Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perubahan Singkat
Bab 21
Matahari pagi menerobos jendela kamar, sinarnya memantulkan kilau lembut di atas ranjang yang masih berantakan. Elara mengerjapkan mata, namun langsung memejamkannya kembali, menghela napas panjang seolah mempersiapkan diri untuk memulai hari yang baru—hari pertamanya setelah menjadi istri Zayden.
Namun, rasa nyeri di tubuhnya menginterupsi momen itu. Dengan ragu, ia mencoba bergerak, lalu meringis kecil.
"Astaga... pegal banget," gumamnya, tangannya menyentuh bahu yang terasa kaku, sebelum menyusuri punggung yang juga tak kalah nyeri.
Suara langkah mendekat dari arah kamar mandi. Zayden muncul, sudah rapi dengan kemeja biru lembut dan rambut yang disisir seadanya dengan jari. Dia mendekati ranjang sambil tersenyum kecil.
"Kenapa? Pegal-pegal?” tanyanya lembut, sambil duduk di tepi ranjang dan menyentuh pipi Elara dengan tangan hangat.
Elara membuka matanya perlahan, menatap Zayden yang kini begitu dekat. Ia mendesah, “Bukan cuma pegal. Ini kayak seluruh badan dipukul palu.”
Zayden terkekeh pelan. “Sepertinya aku terlalu semangat tadi malam,” ujarnya, setengah bercanda. Namun, sorot matanya menunjukkan rasa bersalah. “Maaf ya. Aku lupa kamu masih belum terbiasa.”
Elara menutup wajahnya dengan selimut, menyembunyikan pipi yang memerah. “Tolong jangan diingat-ingat,” gumamnya malu-malu.
“Tapi itu hal yang wajar, kan?” Zayden mencoba menenangkan, meskipun senyum jahil tetap menghiasi wajahnya. Ia mengelus rambut Elara dengan lembut. “Kalau kamu butuh sesuatu, bilang saja. Aku bisa ambilkan.”
“Boleh nggak kalau aku minta kamu tinggal di rumah aja hari ini?” Elara memandangnya dengan harapan kecil, meski ia tahu jawabannya.
Zayden menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Aku pengen banget, tapi ada beberapa hal penting di kantor. Jangan khawatir, aku nggak akan lama.”
“Apa benar nggak lama?” desaknya dengan nada setengah menggoda, meski rasa lelah masih terasa di tubuhnya.
Zayden tertawa kecil. “Aku janji, aku akan pulang lebih cepat. Dan kalau ada apa-apa, telepon aku kapan saja. Deal?”
Elara mengangguk pelan, walau hatinya sedikit berat mendengar jawaban itu. “Oke. Tapi jangan sampai lembur, ya.”
“Siap, Bu Bos,” jawab Zayden sambil memberi hormat kecil yang membuat Elara tersenyum tipis.
Sebelum pergi, Zayden membungkuk, mencium kening Elara dengan lembut. “Istirahat yang cukup. Jangan terlalu memaksakan diri, oke?”
Elara menatap punggungnya yang menjauh hingga menghilang di balik pintu kamar. Ketika suara pintu depan tertutup, keheningan menyelimuti ruangan.
“Hhh... sendirian, deh,” gumam Elara, mencoba bangkit dari tempat tidur. Tapi rasa pegal menyerangnya kembali. “Astaga, ini parah banget. Kenapa sih nggak ada warning kalau setelah menikah bakal kayak gini?”
"Eh, kaya ada yang, deh. Dia kok hangat sekali. Ramah. Biasanya jutek. Dingin." Elara baru sadar akan oeruba Zayden.
"Gak mungkin seseorang bisa berubah hanya dalam waktu singkat."
Mata Elara melirik dapur yang terlihat rapi, seolah mengejeknya. “Ah sudah lah, bodo amat perubahan Tuan itu. Masak sesuatu kayaknya ide bagus, deh.” Tapi kemudian ia mengingat sesuatu. “Eh, tapi... di sini kan hotel, nggak ada dapur.”
Ternyata yang Elara lihat bukan dapur, tapi mini bar.
Elara tertawa kecil, merasa dirinya bodoh. “Kenapa aku jadi aneh begini? Zayden jelas-jelas nggak butuh aku masakin.”
Pikirannya melayang ke bayangan ibunya yang selalu membuat sarapan untuk ayahnya. Haruskah ia mencoba melakukan hal yang sama? Tapi sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara bel pintu memecah keheningan.
“Siapa pagi-pagi gini?” gumamnya, jantungnya mulai berdegup lebih cepat.
Bel berbunyi lagi, lebih keras kali ini. Elara menatap pintu dengan penuh kewaspadaan. Pikirannya langsung melayang ke sosok Laura. “Apa mungkin dia datang ke sini?”
Ia menggigit bibir, mencoba menenangkan diri. “Tenang, Elara. Jangan langsung mikir yang aneh-aneh.”
Namun, memori tatapan penuh kebencian dari Laura masih segar di ingatannya. Wanita itu jelas tidak akan menyerah dengan mudah.
Setelah beberapa detik ragu, Elara memutuskan untuk melangkah ke pintu, meski tubuhnya masih terasa lemas. Dengan suara yang sedikit gemetar, ia bertanya, “Siapa di sana?”
Tidak ada jawaban.
“Mungkin housekeeping,” pikir Elara mencoba bersikap rasional. Tapi rasa takut tetap membayanginya.
Dia memutar kunci perlahan, membuka pintu hanya sedikit. Namun yang ia lihat di luar justru membuatnya bingung.
“Bu Elara?” Seorang pria berdiri di sana, mengenakan seragam hotel. Ia membawa nampan berisi secangkir teh dan sepiring roti panggang.
“Ehm... iya, ada apa ya?” tanyanya sambil melongok keluar.
“Pesanan dari suami Anda, Bu. Katanya Anda belum sarapan,” pria itu menjelaskan dengan sopan.
Elara merasa pipinya memanas. “Oh, iya... terima kasih,” ujarnya cepat, menerima nampan tersebut sebelum menutup pintu lagi.
Ia menatap teh dan roti itu dengan perasaan campur aduk. “Kenapa dia nggak bilang?” gumamnya, senyum kecil tersungging di bibirnya.
Meski perasaan lega menghampiri, bayangan Laura tetap menghantuinya. “Aku nggak boleh terlalu santai. Kalau dia benar-benar datang, apa yang harus kulakukan?” tanyanya pada diri sendiri.
Dengan hati-hati, Elara duduk di sofa, mencoba menikmati sarapan kecilnya sambil merenung. Pagi pertamanya sebagai istri ternyata lebih rumit daripada yang ia bayangkan.
Bersambung...