Terpaksa Menikahi Pria Kejam

"Rania?" suara ketukan pintu mama Laura masih terdengar.

Karena panik, Rania tidak bisa menemukan alat tes kehamilan yang tadi dilemparkannya. Akhirnya ia pun merapikan diri dan memakai bedak tipis agar terlihat tidak lesu.

"Iya ma, sebentar, aku baru selesai mandi," sahut Rania dengan suara yang dibuat baik-baik saja.

"Baiklah, mama tunggu di ruang makan ya," pamit mama Laura.

"Iya ma," jawab Rania merasa lega.

Ia pun kembali mencari alat tes kehamilan itu. Hingga matanya menemukan benda kecil itu yang tergeletak di sudut ruangan dekat tempat tidur. Rania segera mengambil dan membungkusnya dengan kertas, lalu membungkusnya lagi dengan plastik hitam kecil dan membuangnya ke tempat sampah yang berada di kamarnya.

Kemudian ia kembali berkaca dan mengoleskan liptint tipis agar wajahnya terlihat segar. Setelah memastikan ia dalam keadaan yang baik, Rania pun keluar dan menghampiri kedua orangtuanya di meja makan.

"Hai nak, sini duduk," sapa papa Rangga saat melihat Rania berjalan mendekat.

Rania hanya tersenyum dan duduk di hadapan papa Rangga dan mama Laura.

"Bagaimana kondisi kamu? Apakah sudah membaik?" tanya Papa Rangga.

"Sudah membaik pa," jawab Rania.

"Kamu yakin tidak mau dipanggilkan dokter? Mama khawatir karena waktu itu kamu sampai pingsan sayang," imbuh mama Laura.

"Tidak usah ma, aku benar-benar sudah baik-baik saja," jawab Rania lalu tersenyum.

"Baiklah kalau begitu. Ya sudah kamu makan yang banyak agar cepat pulih," ucap papa Rangga.

"Iya pa," sahut Rania lalu ia mengambil makanannya.

"Oh iya ma, bagaimana dengan proses perceraian ku?" tanya Rania.

"Soal itu, kemarin Randi telah memberikan berkas, nanti mama serahkan padamu ya untuk kamu baca kembali. Jika setuju kau hanya perlu tandatangan saja, nanti sisanya Farhan yang akan tandatangan," jelas mama Laura.

"Oke ma, terima kasih," jawab Rania lalu mulai memakan makanannya.

Baru satu suapan makanan itu masuk ke dalam mulutnya, Rania merasa mual. Sepertinya janinnya tidak bersedia makan menu udang, sedangkan di nasi gorengnya terdapat udang kecil.

Rania mencoba menahan gejolak dalam perutnya agar tidak muntah. Sebagai gantinya, ia memilih meminum susu dan memakan roti.

"Kamu tidak makan nasi sayang?" tanya mama Laura.

"Tidak ma, aku lebih ingin makan roti ini," jawab Rania berbohong.

Tidak lama setelah itu, terlihat Farhan datang dengan santainya.

"Pagi semua," sapa nya dengan memandang satu persatu penghuni rumah itu dan tentu saja pandangannya berakhir pada Rania.

Kemudian ia memilih duduk di kursi yang terletak di samping Rania, karena kursi itu kosong. Saat Farhan duduk, tercium semerbak wangi parfumnya. Seketika membuat perut Rania tak mampu menahan rasa mualnya.

Ia segera berlari ke belakang untuk memuntahkan isi perutnya. Mama Laura dan papa Rangga pun merasa terkejut, karena tadi Rania terlihat baik-baik saja.

Mama Laura bergegas mengikuti Rania ke belakang. Farhan yang baru datang terlihat bingung dengan Rania. Apa dirinya bau? Farhan pun menciumi dirinya sendiri, memeriksa apakah ada aroma yang tidak sedap dari tubuhnya.

"Rania masih sakit pa?" tanya Farhan pada akhirnya.

"Ya begitulah, beberapa hari lalu ia jarang makan karena tidak nafsu makan sejak pingsan di hadapan mu," jawab papa Rangga.

Sementara mama Laura sedang mengusap-usap punggung Rania hingga wanita itu selesai memuntahkan semuanya. Rania kembali terlihat pucat dan lemah.

"Rania, mama panggil dokter saja ya? Kamu pucat sekali," tanya mama Laura.

Rania buru-buru menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu ma, istirahat sebentar saja aku akan pulih."

"Aku mau ke kamar dulu ya ma," ucap Rania.

Mama Laura pun menuntun Rania untuk kembali ke kamarnya. Saat berjalan melewati ruang makan, ia melihat Farhan menatapnya dengan tajam. Namun ia memilih tak menghiraukannya.

Sampai di dalam kamar, Rania kembali merenung. Ia merasa tidak bisa menjaga diri agar tidak terlihat hamil muda. Janin di dalam kandungannya telah menjelma seperti ayahnya yang sangat menyusahkan dirinya.

Ia pun mengambil ponsel yang ada di nakas, lalu mulai menghubungi Randi. Saat ini yang terpikir olehnya untuk bisa membantu hanya Randi.

"Halo, Randi?"

"Iya? Ada apa Rania? Kau baik-baik saja?" tanya Randi.

Inilah yang membuat Rania merasa nyaman bercerita apapun kepada Randi. Karena pria itu sangat lembut dan penuh perhatian.

"Randi, tolong bantu aku untuk menggugurkan kandunganku," pinta Rania.