Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sembilan - Keputusan Ada Pada Kamu
Amara mencoba terlihat biasa di depan suaminya saat suaminya keluar dari kamar mandi. Varo memakai baju yang sudah disiapkan Amara tadi. Baru saja Alvaro ingin duduk di sebelah Amara, terdengar ketukan pintu. Alvaro langsung beranjak membuka pintu kamarnya, ia tahu pasti Bi Asih yang memanggilnya untuk makan malam.
“Ada apa, Bi? Apa malam malam sudah siap?” tanya Varo.
“Sudah, Pak. I—itu ada Bu Eliana sama Mbak Vira juga,” ucap Bi Asih.
“Oh ya sudah, siapkan buat mereka juga ya, Bi? Nanti sebentar lagi aku turun.”
“Baik, Pak.”
Alvaro menutup kembali pintunya. Ia mendekati Amara yang dari tadi diam, entah kenapa istrinya diam begitu, mungkin masih kesal dengan dirinya yang jemputnya terlambat.
“Yuk makan malam? Itu ada mama sama Kak Vira juga,” ajak Alvaro.
“Mas turun dulu, ya? Aku mau ke kamar mandi dulu, mules perutku,” ucap Amara alasan.
“Baiklah, aku tunggu di ruang makan, ya?”
“Iya, Mas.”
Alvaro keluar dari kamarnya. Amara malas sekali kalau sudah ada ibu mertua dan kakak iparnya itu. Ia sebetulnya tidak ingin turun, karena pasti ibu mertuanya itu akan mengatainya mandul lagi. Dan menyuruh dirinya untuk menyetujui pernikahan Varo dan Cindi.
Amara dengan malas beranjak dari tempat tidurnya untuk turun ke bawah menemui ibu mertua dan kakak iparnya itu yang tiba-tiba datang ke rumah. Ia juga harus makan malam bersama dengan mereka. Rasanya begitu malas, namun mau tidak mau dia harus turun ke bawah.
Amara menuruni anak tangga, ia langsung ke ruang makan, namun di sana belum ada orang. Pasti suaminya sedang mengobrol dengan mamanya dan kakaknya di ruang keluarga. Bergegas Amara menyusul ke sana. Benar meraka ada di ruang keluarga, samar-samar Amara mendengar obrolan suaminya dengan ibu mertuanya.
“Amara pasti tidak keberatan kalau kamu menikah lagi, Varo?”
“Lagian nih, untuk apa sih mempertahan perempuan mandul?” timpal Vira.
“Cindi bisa ngasih kamu keturunan pastinya, apalagi dia kan sudah terbukti punya anak. Anaknya juga udah lengket sama kamu?” ucap Eliana.
“Iya, sudahlah sama Cindi saja, nikahi dia yang jelas tidak mandul, daripada istrimu mandul?”
Amara mengepalkan tangannya mendengar percakapan mereka. Ia menahan rasa sesak yang semakin menghimpit dadanya. Amara pun tersenyum dan berjalan untuk mendekati mereka.
“Benar kata Kak Vira, Mas. Untuk apa Mas mempertahankan perempuan mandul seperti aku ini? Aku kan sudah bilang tadi malam, silakan nikahi perempuan itu, dan tinggalkan aku,” ucap Amara.
Kedatangan Amara mengejutkan mereka semua. Amara duduk di sebelah Varo, ia menggenggam tangan Alvaro dan menatap wajahnya.
“Mungkin dengan mas menikah dengan perempuan lagi, mas akan segera memiliki keturunan. Tidak seperti aku yang belum bisa memberimu keturunan sampai sekarang,” ucap Amara. Ucapan Amara berhasil menyindir Varo.
“Ngaku juga sekarang, kalau kamu ini mandul. Bagus deh kalau kamu sadar diri! Tapi, kenapa baru sekarang? Dari dulu ke mana?” sarkas Vira.
Alvaro hanya diam saat istrinya dihina oleh ibu dan kakaknya. Padahal adanya Amara seperti ini, belum memiliki anak karena Varo sendiri yang membuatnya begitu. Varo yang belum mau memiliki anak. Namun, dirinya hanya diam saat ibu dan kakakya menghina istrinya yang belum hamil karena disebabkan oleh dirinnya
“Tuh Amara sudah memberikan kamu izin, sekarang tinggal kamunya bagaimana, Varo?” ucap Eliana.
“Lagian Cindi kan sudah kembali ke sini, kalian bisa membicarakan dan segera menikah siri lebih dulu. Kalian pernah bersama sangat lama, tentunya mudah untuk bersatu kembali,” ujar Vira.
Amara hanya menahan air matanya saat semua bicara seperti itu. Amara sebisa mungkin tidak ingin terlihat lemah di mata mereka.
“Semua keputusan ada di tanganmu, Mas. Aku kan sudah memberimu syarat yang sudah cukup jelas dan mudah, kan? Silakan pikirkan lagi, dan aku tunggu keputusanmu. Aku siap dengan semua keputusanmu nanti,” ucap Amara.
Amara pergi meninggalkan tempat yang begitu membuatnya sakit dan sesak. Tega sekali suaminya, yang hanya bisa diam di depan ibu dan kakaknya itu. Padahal adanya Amara yang belum hamil itu, karena dirinya sendiri, karena Varo yang meminta Amara memasang alat penunda kehamilan.
“Kalian lebih baik pulang! Dan aku ingatkan, mulai sekarang jangan membahas masalah ini lagi di depanku atau di depan Amara!” ucap Varo dingin.
“Dan kamu, Kak, tolong jangan ikut campur kehidupanku, jangan ikut campur soal rumah tanggaku lagi!” tegas Varo.
Eliana dan Vira hanya diam membisa, mendengar Varo yang begitu dingin saat ini. Mereka tidak berani lagi berbicara, karena mereka tahu betapa menakutkan jika Alvaro sudah marah.
^^^
Amara menangis dalam diam, tak ada suara isak tangis yang keluar dari bibirnya, hanya air mata yang terus mengalir dari sudut matanya, tanpa bisa ia hentikan. Amara mengingat perjalanan rumah tangga yang ia bangun selama tiga tahun, dan mungkin akan hancur seketika. Apalagi dia tahu soal Alea yang sudah begitu dekat dengan Varo, malah ada perasaan di lubuk hatinya, kalau Alea sebetulnya anak Alvaro dan Cindi.
“Gak mungkin dia anaknya Varo, aku gak boleh mikir sejauh ini!” batin Amara dengan terus menangis meratapi nasib pernikahannya nanti.
Perasaa cinta untuk Varo yang sudah terlanjur tumbuh di dalam hatinya tidak akan bisa mempertahankan rumah tangganya yang sudah terbangun selama tiga tahun. Karena hanya dia yang mencintai Varo, tidak untuk Varo. Kalau dia ada rasa pada dirinya, tadi dia membela dirinya saat dirinya dikatai mandul oleh kakaknya. Karena penyebab dirinya belum hamil karena Varo yang minta, Varo yang belum mau memiliki anak dengan dirinya.
Mau tidak mau dirinya harus merelakan Alvaro menikah lagi dengan perempuan itu. Perempuan di masa lalunya, yang mungkin masih dicintai Alvaro sampai sekarang, karena sampai membuat Alvaro tak ingin memiliki anak darinya. Biar saja dirinya mengalah, dirinya akan mundur dari pernikahannya, hanya demi suaminya bahagia dengan perempuan yang selama ini dicintainya.
Terdengar pintu kamar terbuka, Amara bergegas menyeka air matanya. Ia tidak mau terlihat lemah di depan suaminya. Dia tidak ingin terlihat seperti menangisi nasibnya.
“Bagaimana, Mas? Apa kamu sudah memutuskan mau seperti apa?” tanya Amara tenang dengan menatap suaminya yang mendekatinya.
Alvaro duduk dengan membuang kasar napasnya. Ia tatap Amara yang juga menatapnya dengan dalam.
“Kalau mas sudah memutuskannya, aku harap mulai saat ini kita saling jaga jarak, sampai waktu perceraian tiba,” ucap Amra lirih. “Aku ingin membiasakan diri tanpa kamu, biar aku tak bergantung padamu. Mulai malam ini juga, aku akan tidur di kamar tamu, tidak mungkin kita masih satu kamar, kalau kita mau pisah?” imbuhnya.
“Aku tidak akan menceraikan kamu! Kita tidak akan berpisah, Amara!”