"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Mimpi
Langit malam itu sunyi, tapi dalam kepala Ryan, segalanya kacau. Tubuhnya lelah, tapi matanya enggan terpejam. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan-bayangan dari masa lalu terus menghantuinya. Hingga akhirnya, tanpa sadar, ia pun tertidur. Mimpi buruk segera datang menghantamnya.
Di dalam mimpi, Ryan berdiri di tengah kerumunan anak-anak SMP. Mereka memakai seragam yang sama, tapi wajah mereka tak jelas. Hanya bayangan gelap yang tak dapat ia kenali. Suasana kacau, penuh teriakan, suara benda jatuh. Ryan memutar kepala, tapi tak ada yang bisa dia pahami.
'Di mana aku? Kenapa aku di sini?' pikirnya bingung.
Jauh di depan, seorang anak lain muncul, tubuhnya terlihat jelas meski wajahnya tetap samar. Anak itu berbeda dari yang lain. Ryan merasa anak itu penting, tapi ia tak bisa mengingat kenapa.
Kemudian, suara truk besar terdengar menderu, menghantam keras ke telinga. Truk itu melaju cepat, terlalu cepat. Ryan berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang.
'Jangan... Kumohon, jangan lagi!' pikirnya, panik. Tapi tubuhnya membeku, tak bisa bergerak.
Anak di depan itu berlari tanpa melihat ke arah truk. Tak sadar bahaya yang mengancam. Ryan ingin berteriak, memperingatkan, tapi tak ada suara yang keluar dari mulutnya.
'Aku harus menolongnya! Aku harus-' batinnya menjerit, tapi kakinya seakan tertanam di tanah. Tak bisa bergerak.
Truk itu terus melaju, semakin dekat. Ryan hanya bisa menonton dalam ketakutan. Dan ketika truk menghantam anak itu, tubuhnya terlempar tinggi ke udara, darah mengucur deras, tubuhnya terbelah dua. Suara benturan dan tulang patah menggema di telinga Ryan.
Ryan jatuh berlutut, tangan mencengkeram tanah, tubuhnya gemetar. 'Ini nggak mungkin... Ini salahku!' teriaknya dalam hati.
Tiba-tiba, anak itu menoleh ke arahnya. Meski tubuhnya hancur, matanya masih menatap Ryan, penuh kebencian. Bibirnya bergerak, mengucapkan sesuatu dengan suara dingin.
"Ini salahmu," ucapnya, nyaring, menusuk hati Ryan.
Kata-kata itu menghantam telinga Ryan, menghancurkan ketenangan yang tersisa. Jantungnya berdebar makin keras.
'Salahku? Aku nggak...' pikirnya dalam ketakutan, berusaha menyangkal. Tapi suara itu menguat.
"Ini salahmu!" Anak itu mengulanginya lagi, kali ini lebih keras, lebih menyakitkan.
Ryan mencoba berteriak, tapi suara anak itu terus menggema di pikirannya, seolah menghancurkan pertahanan terakhir yang ia miliki.
Tanah di bawah kakinya tiba-tiba runtuh, dan Ryan terjatuh ke dalam air yang hitam pekat. Anak-anak lain di sekitarnya lenyap, terseret oleh gelombang air gelap itu.
Ryan mencoba berenang, tapi tubuhnya terasa berat. Seperti ada sesuatu yang menariknya ke dasar. Di kejauhan, wajah anak yang tertabrak tadi muncul lagi, kali ini lebih mengerikan. Kulitnya robek, tulang tengkorak terlihat jelas. Matanya yang penuh kebencian terus menatap Ryan.
"Ini salahmu!" Suaranya menggema, menusuk telinga Ryan.
Ryan menutup telinganya, tapi suara itu tak mau hilang. 'Aku nggak bisa... Aku nggak bisa bernapas,' pikirnya, panik. Gelembung udara terakhir keluar dari mulutnya, napasnya makin berat.
Suara itu makin keras, menghantam kepalanya tanpa henti. "Ini salahmu! Ini salahmu!" Suara itu seperti palu yang menghancurkan segalanya.
Ryan berhenti berjuang. Tangannya yang tadi berusaha menggapai permukaan kini terkulai lemas. Tubuhnya tenggelam semakin dalam. Hanya satu kalimat yang berputar-putar di benaknya.
'Ini salahku.'
'Ya..." bisiknya dalam hati, matanya mulai tertutup. 'Ini salahku. Aku harus menanggung ini."
Semakin dalam ia tenggelam, semakin ia menerima takdir itu. Tidak ada jalan keluar. Tidak ada pelarian. Air gelap itu menelannya, menghimpit setiap napas yang ia punya.
Lalu, segalanya hening. Gelap.
Ryan terbangun dengan napas tersengal. Tubuhnya basah oleh keringat dingin. Matanya terbuka lebar, menatap langit-langit kamar yang gelap.
"Mimpi," gumamnya pelan. "Itu cuma mimpi."
Ia duduk, mengusap wajahnya yang masih penuh keringat. Napasnya berat, dada terasa sesak. Ia melihat ke arah ponselnya yang tergeletak di samping, layarnya retak, jam menunjukkan pukul 2:33 pagi.
'Mimpi sialan itu lagi,' pikirnya. 'Setelah bertahun-tahun... kenapa sekarang muncul lagi?'
Ryan berusaha menenangkan dirinya, tapi bayangan mimpi itu masih jelas di benaknya. Suara anak itu, tubuh yang hancur, darah yang memercik, semuanya terasa begitu nyata.
Dengan tangan gemetar, Ryan berbaring lagi. Tapi pikirannya terus berputar. Mimpi buruk itu selalu datang di saat-saat tertentu, saat ia merasa lemah, saat masa lalunya kembali menghantuinya.
Dalam hati, Ryan berbicara seolah pada sosok dari mimpi tadi. 'Aku akan menebus dosaku. Aku nggak akan lari lagi. Jadi tolong... istirahatlah.'
Dengan berat hati, Ryan memejamkan mata, meski tahu tidurnya tidak akan nyenyak malam itu.
Setelah semuanya hening, Ryan terperosok lagi dalam mimpi yang lain.
Sekarang, di hadapannya tampak empat anak SD. Mereka adalah Rafi, Lala, Arfan, dan dirinya sendiri, versi kecil. Masih dengan seragam putih merah, mereka tertawa, bercanda sambil berjalan di trotoar.
"Eh, nanti di taman kita main apa?" tanya Rafi, suaranya terdengar jelas meski wajahnya gelap, samar-samar.
"Aku mau naik ayunan!" Lala berseru riang, mengayunkan tas sekolahnya.
Arfan hanya tersenyum lebar. "Aku sih mau main petak umpet."
Ryan, yang melihat dari jauh, merasa asing dengan pemandangan ini. 'Ini... kenapa aku lihat masa kecilku?' pikirnya, merasa terasing di dalam mimpinya sendiri.
Wajah mereka buram, tak bisa dilihat jelas, tapi suara mereka... tawa riang itu begitu hidup. Terasa nyata.
"Ryan, cepetan!" Arfan melambaikan tangan, memanggilnya, tapi Ryan tetap terpaku di tempat.
Tubuhnya seakan terpisah dari pikiran. Ia ingin bergerak, tapi tak bisa. Ingin berbicara, tapi suaranya hilang. Ia hanya berdiri, melihat diri kecilnya dan teman-temannya terus melangkah, menuju taman bermain.
Mereka tiba di taman, tanpa Ryan. Anak-anak itu segera berlari menuju permainan yang sudah akrab. Lala langsung ke ayunan, Rafi dan Arfan sibuk di jungkat-jungkit. Wajah mereka tetap gelap, tak bisa dilihat dengan jelas, tapi kebahagiaan itu nyata.
"Ayo, Ryan! Gabung!" Rafi memanggil, tapi Ryan hanya diam, merasa terasing dari momen yang seharusnya miliknya.
Senyuman Lala, tawa Arfan, semua itu dulu miliknya. "Kenapa aku cuma bisa lihat dari sini?" bisiknya pelan, mencoba mencari jawaban dari perasaan yang tiba-tiba datang.
Namun, tak lama, semuanya mulai memudar. Tawa itu hilang, terserap ke dalam keheningan yang menyesakkan dada. Taman itu, yang dulu penuh kenangan, lenyap dalam sekejap.
...----------------...
Ryan terbangun. Jam di samping tempat tidurnya menunjukkan 5:30 pagi. Matanya lelah, tapi otaknya masih berputar, memikirkan mimpi itu.
"Mimpi yang aneh," gumamnya. "Kenapa sekarang?"
Ia duduk di tepi tempat tidur, menarik napas panjang, mencoba mengusir sisa-sisa mimpi buruk tadi malam. "Masa kecil... dulu nggak selalu seburuk itu," ucapnya, berbicara pada dirinya sendiri.
Namun, Ryan cepat menggeleng, menepis pikirannya. "Nggak, sekarang aku harus fokus. Nggak bisa terus mikir ke belakang," tekadnya, menggerakkan tubuhnya yang kaku dari tempat tidur.
Ia berjalan ke kamar mandi, mandi dengan air dingin, berharap itu bisa menyegarkan pikirannya. Setelah selesai, ia turun ke dapur. Rumah sepi. Sarah dan ayahnya sudah pergi sejak tadi. Suasana itu, seperti biasa, hanya berisi dirinya dan kesunyian.
Ibunya duduk di meja makan, sibuk dengan ponselnya. Tanpa banyak bicara, ia melemparkan sepotong roti ke arah Ryan.
"Ini sarapanmu. Ibu harus pergi," ucapnya singkat, masih fokus ke layar ponsel.
"Terima kasih, Bu," sahut Ryan, pelan.
Ibunya segera meraih tasnya, keluar dari rumah tanpa menoleh, tak ada lagi kata yang keluar. Hanya langkah kakinya yang menjauh.
Ryan tetap duduk di meja makan, menatap roti di tangannya. Dingin. 'Selalu kayak gini,' pikirnya sambil menggigit roti itu perlahan.
Ia selesai makan dalam diam. Tanpa emosi, ia membereskan meja, mengambil tasnya, dan bersiap untuk berangkat. "Hari baru, entah akan lebih baik atau tidak," gumamnya pada diri sendiri, melangkah keluar dari rumah yang kosong.
Saat pintu ditutup, udara pagi yang sejuk menyambutnya. Ryan menarik napas dalam-dalam, mencoba menyingkirkan semua beban.
"Mungkin, hari ini akan lebih baik," katanya pelan, lalu melangkah menuju sekolah.
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂