Dina, seorang pelajar dari kota kecil dengan mimpi besar, memiliki hasrat yang kuat untuk menjelajahi dunia dan mengembangkan diri. Ketika sekolahnya mengadakan lomba sains tingkat provinsi, Dina melihat ini sebagai kesempatan emas untuk meraih impian terbesarnya: mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studi ke luar negeri. Meskipun berasal dari keluarga sederhana dan di hadapkan pada saingan-saingan dari sekolah sekolah-sekolah elit, Dina tak gentar. Dengan proyek ilmiah tentang energi terbarukan yang dia kembangkan dengan penuh dedikasi, Dina berjuang keras melampaui batas kemampuannya
Namun, perjalanan menuju kemenangan tidaklah mudah. Dina Harus menghadapi keraguan, kegugupan, dan ketidakpastian tentang masa depannya. Dengan dukungan penuh dari keluarganya yang sederhana namun penuh kasih sayang, Dina berusaha membuktikan bahwa kerja keras dan tekad mampu membuka pintu ke peluang yang tak terbayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon avocado lush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Titik Awal yang Baru
Langit pagi di kota tempat Dina kini tinggal berbeda dengan Jatiroto. Bangunan menjulang tinggi menggantikan hamparan sawah, dan suara bising kendaraan menggantikan suara alam yang biasa ia dengar. Dina memulai harinya dengan jadwal yang padat, mempersiapkan diri untuk proyek barunya—sebuah program pembangunan energi terbarukan yang mencakup lima desa terpencil di wilayah lain.
Di ruang rapat gedung pemerintah daerah, Dina mempresentasikan rencana tahap awal kepada tim barunya. Tim ini terdiri dari insinyur, ekonom, dan perwakilan dari lembaga donor yang sudah bekerja di proyek-proyek serupa sebelumnya.
“Pendekatan kita tidak hanya fokus pada teknologi, tetapi juga melibatkan warga setempat sebagai bagian penting dari proses,” ujar Dina dengan nada tegas. “Saya yakin, jika kita melibatkan mereka sejak awal, hasilnya akan jauh lebih berdampak.”
Salah satu anggota tim, seorang pria muda bernama Dimas, mengangkat tangan. “Tapi, Bu Dina, apa ini realistis mengingat batas waktu dan anggaran yang ketat?”
Dina tersenyum tipis. “Realistis atau tidak, ini sudah terbukti di Jatiroto. Saya yakin kita bisa melakukannya lagi, asalkan kita semua punya visi yang sama.”
Malam harinya, Dina kembali ke apartemennya yang kecil dan sederhana. Ia memandangi sebuah foto di mejanya—foto dirinya bersama warga Jatiroto di hari peresmian kincir angin pertama. Matanya berkaca-kaca, mengenang momen-momen penuh perjuangan itu.
Ponselnya berbunyi, menampilkan nama Mira di layar. Dina segera mengangkatnya.
“Hai, Ra. Gimana kabar di sana?”
“Semua baik, Din. Kincir-kincir angin kita masih berdiri kokoh. Warga juga mulai terbiasa mengelola sendiri. Tapi, aku rasa ada yang kurang di sini tanpa kamu.”
Dina tersenyum mendengar suara Mira. “Aku juga kangen Jatiroto, Ra. Kadang aku ragu, apa keputusan ini benar.”
“Din, kamu tahu kamu melakukan hal yang benar. Desa-desa lain butuh kamu seperti kami dulu. Lagipula, kamu nggak sendirian, kan? Aku yakin tim kamu akan mendukungmu.”
Mira melanjutkan, “Dan kalau kamu butuh apa pun, ingat, kami di sini selalu mendukung.”
Dina merasa hatinya lebih ringan setelah panggilan itu. Ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tapi dukungan dari Jatiroto selalu menjadi kekuatannya.
Hari-hari berikutnya, Dina mulai mengunjungi desa-desa yang menjadi target proyek barunya. Setiap desa memiliki tantangan berbeda—ada yang berada di dataran tinggi dengan akses sulit, ada yang terletak di tepi sungai besar yang sering banjir.
Di salah satu desa, Dina bertemu dengan seorang anak muda bernama Raka yang menunjukkan antusiasme besar terhadap proyek ini.
“Kami sudah lama berharap ada sesuatu seperti ini, Bu Dina,” kata Raka. “Tapi selama ini, kami hanya bisa pasrah karena nggak ada yang peduli.”
Dina tergerak oleh semangat Raka. Ia teringat pada anak-anak muda di Jatiroto yang kini menjadi penggerak utama keberlanjutan proyek di sana.
“Kamu tahu, Raka, perubahan dimulai dari orang-orang seperti kamu,” jawab Dina. “Kalau kamu mau, aku ingin kamu jadi bagian dari tim lokal untuk membantu proyek ini.”
Raka tertegun sejenak, lalu mengangguk penuh semangat. “Saya siap, Bu Dina.”
Proyek ini perlahan mulai berjalan. Dina mengadopsi banyak hal yang sudah ia pelajari di Jatiroto—membangun kepercayaan, melibatkan warga, dan memastikan setiap langkah diambil bersama.
Namun, tak semuanya berjalan mulus. Salah satu desa menolak proyek tersebut, merasa skeptis bahwa pembangunan ini hanya akan membawa kerugian.
“Kami sudah pernah dijanjikan banyak hal, tapi akhirnya kami ditinggalkan,” ujar kepala desa dengan nada dingin.
Dina mengambil napas panjang sebelum menjawab. “Saya tidak akan memaksa. Tapi jika Anda memberi saya kesempatan, saya akan buktikan bahwa proyek ini bukan sekadar janji.”
Kepala desa itu memandang Dina dengan ragu, tapi akhirnya berkata, “Baik. Kami beri Anda satu bulan untuk menunjukkan hasilnya.”
Malam itu, Dina kembali ke apartemennya dengan pikiran berat. Tantangan ini mengingatkannya pada awal perjuangannya di Jatiroto. Namun, ia tahu bahwa tidak ada perubahan yang terjadi tanpa kesabaran dan kerja keras.
Ponselnya kembali berbunyi, kali ini dari Armand.
“Dina, bagaimana kabar proyek baru kamu?” tanyanya.
“Berjalan, tapi tidak semudah yang kukira,” jawab Dina jujur.
Armand tertawa kecil. “Aku rasa kamu sudah tahu itu sejak awal. Tapi aku yakin kamu bisa melewatinya. Kalau butuh bantuan, aku siap datang.”
Dina tersenyum mendengar tawaran itu. “Terima kasih, Armand. Aku akan menghubungimu kalau benar-benar butuh.”
Dalam waktu beberapa minggu, Dina berhasil membangun kepercayaan di desa-desa yang semula skeptis. Dengan melibatkan warga, proyek ini perlahan mendapatkan pijakan yang kuat.
Di akhir bulan, kepala desa yang dulu menolak proyek itu berdiri di samping Dina, memandangi fondasi kincir angin pertama yang mulai dikerjakan.
“Kamu benar, Dina,” ujar kepala desa itu. “Kami salah menilai niatmu. Terima kasih sudah tidak menyerah pada kami.”
Dina tersenyum. “Tidak ada yang namanya terlambat untuk percaya, Pak.”
Angin mulai berembus, membawa harapan baru di desa itu. Bagi Dina, ini bukan hanya tentang membangun kincir angin, tetapi juga membangun mimpi dan keyakinan yang mampu menggerakkan banyak hati.
Dan ia tahu, ini baru awal dari perjalanan panjangnya. ***
Semangat yang perlahan tumbuh di desa-desa target mulai terasa nyata. Fondasi kincir pertama hampir selesai, dan warga terlihat lebih antusias setelah melihat bahwa proyek ini tidak sekadar janji kosong. Dina terus memantau progres dengan hati-hati, memastikan semuanya sesuai rencana.
Suatu sore, setelah rapat evaluasi bersama tim, Dina memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar desa. Udara dingin sore itu terasa segar, dan suara-suara warga yang sibuk bekerja di ladang atau bercengkerama di warung kopi memenuhi suasana.
Ketika ia melewati sebuah gubuk kecil di tepi sawah, ia mendengar suara alat musik tradisional yang dimainkan dengan nada penuh perasaan. Dina mendekati suara itu dan menemukan seorang lelaki tua dengan pakaian lusuh duduk di bangku kayu. Di pangkuannya, sebuah kecapi sederhana terlihat menyala dalam sinar matahari senja.
“Kamu siapa, Nak?” tanya lelaki itu tanpa menghentikan permainannya.
“Saya Dina, Pak. Saya yang memimpin proyek kincir angin di sini,” jawabnya sopan.
Lelaki itu tersenyum kecil. “Ah, jadi kamu yang semua orang bicarakan. Katanya kamu membawa angin baru untuk desa ini.”
“Semoga begitu,” jawab Dina. “Pak, boleh saya tahu nama Bapak?”
“Panggil saja saya Pak Samad.”
Dina duduk di sebelahnya, mendengarkan musik yang ia mainkan. Nada-nada kecapi itu terasa seperti cerita yang diungkapkan tanpa kata. Setelah beberapa saat, Dina berkata, “Indah sekali, Pak. Sepertinya Bapak sudah lama bermain musik ini.”
“Sejak muda, Nak,” jawab Pak Samad. “Tapi sekarang, jarang ada yang mau mendengarkan. Orang-orang sibuk dengan kehidupan masing-masing.”
Dina terdiam sejenak sebelum menjawab. “Saya mendengar, Pak. Dan saya rasa, musik Bapak bisa membawa sesuatu yang istimewa untuk desa ini.”
Pak Samad menatapnya. “Istimewa bagaimana, Nak?”
“Kincir angin ini bukan hanya tentang teknologi. Ini juga tentang semangat, kebersamaan, dan identitas kita. Saya ingin Bapak bermain kecapi di hari peresmian nanti. Biar semua orang tahu bahwa kita tidak hanya membangun kincir, tapi juga merayakan jiwa desa ini.”
Mata Pak Samad berkaca-kaca. “Kamu benar-benar berbeda, Dina. Jarang ada orang muda yang mau mendengar orang tua seperti saya. Kalau itu keinginanmu, saya akan lakukan.”
Keesokan harinya, Dina mengumpulkan timnya dan membicarakan rencana untuk menggelar acara peresmian kecil di desa itu.
“Ini bukan sekadar peresmian,” ujar Dina. “Saya ingin kita menunjukkan pada warga bahwa proyek ini adalah bagian dari mereka. Kita libatkan seni, tradisi, dan semua elemen desa.”
Dimas mengangkat tangan. “Saya setuju, Bu. Tapi bagaimana kalau kita juga membuat pameran kecil tentang manfaat energi terbarukan? Jadi, warga bisa belajar lebih banyak.”
“Itu ide bagus,” jawab Dina. “Ayo kita mulai susun konsepnya.”
Hari peresmian pun tiba. Warga dari desa-desa sekitar berkumpul di lapangan utama. Sebuah panggung kecil didirikan, dihiasi dengan kain tradisional dan hasil panen warga.
Pak Samad duduk di tengah panggung dengan kecapinya, siap memainkan lagu pembuka. Dina, yang berdiri di tepi panggung, merasa hatinya penuh dengan kebanggaan dan rasa syukur.
Ketika Pak Samad mulai memainkan kecapinya, suasana menjadi hening. Nada-nada itu seolah membawa pesan kebersamaan yang dalam, mengingatkan semua orang akan nilai-nilai yang harus mereka jaga bersama.
Setelah lagu selesai, Dina melangkah ke tengah panggung dan mengambil mikrofon.
“Selamat datang, semuanya,” katanya dengan suara tenang. “Hari ini bukan hanya tentang meresmikan sebuah proyek. Ini adalah perayaan mimpi-mimpi kita, kerja keras kita, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik.”
Warga bersorak, wajah mereka penuh antusiasme.
“Kincir angin ini bukan milik saya, bukan milik tim teknis, tapi milik kita semua,” lanjut Dina. “Mari kita jaga dan manfaatkan ini sebaik mungkin, untuk generasi kita dan yang akan datang.”
Suara tepuk tangan memenuhi lapangan.
Di penghujung acara, baling-baling kincir pertama mulai berputar, ditiup angin sore yang lembut. Anak-anak bersorak gembira, sementara orang dewasa saling menatap dengan bangga.
Dina berdiri di tepi lapangan, menyaksikan semuanya dengan mata berkaca-kaca. Raka mendekatinya.
“Bu Dina, terima kasih sudah membawa semua ini ke desa kami,” katanya.
Dina tersenyum. “Ini bukan karena saya, Raka. Ini karena kita semua. Kamu juga punya peran besar di sini.”
Pak Samad menghampiri Dina dengan kecapinya di tangan. “Nak, terima kasih sudah memberi saya kesempatan. Lagu tadi saya buat khusus untuk kamu. Saya beri nama ‘Angin Harapan.’”
Dina tertegun, lalu mengangguk dengan mata yang berkaca-kaca. “Terima kasih, Pak Samad. Saya akan selalu ingat lagu itu.”
Malam itu, ketika Dina kembali ke tempatnya menginap, ia merasa bahwa proyek ini bukan hanya tentang membangun kincir angin. Ini tentang membangun harapan, kebersamaan, dan masa depan yang lebih baik bagi semua. ***