Di bawah cahaya bulan, istana di lembah tersembunyi menjadi saksi kelahiran seorang bayi istimewa. Erydan dan Lyanna, pengemban Segel Cahaya, menyambut putri mereka dengan perasaan haru dan cemas.
"Dia adalah harapan terakhir kita," ujar Erydan, matanya menatap tanda bercahaya di punggung kecil bayi itu.
Lyanna menggenggam tangannya. "Tapi dia masih bayi. Bagaimana jika dunia ini terlalu berat untuknya?"
Erydan menjawab lirih, "Kita akan melindunginya."
Namun di kejauhan, dalam bayang-bayang malam, sesuatu yang gelap telah bangkit, siap mengincar pewaris Segel Cahaya: Elarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon monoxs TM7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Jejak Kegelapan
Malam mulai merayap masuk ke desa, menyelimuti setiap sudutnya dengan bayangan panjang. Elarya masih duduk di ruang dalam rumah Nessa, matanya terpaku pada halaman terakhir buku tua yang telah ia baca berulang kali. Kata-kata dalam kitab itu, meskipun penuh dengan kebijaksanaan, terasa seperti beban yang semakin menambah tanggung jawab yang harus ia pikul. Ia bisa merasakan kegelapan yang berusaha merayap dalam dirinya—sesuatu yang begitu dekat, namun juga terasa asing dan menakutkan.
Ketika ia menutup buku itu, udara di sekitar ruangan tampak mengental, seolah dunia di luar sana mulai berubah. Sesuatu di dalam dirinya bergolak—keinginan untuk mengerti lebih dalam tentang kekuatan yang ada dalam dirinya, tentang segel cahaya yang ia miliki. Namun, ada ketakutan yang juga muncul, menyelipkan keraguan di dalam hatinya.
"Nessa," Elarya mulai, suaranya pelan, namun penuh tekad, "Apa yang harus aku lakukan setelah ini? Aku tahu cahaya yang ada dalam tubuhku sangat kuat, tetapi aku takut... aku takut tidak bisa mengendalikannya."
Nessa duduk di dekatnya, menatapnya dengan mata yang penuh makna. "Ketakutanmu adalah bagian dari perjalananmu, Elarya. Tidak ada yang bisa mengendalikan kekuatan besar tanpa melewati rasa takut dan keraguan. Yang perlu kamu lakukan adalah belajar untuk menerima setiap bagian dari dirimu, baik itu cahaya maupun kegelapan. Keduanya adalah bagian dari kekuatanmu."
"Tapi bagaimana jika aku tidak bisa menghadapinya?" Elarya bertanya dengan nada lebih cemas. "Bagaimana jika aku menjadi seperti mereka—Penguasa Kegelapan yang Kael sebutkan? Apa yang terjadi jika aku kehilangan kendali?"
Nessa menarik napas panjang, tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Kegelapan bukanlah sesuatu yang harus dihancurkan, Elarya. Itu adalah bagian dari alam semesta ini, dan juga bagian dari dirimu. Yang harus kamu lakukan adalah memahaminya. Jika kamu mencoba untuk menolaknya atau menghancurkannya, kamu akan jatuh ke dalamnya. Tetapi jika kamu bisa mengenali dan menerima kegelapan itu, kamu akan memiliki kekuatan untuk mengendalikannya."
Elarya mencerna kata-kata Nessa. Sejak ia mengetahui bahwa segel cahaya ada di tubuhnya, ia telah berjuang untuk memahami kekuatan itu. Namun, sekarang ia diberitahu bahwa ada bagian lain yang harus ia pelajari—sesuatu yang lebih dalam dan lebih gelap dari sekadar cahaya yang selama ini ia banggakan.
Tak lama kemudian, pintu rumah itu terbuka, dan Kael masuk dengan langkah cepat. Matanya yang tajam menatap mereka berdua, lalu beralih pada Elarya. "Nessa, kami perlu berbicara," katanya, suaranya tegas. "Kegelapan yang kita hadapi tidak menunggu kita untuk siap. Waktu kita hampir habis."
Nessa berdiri dan menatap Kael dengan penuh perhatian. "Apa yang terjadi?" tanyanya dengan nada serius.
"Kelompok Penguasa Kegelapan mulai bergerak," jawab Kael, suaranya datar namun penuh dengan urgensi. "Kami mendapat kabar bahwa mereka sudah melacak keberadaan kita. Mereka tahu tentang segel cahaya yang ada pada Elarya. Kami tidak bisa lagi berlama-lama di sini."
Elarya merasa jantungnya berdegup lebih cepat. “Mereka sudah menemukan kita?” tanyanya, berusaha menahan rasa takut yang mulai merayap di hatinya.
Kael mengangguk. "Ya. Mereka tidak akan berhenti sebelum mendapatkan apa yang mereka inginkan. Kita harus bergerak sekarang. Kita akan menuju ke tempat yang lebih aman. Nessa, apakah kamu siap?"
Nessa hanya mengangguk perlahan, tampaknya sudah memahami situasinya dengan jelas. "Tentu saja. Tapi Elarya..." Nessa menatapnya dengan tatapan yang penuh makna, "Kamu harus siap menghadapi mereka. Mereka tidak akan datang hanya untuk mengambil segel itu—mereka akan mencoba menguasainya. Itu artinya, kamu akan diuji dalam cara yang belum pernah kamu bayangkan sebelumnya."
Elarya mengangguk, merasa sebuah rasa tanggung jawab yang berat menyelimuti dirinya. "Aku mengerti," jawabnya, meskipun ketakutan masih mengisi setiap celah hatinya. "Aku akan siap."
Kael berjalan mendekat, meletakkan tangan di bahu Elarya. "Tidak ada yang benar-benar siap untuk menghadapi ini, Elarya. Tapi kamu tidak sendirian. Kami akan bersamamu."
Dengan kata-kata Kael yang sedikit menenangkan, Elarya merasa ada sedikit kekuatan yang kembali ke dalam dirinya. Ia tahu bahwa perjalanannya baru saja dimulai, dan tantangan yang lebih besar akan segera datang. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa mundur sekarang.
Nessa memimpin mereka keluar dari rumah dan menuju ke jalan setapak yang mengarah keluar dari desa. Udara malam yang dingin menusuk kulit mereka, tetapi perjalanan ini harus dilanjutkan. Setiap langkah terasa semakin berat, namun juga semakin penuh dengan tujuan. Mereka harus menuju tempat yang lebih aman, tempat di mana mereka bisa merencanakan langkah berikutnya.
Saat mereka berjalan, Kael tiba-tiba berhenti dan menoleh ke belakang, matanya menyapu sekeliling dengan kewaspadaan yang tajam. "Ada yang mengikutinya," katanya pelan, mengingatkan semua orang untuk tetap waspada.
Elarya merasakan sesuatu yang aneh dalam udara malam. Suasana yang tadinya tenang kini terasa mencekam, seolah ada bayangan gelap yang mengikuti setiap langkah mereka. "Siapa yang mengikutinya?" tanya Elarya, suaranya hampir tidak terdengar.
"Sudah saatnya kita bertemu dengan mereka," Kael menjawab dengan suara yang penuh dengan tekad. "Penguasa Kegelapan tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja. Mereka akan mengejar kita sampai kita jatuh."
Mereka terus berjalan dengan hati-hati, langkah mereka semakin cepat, seiring dengan meningkatnya ketegangan di sekitar mereka. Elarya bisa merasakan kehadiran sesuatu yang tidak tampak, sesuatu yang mengintai di setiap sudut, menunggu untuk meluncurkan serangan. Kegelapan itu semakin dekat, dan mereka tidak bisa lagi menghindarinya.
Tiba-tiba, dari balik pohon besar yang terletak di sisi jalan, terdengar suara langkah kaki yang berat. Sebuah bayangan besar meluncur keluar dengan kecepatan yang mengejutkan. Elarya merasakan hawa dingin yang meresap ke tulang, sementara Kael segera menyiapkan senjatanya. "Lindungi dirimu, Elarya!" teriak Kael, saat bayangan itu mendekat dengan sangat cepat.
Tanpa berpikir panjang, Elarya meraih cahaya yang tersembunyi dalam dirinya. Sesuatu dalam dirinya mulai terbangun—sebuah kekuatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya itu menyala, terang benderang, menyelimuti mereka dengan aura yang kuat. Namun, saat itu juga, ia merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah dorongan gelap, yang seakan mengalir dari dalam dirinya, mencoba mengacaukan kendalinya atas cahaya itu.
"Jangan biarkan itu menguasaimu!" teriak Kael, matanya penuh dengan kecemasan.
Elarya menggertakkan gigi, berusaha mengendalikan cahaya yang menyala di tangan. Kegelapan itu semakin menguat, dan ia tahu bahwa ini adalah ujian pertama yang harus ia hadapi. Kekuatan cahaya yang ia miliki, dan kegelapan yang mulai bangkit, bertarung di dalam dirinya. Apa yang terjadi selanjutnya, hanya waktu yang bisa memberi jawaban.
Cahaya yang keluar dari tubuh Elarya menyebar dengan kekuatan yang dahsyat, menyelimuti hutan di sekitar mereka. Namun, meskipun cahayanya terang, ia bisa merasakan kegelapan itu, seperti bayangan yang merayap, berusaha menguasai dan meredupkan sinar yang ia pancarkan. Hatinya berdegup cepat, namun ia tahu bahwa ia harus mengendalikan keduanya—cahaya dan kegelapan. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya.
"Jangan biarkan itu menguasaimu, Elarya!" teriak Kael lagi, matanya tajam dan penuh peringatan. "Kegelapan itu hanya bisa menguasaimu jika kamu menyerah."
Elarya menatap kegelapan yang mulai merayap di dalam dirinya. Rasanya seperti ada tangan-tangan tak kasat mata yang menariknya ke dalam jurang, namun ia menggenggam lebih erat cahaya yang ada dalam dirinya, memfokuskan kekuatannya pada kehendaknya sendiri. "Aku bisa menghadapinya!" gumamnya, bertekad. "Aku tidak akan membiarkan kegelapan ini menang."
Dengan setiap detik yang berlalu, Elarya merasakan cahaya yang ada dalam dirinya semakin kuat. Ia tidak lagi takut pada kegelapan itu; ia mulai memahami bahwa ia harus menggabungkan keduanya. Tanpa kegelapan, cahaya tidak akan bisa bersinar. Tanpa cahaya, kegelapan tidak akan bisa dilawan.
Mata Elarya berkilat dengan determinasi, dan cahaya di tubuhnya semakin intens. Seiring dengan itu, bayangan gelap yang tadi muncul dari balik pohon mulai semakin jelas. Sosok itu bergerak lebih cepat, seolah menyadari bahwa Elarya kini mulai mengendalikan cahaya dalam dirinya. Mereka bukan hanya berhadapan dengan musuh, tetapi juga dengan diri mereka sendiri. Kegelapan itu bukan hanya ada di luar, tetapi juga di dalam hati mereka. Dan saat ini, Elarya tahu bahwa kegelapan itu sedang mencoba merasukinya.
"Tapi aku tidak akan menyerah!" Elarya berseru, melangkah maju dengan penuh keyakinan, mengeluarkan lebih banyak cahaya dari tubuhnya.
Bayangan gelap itu tertawa, suara serak yang terdengar seperti desahan dari kegelapan yang tak terukur. "Kamu pikir kamu bisa mengalahkan kami hanya dengan cahaya?" suara itu bergema di sekitar mereka, membuat suasana semakin mencekam. "Kegelapan ini sudah lama ada dalam dirimu. Kami hanya menunggu saatnya datang."
Elarya merasakan tubuhnya bergetar, kegelapan itu seperti menggoda untuk melahapnya. Namun, ia tidak bisa mundur. Inilah saatnya untuk membuktikan bahwa ia mampu mengendalikan segalanya—bahkan yang paling gelap sekalipun. Segel cahaya dalam tubuhnya bersinar terang, namun ia juga bisa merasakan bayangan kelam yang mulai membalutnya. Kegelapan itu mencoba mencabik-cabik cahaya, mencoba mencegahnya agar tidak berkembang.
"Kael!" Elarya berteriak, meminta bantuan, meski ia tahu ini adalah ujian yang harus ia hadapi sendiri.
Kael bergerak cepat, pedangnya berkilat di bawah cahaya. "Jangan ragu, Elarya! Fokuskan kekuatanmu. Kegelapan hanya bisa dimenangkan dengan keberanian dan keyakinan."
Sosok gelap itu mendekat, dan kini Elarya bisa melihat dengan jelas wajahnya. Wajah yang dipenuhi bayangan, mata yang penuh kebencian. Sebuah entitas yang tampaknya terbuat dari kegelapan itu sendiri, bergerak dengan cepat dan ganas. Ia meraih dengan tangan gelapnya, mencoba meraih Elarya, namun Elarya bergerak dengan cepat, menghindari serangannya.
“Bagus,” Kael berujar, memberi semangat, meski jelas ada kekhawatiran yang tampak di matanya. “Kamu mulai menguasai cahaya itu. Tapi kamu harus lebih kuat lagi!”
Elarya tahu apa yang harus ia lakukan. Ia menarik kekuatan dalam dirinya, menyatu dengan cahaya dan kegelapan yang kini saling beradu dalam tubuhnya. Dengan satu seruan, cahaya itu meluncur keluar, menyentuh bayangan itu. Tetapi bukannya mengalah, bayangan itu meresap ke dalam cahaya yang ada, seperti menyatu dalam tarian gelap.
"Jangan biarkan kegelapan itu menguasaimu!" Kael berteriak lagi, melangkah maju, mencoba menghalangi bayangan gelap yang semakin mendekat.
Elarya merasakan kekuatan itu bergejolak lebih dalam, seolah ada sesuatu yang mencoba merobek segel cahaya dalam dirinya. Tapi dengan segenap kekuatan, ia berteriak, "Aku mengendalikan diriku! Aku tidak akan membiarkan kegelapan menang!"
Segera setelah itu, cahaya yang ada dalam tubuhnya meledak, mendorong bayangan itu mundur. Kegelapan itu berusaha menahan diri, namun perlahan mulai terkikis oleh kekuatan cahaya Elarya. Terasa seperti ada kekuatan luar biasa yang membentengi tubuhnya, dan bayangan itu mulai memudar, tersingkirkan oleh sinar terang yang ia pancarkan.
Namun, meski kegelapan itu mundur, Elarya merasakan kelelahan yang luar biasa. Tubuhnya gemetar, dan cahaya yang tadi bersinar terang kini mulai redup, seperti kehilangan tenaga. "Aku… aku berhasil?" tanyanya, napasnya terengah-engah.
Kael mendekat, matanya penuh keprihatinan, namun ada kebanggaan di dalamnya. "Kamu berhasil," katanya, meletakkan tangan di bahu Elarya. "Tapi ini baru permulaan, Elarya. Kegelapan itu bukan hanya datang dari luar. Itu ada di dalam dirimu, dan kamu harus terus belajar mengendalikannya."
Nessa yang sebelumnya diam, kini mendekat dan menatap Elarya dengan penuh makna. "Ini adalah ujian pertama. Kekuatanmu akan terus diuji. Setiap kali kamu berpikir telah mengalahkan kegelapan, akan ada lebih banyak yang datang. Tetapi ingat, selama kamu bisa mengendalikan diri, kamu tidak akan pernah benar-benar kalah."
Elarya mengangguk perlahan, meski hatinya masih dipenuhi rasa takut yang menggelora. "Aku tahu. Aku akan terus berlatih, terus belajar. Aku tidak akan biarkan kegelapan itu menguasai aku."
Kael tersenyum, meski sedikit waspada terhadap bahaya yang masih mengintai. "Itulah semangat yang kami butuhkan. Tapi kamu harus tahu bahwa tidak semua orang akan menyambutmu dengan kekuatan yang sama. Beberapa akan melihat segel cahaya di tubuhmu sebagai ancaman. Mereka akan datang lebih banyak lagi. Ini baru awal dari perjalananmu."
Elarya menatap Kael, mengangguk dengan tekad baru. "Aku siap. Aku akan melindungi mereka yang aku cintai. Dan aku akan mengendalikan cahaya dalam diriku."
Nessa memandangnya, tatapannya penuh kebijaksanaan. "Jangan hanya berpikir tentang melindungi orang lain, Elarya. Jangan hanya mengandalkan cahaya untuk itu. Kamu harus mencari keseimbangan dalam dirimu, antara cahaya dan kegelapan. Itu akan memberimu kekuatan yang sebenarnya."
Dengan kata-kata Nessa yang terus terngiang di telinganya, Elarya melangkah maju. Perjalanan ini memang baru dimulai, dan ia tahu bahwa setiap langkah ke depan akan semakin sulit. Namun, ada satu hal yang pasti: ia tidak akan pernah berhenti berjuang, dan kali ini, ia tahu bagaimana cara mengendalikan kekuatan yang ada dalam dirinya.
Kegelapan itu masih mengintai, namun dengan cahaya yang ada dalam dirinya, Elarya yakin bahwa ia bisa menghadapinya—tidak hanya untuk dirinya, tetapi untuk semua orang yang bergantung padanya.