“Aku menghamilinya, Arini. Nuri hamil. Maaf aku selingkuh dengannya. Aku harus menikahinya, Rin. Aku minta kamu tanda tangani surat persetujuan ini.”
Bak tersambar petir di siang hari. Tubuh Arini menegang setelah mendengar pengakuan dari Heru, suaminya, kalau suaminya selingkuh, dan selingkuhannya sedang hamil. Terlebih selingkuhannya adalah sahabatnya.
"Oke, aku kabulkan!"
Dengan perasaan hancur Arini menandatangani surat persetujuan suaminya menikah lagi.
Selang dua hari suaminya menikahi Nuri. Arini dengan anggunnya datang ke pesta pernikahan Suaminya. Namun, ia tak sendiri. Ia bersama Raka, sahabatnya yang tak lain pemilik perusahaan di mana Suami Arini bekerja.
"Kenapa kamu datang ke sini dengan Pak Raka? Apa maksud dari semua ini?" tanya Heru.
"Masalah? Kamu saja bisa begini, kenapa aku tidak? Ingat kamu yang memulainya, Mas!" jawabnya dengan sinis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Satu
Hari ini sidang berjalan dengan lancar. Tinggal menunggu sidang berikutnya, yaitu sidang putusan mereka. Arini keluar ruang sidang lebih dulu bersama dengan Ayah. Sang ayah merangkul Arini, menepuk-nepuk bahunya, untuk menguatkan Arini. Farid tahu kalau Arini masih menyimpan perasaan untuk Heru, akan tetapi perasaannya sudah kalah dengan rasa sakit yang Heru torehkan padanya.
“Arini!” panggil Heru. Arini menoleh ke belakang saat Heru memanggilnya.
“Iya, Her, bagaimana?”
“Rin bisa bicara sebentar?”
“Bisa,” jawab Arini. “Ayah, aku bicara sama Heru dulu, ya?” pamit Arini pada ayahnya.
Arini berjalan bersisian dengan Heru, lalu mereka duduk di kursi panjang, yang tidak jauh dari ruang sidang mereka.
“Mau bicara apa, Her?” tanya Arini.
“Kamu sudah yakin kita sampai di sini, Rin?”
“Ya, yakin. Kok tanya lagi? Tadi di dalam ruang sidang kan sudah kita bahas, kita sudah deal, dan sidang selanjutnya tinggal menunggu keputusan saja?” jelas Arini.
“Lalu karier kamu? Apa tidak bermasalah jika kamu bercerai, kamu ini kan konseling pernikahan?”
“Bermasalah ya tidak apa-apa. Aku memang sudah ingin berhenti mengembangkan karierku. Aku sudah bayar pinalti dengan klien yang bekerja sama denganku, aku sudah jelaskan semuanya, dan mungkin besok atau lusa, aku akan mengadakan konferensi pers, kalau aku akan undur diri sebagai seorang konseling pernikahan,” jelas Arini.
“Lalu kamu tidak kerja? Kamu ini kan hanya dapat penghasilan dari situ? Gak sayang?”
“Aku ini juga seorang psikolog anak, Her. Ada sebuah klinik yang membutuhkan aku untuk menangani anak-anak berkebutuhan khusus. Itu sepertinya lebih menarik.”
“Memang kamu bisa? Kamu ini belum punya anak, Rin! Kamu ini kan gak bisa punya anak?”
Arini sudah muak sekali mendengar ucapan Heru. Bisa-bisanya dia bicara seenak udelnya. Memangnya seorang psikolog anak harus punya anak dulu?”
“Ya siapa tahu, setelah aku sering berinteraksi dengan anak kecil, aku bisa dimudahkan untuk hamil?” ucap Arini santai.
“Gitu, ya? Tapi kamu kan divonis dokter sulit punya anak?”
“Itu vonis dokter, bukan kehendak Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki aku hamil setelah aku menikah lagi nantinya gimana? Jangan mendahului kehendak Tuhan. Tuhan Maha Segalanya, Her!”
“Ya tapi kan sudah bermasalah?”
“Gak ada yang gak mungkin bagi Tuhan, Her! Bisa jadi malah kamu yang bermasalah sebetulnya? Kamu ini harus hati-hati, tuh calon istrimu itu beneran ngandung anak kamu bukan? Atau jangan-jangan anak laki-laki lain?”
“Gak usah gitu kamu!”
“Kali saja, kan? ucap Arini.
Heru mengepalkan tangannya. Dia begitu kesal dengan Arini. Arini selalu saja bicara kalau bayi yang ada di kandungan Nuri bukan anaknya.
“Sudah aku mau pulang, aku kira mau bicara penting apa, malah bicara yang gak mutu!” ucap Arini kesal.
Arini meninggalkan Heru, obrolannya ternyata tidak bermutu sama sekali. Arini kira Heru akan membicarakan hal penting tentang apa, ternyata malah hal gak penting sama sekali.
“Lihat saja nanti, anak itu anak siapa, Her? Kalian semua pasti akan tertipu oleh Nuri, penipu gila! Aku yakin bayi yang ada di kandungan Nuri bukan anak dari Heru,” batin Arini.
^^^
Hari ini Arini akan mengadakan konferensi pers. Dia ingin menyudahi kariernya di dunia konseling. Apalagi pernikahannya dengan Heru hancur karena orang ketiga. Rasanya malu, jika dia terus menggeluti kariernya itu, karena dirinya tak becus membina rumah tangga bersama Heru, tak becus mengalihkan cintanya Heru lagi untuk dirinya.
Ada tawaran di sebuah klinik kesehatan untuk posisi psikolog anak. Arini tertarik dengan tawaran itu, sepertinya dia akan mencoba pengalaman baru, karena dia juga seorang psikolog anak. Klinik kesehatan yang ada di kota ayahnya, tidak jauh dari rumah ayahnya, dan klinik itu milik saudaranya Raka.
“Kamu yakin mau menyudahi kariermu itu?” tanya Farid.
“Rasanya memang harus demikian, Yah. Aku jadi merasa terbebani, dengan keadaan rumah tanggaku yang hancur, akan tetapi aku ini sok-sok an menasihati orang-orang yang bermasalah dengan pasangannya? Lucu gak sih, Yah?” jelas Arini.
“Enggak lucu, malah justru kamu bisa jadi sumber inspirasi mereka. Iya, kan?”
“Iya juga sih, tapi Arini mau tenang dulu, Yah? Arini mungkin ingin berdekatan dengan anak-anak dulu, supaya pikiran Arini yang kacau ini kembali terisi kegembiraan karena sering bersama anak.”
“Lebih sulit mengendalikan anak yang sedang tantrum lho, Nak?”
“Iya memang, Yah. Tapi apa salahnya aku mencoba? Toh sudah ada buktinya aku bisa? Tuh Juna sekarang seperti apa setelah aku terapi dia?”
“Iya juga sih, kamu ini sebetulnya multi talenta, tapi kok Heru tega ya menyakiti kamu sampai main gila dengan perempuan?”
“Yah, orang selingkuh itu penyakit, penyakit yang susah sembuh, bahkan bisa penyakit itu turun-temurun lho, Yah?” ucap Arini.
“Jadi kamu nebak Papanya Heru juga begitu?”
“Mungkin? Selama ini aku lihat hubungan mamanya Heru dan papanya Heru itu aneh lho, Pa? Kayak mereka itu gak harmonis, komunikasinya tidak baik, itu menurutku, Yah.”
“Bisa jadi begitu, ayah gak mau ghibahin orang ah, kamu nih suka ghibah! Yuk cari makan siang saja! Kita makan di restoran favorit kita, nanti ayah akan temani kamu konferensi pers setelah makan siang,” ajak Farid.
Arini mengangguk, Arini sekarang lebih sering menghabiskan waktu berdua dengan ayahnya. Kadang mereka ke tempat rekreasi hanya berdua saja. Dengan Raka pun masih jaga jarak, karena Raka yang mau begitu. Memang ada benarnya juga kata ayahnya, mereka tidak boleh dekat-dekat lebih dulu, sebelum urusan Arini dan Heru selesai. Minimal mereka sudah sah berpisah.
^^^
Raka tersenyum senang, mendengar Arini yang menyatakan pernyataannya kalau dia akan berhenti menjadi konseling, dan akan menutup kantornya itu. Arini menjelaskan semua dengan lugas, semua yang hadir memahami bagaimana kondisi Arini. Semua mensupport Arini. Sosial medianya penuh dengan ucapan untuk menyemangati Arini. Bukan Arini menyerah, tapi ia merasa tidak pantas saja masih menjalani profesinya itu.
Raka ingin sekali menemui Arini, dia sudah sangat merindukan Arini. Akan tetapi, dia tidak mau melanggar ucapannya sendiri. Dia sendiri yang memutuskan untuk menemui Arini nanti setelah Arini selesai masalahnya dengan Heru. Tapi, malah Raka yang sudah kangen bukan main pada Arini.
“Ah, Juna! Bisa aku jadikan dia alat, supaya aku bisa ketemu Arini!” ucapnya dengan binar bahagia.
Segera Raka mengemasi pekerjaannya, lalu ia akan pulang, mengajak Juna untuk menemui Arini. Gandi melihat Raka sedikit aneh, dari tadi senyam-senyum sendiri.
“Kamu ini kesambet setan apa, Bro?”
“Sembarangan kesambet!” tukas Raka.
“Lah itu senyam-senyum sendiri?”
“Aku mau keluar sebentar, ada urusan!”
“Jangan bilang lo mau nemuin Arini?”
“Ya begitulah!”
“Sepertinya ada yang melanggar ucapannya sendiri nih?”
“Juna yang mau ketemu Arin!”
“Alah alasan!”
Gandi tahu tabiat temannya itu. Kalau sudah ingin sesuatu, pasti harus di lakukan, dan harus ia dapatkan.
“Bucin ... bucin ....”
“Berisik lo!” timpal Raka.
si Nuri ini menjijikkan banget. sana sini mau....
mudah mudahan kena penyakit mematikan....