Ashana Keyra Zerrin dan Kafka Acacio Narendra adalah teman masa kecil, namun Ashana tiba-tiba tidak menepati janjinya untuk datang ke ulang tahun Kafka. Sejak saat itu Kafka memutuskan untuk melupakan Asha.
Kemana sebenarnya Asha? Bagaimana jika mereka bertemu kembali?
Asha, bukankah sudah kukatakan jangan kesini lagi. Kamu selalu bertindak sesuka hati tanpa memikirkan orang lain. Aku butuh privasi, tidak selamanya apa yang kamu mau harus dituruti.” Ucapakan Kafka membuat Asha bingung, pasalnya tujuannya kali ini ke Stanford benar-benar bukan sengaja menemui Kafka.
“Tapi kak, Asha ke sini bukan sengaja mau menemui kak Kafka. Asha ada urusan penting mau ke …” belum selesai Asha bicara namun Kafka sudah lebih dulu memotong.
“Asha, aku butuh waktu untuk menerima semua ini. Walaupun untuk saat ini sebenarnya tidak ada kamu dalam rencanaku, semua terjadi begitu cepat tanpa aku bisa berkata tidak.” Asha semakin tidak mengerti dengan yang diucapkan Kafka.
“Maksud kak Kafka apa? Sha tidak
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11. Makan siang bersama
... Jika ada hari yang kunantikan, itu adalah hari pertemuan denganmu....
...Hari di mana ingin kulihat kembali tatapan hangatmu padaku....
...Aku telah jatuh sejatuh jatuhnya mengagumimu....
...Tanpa tapi aku berjuang meluluhkanmu kembali....
...(Ashana Keyra Zerrin)...
Sudah satu minggu dari pertama Asha dan Kafka bertemu, Asha selalu menunggu Kakfa di pos satpam sebelum dia masuk kelas. Sebelumnya dia pastikan jam berapa Kafka sampai sekolah, agar Asha bisa datang lebih awal dan menunggunya di pos satpam. Kafka hanya mengendarai motor sportnya setiap hari senin, untuk hari-hari lain dia diantar supir setelah mengantar kan Naren lebih dulu ke sekolahnya.
Beberapa hari ini Asha selalu menunggu sampai Kafka datang maupun pulang, dia akan berjalan dibelakangnya atau kadang mensejajarkan jalannya dengan Kafka. Selalu mengekori Kafka dan hanya akan berhenti ketika dia sudah sampai di kelas atau gerbang sekolah. Sikap Kafka masih tetap dingin, cuek dan masih belum mau bicara dengan Asha. Menyerah? Tentu saja tidak, Asha tidak mungkin menyerah kalau itu tentang Kafka Acacio Narendra yang menjadi cinta masa kecilnya sampai saat ini.
"Kak, serius nih? Masih gak mau ngomong sama aku?" Kafka tetap berjalan seolah tak perduli dengan Asha yang masih mengekorinya dari belakang. Saat ini mereka berjalan menuju gerbang sekolah untuk menunggu jemputan masing-masing karena jam sekolah sudah usai.
Kafka berjalan masuk ke mobil pak Ali yang tak lain adalah supir keluarganya, mereka sudah siap untuk berlalu pergi saat Tiara menelpon pak Ali. "Baik bu Tiara," Kafka tahu mamanya yang menelpon lantas bertanya pada supirnya.
"Kenapa pak?" Kafka bingung melihat pak Ali membuka kaca mobil lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling pos satpam.
"Mas, yang namanya mbak Asha yang mana?" Kafka sontak semakin bingung kenapa pak Ali menanyakan Asha.
Pak Ali menceritakan pada Kafka bahwa Tiara memintanya mengantarkan Asha pulang. Supir keluarganya belum bisa menjemput karena mendapat tugas dari ayah Asha untuk menjemput rekan bisnisnya dari bandara. Sementara bundanya sedang menjemput Cia dan Rion yang tak lain adalah adik Asha.
Maira saat ini sedang bersama dengan Tiara yang juga menjemput Naren, saat ingat kalau Kafka satu sekolah dengan Asha dia langsung minta tolong pada sahabatnya. Tiara dengan senang hati mengiyakan permintaan Maira dan langsung menghubungi pak Ali sebelum dia dan putranya meninggalkan sekolah.
"Mbak Asha tidak membawa ponsel mas, mau menghubunginya juga tidak bisa." Kafka turun dari mobilnya menuju Asha yang masih berdiri di pos satpam, Asha yang sedang melamun sambil menikmati musik dengan airpodsnya tidak menyadari kedatangan Kafka.
"Asha ... Sha .. Ashaa." Kafka langsung menarik tangan Asha karena dia tidak mendengarkan Kafka memanggilnya. Kafka membawanya agar berjalan mengikutinya, Asha tersentak kaget dengan tindakan Kafka yang tiba-tiba itu.
"Kak, kak Kafka mau bawa aku kemana?" Asha sedikit terhuyung karena tidak bisa mengimbangi langkah Kafka yang cepat.
"Makanya jangan melamun, biar denger kalau di panggil. Masuk, duduk di sebelah sana. Jangan dekat-dekat," Asha masih bingung kenapa Kafka menariknya masuk ke mobil.
"Oh, mau ngajakin aku pulang bareng ya? Dulu kita juga suka pulang sekolah bareng, kakak masih ingat kan?" Asha sudah duduk di belakang supir sambil mengoceh mengenang masa kecilnya dulu bersama Kafka. Sementara Kafka merasa kesal karena harus satu mobil dengan Asha.
"Mama yang minta nganter kamu pulang, supirmu tidak bisa jemput," singkat, padat dan jelas itulah yang diucapkan Kafka.
"Gak apa-apa, yang penting bisa pulang bareng kak Kafka," Asha dengan antusias ingin bertanya banyak hal pada Kafka namum gadis itu mengurungkan niatnya setelah mendengar ucapan Kafka.
"Kamu gak cuma ngrepotin tapi berisik banget Sha, bisa diem gak sih?" Kafka menyandarkan kepalanya pada kursi mobil, dia mulai tidur agar tak perlu menanggapi pembicaraan yang dilontarkan Asha padanya.
"Oh iya, maaf kak" Asha memilih untuk diam dan mendengarkan musik melalui airpodsnya, matanya berkaca-kaca setelah mendengar ucapan Kafka tadi. Dia menurunkan kaca mobil untuk melihat pemandangan jalanan kota Jakarta.
Sepanjang perjalanan Asha hanya melamun sambil mendengarkan musik, menjadikan ke dua tangannya yang bertumpu pada pintu mobil sebagai alas untuk menyandarkan kepala. Sama sekali tidak ingin menoleh ke Kafka lagi, tidak ingin melihat ekspresi Kafka yang ketus dan takut kalau dia nanti menangis saat melihatnya.
Tiba-tiba suasana hening, pak Ali fokus menyetir. Kafka yang menyadari itu kemudian membuka matanya mencoba untuk melihat situasi karena Asha tiba-tiba tidak berisik lagi. Asha tidak sadar kalau Kafka dari kaca spion dapat melihatnya meneteskan air mata. Kafka sedikit merasa bersalah tapi dia gengsi dan masih kecewa dengan Asha.
"Pak kita mau kemana? Ini bukan arah pulang ke rumah, atau mau langsung mengantar Asha?" Asha masih tetap melihat jalanan dan tidak terlalu dengar juga perbincangan Kafka dengan pak Ali.
"Bu Tiara minta mas Kafka sama mbak Asha makan siang dulu, mereka sudah menunggu di restoran." Kafka menepuk lengan Asha.
Asha menoleh, "Iya, ada apa kak?" dia menatap Kafka, memastikan apa yang ingin dikatakan Kafka padanya.
"Mama dan bundamu menunggu kita di restoran." Yang hanya dijawab anggukan tanda mengerti oleh Asha, kemudian dia menaikkan kaca mobil.
Asha menyandarkan kepalanya pada kursi mobil dan kembali memakai airpodsnya, kepalanya terasa sedikit pening jadi dia memutuskan untuk tidur sejenak. Kafka melihat wajah Asha yang berubah menjadi sedikit pucat, dia membiarkan Asha tertidur sampai mobil mereka masuk ke area parkir pengunjung restoran. Asha sudah bangun terlebih dulu sebelum Kafka membangunkannya.
Mereka masuk ke tempat yang sudah di pesan mama mereka sementara pak Ali juga sudah dipesankan meja di sebelah ruangan mereka. Tiara sengaja memilih ruang khusus untuk keluarga karena membawa Cia, Rion dan Naren agar mereka bisa leluasa bergerak. Asha masuk lebih dulu dari pada Kafka, dia salim dan mencium tangan Tiara lebih dulu sebelum akhirnya dia duduk dan bersandar pada lengan bundanya. Kafka melakukan hal yang sama dengan Asha setelah duduk di dekat Rion dan Cia.
"Mama sudah pesankan makanan untuk kalian," Tiara nampak tersenyum melihat Kafka yang sedari tadi masuk melihat kearah Asha. Tiara tahu putra sulungnya itu hanya gengsi saja, tapi sebenarnya rindu dengan teman masa kecilnya itu.
"Bun, pulang yuk?" Lirih berbisik pada bundanya. Maira sedikit terkejut mendengar apa yang dikatakan putrinya, padahal kemarin-kemarin dia yang ingin bisa makan bersama Kafka. Tapi dengan tiba-tiba saja malah minta pulang.
"Hmm .. kakak kan baru sampai. Sayang, makan dulu ya?" Asha menggelengkan kepalanya.
"Asha gak lapar bun." Asha yang tadi bersandar pada lengan Maira menggeser kepalanya berpindah pada pangkuan bundanya. Rion tiba-tiba berdiri mendekat saat melihat Asha yang merebahkan kepalanya dalam pangkuan bunda Maira.
"Bunda .. bunda .. itu (Rion menunjuk kening Asha dengan jari telunjuknya) kakak panas kayak pantat panci," Rion menempelkan punggung tangannya pada kening Asha, karena Rion dari kecil di Singapur jadi bahasa Indonesianya belum terlalu sempurna jadilah dia kadang menggunakan jarinya untuk menunjuk sesuatu.
"Ish .. ade mana ada ya kakak kayak pantat panci," Asha bangun dari pangkuan bundanya saat mendengar celoteh Rion.
Kafka yang sedang mengunyah makanan tersedak sambil menahan tawa mendengar ucapan Rion, sedangkan Maira dan Tiara tak dapat menahan tawa mereka saat mendengar ucapan anak berusia tujuh tahun itu. Suasana dalam ruanganpun jadi lebih hidup, entah dari mana Rion mendapatkan kata-kata itu. Padahal untuk menyebutkan kening atau dahi saja dia bingung.
"Kakak are you okay?" Maira menyentuh kening Asha dengan punggung tangannya, ternyata sedikit demam. Wajahnya memang terlihat sedikit pucat dari saat datang tadi, Cia terlihat ikut khawatir melihat kakaknya.
"I'm okay bun, mungkin Sha masih belum terbiasa dengan cuaca di sini," Kafka memandang sejenak Asha setelah mendengar Maira bertanya pada putrinya itu, tanpa dia sadari Asha tahu saat ini Kafka menatapnya. Kafka langsung mengalihkan pandangannya dari Asha dan kembali menyantap makanannya saat ketahuan Asha.
"Ih panas, beneran panas kayak pantat panci tau. Lihat tangan ade aja kepanasan megang kening kakak," Rion menunjukkan telapak tangannya pada semua yang ada dalam ruangan itu, dia akhirnya tahu yang di tunjuknya itu adalah kening setelah Cia membenarkan maksud Rion.
Rion benar-benar dapat mencairkan suasana, celotehannya tidak pernah gagal membuat suasana lebih ceria. Bagi Asha adik bungsunya itu tidak hanya dapat mencairkan suasana tapi juga sebagai pelipur lara dan penyemangat menemani hari-harinya berjuang sembuh dari cidera kakinya.
Tiba-tiba Rion menarik Asha, memintanya berdiri dan mengikutinya. Asha sebenarnya sudah tak punya energi untuk mengikuti adiknya yang sangat aktif itu, entah menurun dari siapa tingkah kerandoman Rion.
"Ayo kakak, kak Sha duduk di sini. Gak boleh pindah ya?" Rion menarik Asha duduk di sebelah Kafka, memindahkan mangkuk berisi sup milik Asha ke tempat duduknya sekarang.
"Hmm .. Iya," Asha sedikit melirik pada Kafka, memastikan kalau saja Kafka tidak nyaman dia akan langsung pindah ke tempat duduk yang lain.
Kafka yang tahu sedang diperhatikan oleh gadis di sampingnya, tetap diam dan fokus menyantap makanannya. Asha yang semula tidak ingin makan akhirnya ikut menyantap supnya, dia butuh energi untuk menopang berat tubuhnya sendiri agar tidak membuat bundanya khawatir.
Terlebih lagi saat ini ada Kafka di sampingnya, walaupun mereka belum saling bicara dengan santai tapi bagi Asha ini sebuah peningkatan. Tentu saja makan siang bersama Kafka adalah salah satu yang paling diinginkannya. Soal Kafka yang masih bersikap dingin, ketus dan tidak suka di dekati Asha, nanti saja dia pikirkan akan bagaimana mengahadapinya.