia terus memanggil om tampan sejak tadi,” jawab Gama, dokter yang menangani Enzio, sambil tersenyum kecil.
Gama adalah sepupu jauh Adrian. Jadi, saat tahu Enzio sakit, Adrian langsung menghubunginya, meminta lelaki itu untuk bersiap di rumah sakit tempatnya bertugas.
“Kamu kenal dengan orang yang dia sebut itu?” tanya Gama.
Adrian dan Kania saling berpandangan, seakan ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka.
Kania tersenyum tipis, lalu menjawab, “Om tampan itu dia, Dokter.”
Wajah Adrian mendadak memerah mendengar ucapan Kania, sementara Gama yang tengah menyesap kopinya hampir tersedak. Dia memandang Adrian dengan mata berbinar seolah tak percaya.
“Dia? Serius? Bocah itu pasti salah orang,” kata Gama sambil menggelengkan kepala, mencoba menahan tawa. Ia sudah bersama Adrian sejak kecil, tapi tak pernah terpikirkan olehnya bahwa Adrian akan mendapat julukan seperti itu.
Adrian terkenal dingin dan tak tersentuh bahkan, jika dilihat, Adrian berubah tampan sejak dirinya masuk bangku kuliah. Itu menurut Gama.
Apalagi soal hubungan Adrian dengan perempuan di sebelahnya masih membuat Gama penasaran.
Saat Adrian menikah dulu, Gama kebetulan masih menempuh studi di luar negeri, jadi ia tak pernah hadir di pernikahan sahabatnya itu.
Adrian, yang tak suka dengan arah percakapan ini, mendelik tajam. “Sudahlah, lebih baik kamu berikan resep obatnya. Kami harus segera pulang.”
Gama tertawa kecil. “Santai saja, aku cuma bercanda. Tapi dipikir-pikir, kalau kamu sudah punya anak, pasti umurnya seumuran dengan Zio. Hanya saja, masalahnya sekarang, kamu bahkan belum menyentuh Laras, istrimu yang sekarang, kan? Katanya kamu masih mikirin mantan istri. Ah, betul-betul konyol.”
Kata-kata Gama membuat Kania mengerutkan kening.
“Maksud dokter apa? Siapa yang belum menyentuh Laras?”
Adrian terlihat salah tingkah, dan dengan cepat ia menyela. “Jangan dengarkan dokter gila ini. Tugasnya cuma memeriksa Zio, tapi entah kenapa mulutnya malah berbicara hal yang tidak perlu.” Dia memberi isyarat kepada Gama untuk mengikutinya keluar dari ruangan. “Tetap di sini, aku mau bicara sebentar dengan dokter so Zio.”
Kania mengangguk patuh. “Iya, Mas.”
Kania kembali memandangi Enzio yang kini terlihat lebih tenang setelah demamnya mulai mereda. Dengan lembut, ia mengelus rambut anak kecil itu, menghela nafas lega.
“Syukurlah, demamnya sudah turun,” bisiknya sambil mencium kening Enzio. “Mama sempat khawatir tadi. Jangan sakit lagi ya, sayang. Mama janji akan melakukan apapun yang kamu minta setelah kamu sembuh.”
Tetesan air mata hampir jatuh dari sudut matanya saat pikirannya melayang pada masa lalu. Ia tak ingin kehilangan siapapun lagi, seperti dulu ketika ia kehilangan ayahnya.
Ayahnya begitu terpukul saat mendengar bahwa Adrian, lelaki yang diharapkan menjadi pendamping hidupnya selamanya, memilih menceraikannya. Hidupnya tak pernah sama lagi sejak saat itu.
“Maafkan mama jika mama egois. Mama melakukan semua ini demi Zio. Mama nggak mau mereka menganggap mama bukan wanita baik-baik.”
**
Sementara Dmdi luar, suasana terasa tegang. Adrian menarik kerah baju Gama dengan kasar, wajahnya penuh kemarahan yang terpendam.
“Kenapa kamu membicarakan soal aku dan Laras di depan Kania? Apa kamu tidak sadar kalau hubungan kami memang sedang tidak baik-baik saja?”
Gama, yang terkejut dengan serangan mendadak itu, segera melepaskan diri. “Hei, santai, Bung! Kamu kenapa?” tanyanya. “Lagipula, perempuan di dalam itu bukan siapa-siapa kamu, kan? Dia pasti hanya karyawan di perusahaan mu.”
“Siapa bilang?” Adrian mengusap wajahnya, frustasi. “Dia bukan karyawan. Melainkan mantan istriku, Kania.”
Gama membelalak tak percaya. “Apa? Mantan istri?” Suaranya meninggi, hampir berteriak. “Jadi dia Kania, perempuan yang kamu ceraikan setelah malam pertama? Dan bocah itu?”
Adrian mengangguk pelan, suaranya terdengar berat. “Ya, Zio itu putraku. Darah dagingku.”
Gama tidak bisa berkata-kata lagi. Dia yakin jika kabar imi sampai ke telinga Laras, sesuatu yang besar pasti akn terjadi.
“Kenapa diam saja? Putraku yang sakit, kamu yang gelisah.” Adrian berkata dengan wajah ketus.
“Menjauhlah dari mereka berdua jika kamu tidak ingin terjadi sesuatu nantinya,” ucap Gama, menepuk pundak Adrian seraya memperingatkan sepupunya itu.