Hanya karena logam mulia dan wasiat yang di punya oleh kakek masing-masing membuat Nathan dan Tiffani berakhir di jodohkan. Tiffani tak menyangka bahwa dia harus menikah dengan laki-laki terpandang yang terkenal dari keluarga sendok emas. Sedangkan Nathan hanya bisa pasrah dengan masa depannya setelah dia mendapatkan garis keturunan sebagai calon penerus perusahaan Kakeknya, salah satunya dengan menikahi gadis yang tak pernah dia duga sebelumnya. Bahkan perjodohan ini membuat Nathan harus menyerah untuk menikahi sang pujaan hatinya yaitu Elea.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sesal Tiada Usai
Terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar. Tiffani tengah bersantai di sofa sambil bermain handphone. Mendengar ketukan tersebut membuat Tiffani langsung bangkit berdiri dan membukakan pintu.
"Nenek." melihat kehadiran Nenek Tiffani sedikit kaget.
Nenek melihat ke arah dalam kamar. "Kemana Nathan?"
"Sedang mandi Nek."
"Ya sudah kalau begitu Nenek tunggu di bawah, selesai Nathan mandi kalian berdua segera kebawah."
Tiffani mengangguk. "Baik Nek."
Setelah mengucapkan hal tersebut lantas Nenek pergi kembali ke lantai bawah menggunakan lift. Sementara itu Tiffani yang kembali masuk ke dalam kamar tampak bingung.
"Ada apa ya kiranya Nenek memanggil aku sama Nathan." Gumam Tiffani.
Pintu kamar mandi terbuka menampilkan Nathan dengan rambut yang basah, handuk yang melilit di pinggang, bertelanjang dada terlihat perutnya yang sixpack ia sibuk mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk.
Melihat pintu kamar mandi terbuka membuat Tiffani otomatis menoleh ke arah tersebut.
Sadar melihat pemandangan yang tak seharusnya membuat Tiffani menutup matanya. "Besok kalau keluar kamar mandi langsung pakai baju aja kalau nggak pakai bathrobe." protesnya.
Nathan memandang Tiffani yang menutupi wajah dengan tangan. "Kenapa? takut kegoda?"
Mendengar penuturan Nathan membuat Tiffani berdehem. "Enak aja!" jawabnya tak terima.
Bukannya memakai baju, Nathan malah sibuk mondar-mandir dari arah wardrobe ke kamar mandi.
Tiffani melirik Nathan yang kini masih sibuk mengeringkan rambut dengan hair dryer.
"Nenek menyuruh kita ke bawah, bisa cepat dikit." ucapnya.
"Mau ngapain Nenek manggil kita."
"Aku juga nggak tahu."
***
Nathan dan Tiffani akhirnya turun ke bawah dan benar saja Nenek sudah menunggu di ruang tamu. Melihat kehadiran cucunya Nenek menyambut dengan senyuman.
"Ayo ikut Nenek."
Mereka berdua menurut mengekori Nenek dari belakang, sementara itu Tiffani yang kebingungan melihat ke arah Nathan untuk meminta penjelasan namun Nathan sendiri sebenarnya juga tidak tahu Nenek akan mengajak mereka kemana.
Ternyata langkah kaki Nenek menuju ke arah belakang rumah tepatnya berhenti di rumah yang pernah dihuni oleh orang tua Nathan sebelumnya.
"Seperti yang Nenek katakan kemarin, kalian sebentar lagi akan menempati rumah ini." jelas Nenek.
"Kemarin?" Nathan bingung.
"Sebenarnya kemarin Nenek sudah bilang kepada Tiffani."
Rumah yang berada di depan pandangan mereka sudah dipermak kembali dan layak untuk dihuni. Nenek mempersilahkan Nathan dan Tiffani untuk masuk. Bahkan demi kenyamanan mereka berdua, Nenek membelikan kembali barang-barang yang telah usang.
"Rumah ini ada dua kamar, satu kamar utama yang luasnya lebih besar dan satu lagi kamar buat anak kalian nanti."
Mendengar penjelasan Nenek mengucapkan kata 'anak' membuat Tiffani menjadi berucap dalam hati "anak Nathan nanti entah siapa ibunya." koreksi Tiffani yang menurutnya lebih cocok.
Melihat kamar kedua di rumah ini membuat Nathan seolah di bawa ke masa lalu saat dirinya masih kecil. Dahulu dia banyak menghabiskan waktu di kamar ini bersama Kakak perempuannya karena tidak punya teman. Selain Kakak perempuan Rey juga ikut mewarnai masa kecilnya.
"Ini ada dapur sederhana tapi kalau urusan makan, kalian masih tetap makan bersama kita. Kalau membersihkan rumah ini biar pelayan yang melakukannya." jelas Nenek.
Prinsip ini pun sebenarnya juga sama diberlakukan kepada orang tua Nathan dahulu. Alasan kenapa Nenek memberikan bangunan rumah lain kepada menantunya ataupun anak cucunya agar mereka lebih leluasa tinggal tanpa perlu rasa sungkan kepada yang lebih tua.
Bahkan Nenek sampai berpikir jika keduanya bertengkar maka orang tua tidak akan tahu. Namun Nenek juga masih tidak ingin melepas mereka begitu saja.
"Kalau begitu Nenek keluar dulu, kalian lihat-lihat saja."
"Mau saya antar Nek?" tawar Tiffani.
"Tidak usah pasti nanti di depan banyak pelayan yang mau membantu Nenek."
Kepergian Nenek dari rumah membuat Tiffani leluasa untuk melihat secara rinci sudut rumah. Di dalam kamar utama terdapat bed dengan ukuran king size dilengkapi kamar mandi bahkan juga ada wardrobe. Sementara itu di kamar kedua hanya terdapat kasur saja.
Bukan hanya kamar, rumah ini juga dilengkapi ruang tamu dan dapur sederhana seperti yang telah Nenek jelaskan. Bahkan interiornya pun tidak kalah mewah dari rumah utama.
Tiffani yang sibuk mengabsen isi rumah, berbeda dengan Nathan yang duduk di ruang tamu sambil fokus dengan ponselnya. Laki-laki tersebut tengah berkirim pesan dengan Elea, kekasih hatinya.
^^^Nathan: Selamat atas prestasi barumu aku ^^^
^^^dengar kamu mendapatkan juara lagi^^^
Elea: Makasih sayang, aku hari ini belanja oleh-oleh kamu minta dibelikan apa
^^^Nathan: Terserah kamu saja aku selalu suka apapun pemberian kamu^^^
Elea: Kalau aku sampai di Indonesia pokoknya kita harus ketemu wajib lama
^^^Nathan: Tentu, aku juga sudah kangen sekali denganmu^^^
Terlalu fokus dengan ponselnya membuat Nathan tidak merasakan kehadiran Tiffani yang juga ikut duduk di ruang tamu. Tiffani melirik ke arah Nathan dan menemukan bahwa sudut bibir Nathan terangkat dalam hati kecil Tiffani bertanya kiranya apa yang membuat laki-laki tersebut tersenyum.
Suara nada dering terdengar dari ponsel Nathan, tanpa pikir panjang laki-laki tersebut langsung menerima panggilan telepon.
"Hai sayang, kenapa?" ucapnya.
Ada rasa kaget mendengar Nathan mengucapkan kalimat tersebut. Beberapa hari tinggal bersama Nathan membuat Tiffani sejenak lupa kalau Nathan bukan miliknya, walaupun Tiffani tak pernah menginginkan Nathan tetapi ada rasa ngilu di hatinya saat laki-laki yang berstatus sebagai suaminya terang-terangan memanggil kata 'sayang' kepada perempuan lain.
Tidak ingin mengganggu dan mendengar lebih jauh membuat Tiffani langsung bangkit berdiri dan meninggalian Nathan sendirian.
Nathan yang menangkap Tiffani pergi tidak menghiraukan sama sekali.
"Ini aku lagi pilih oleh-oleh buat kamu pasti kamu bakal suka." ucap Elea di seberang telepon.
"Jadi tidak sabar buat ketemu sama kamu."
"Sebenarnya aku telepon karena aku rindu sama suara kamu."
Nathan terkekeh. "Aku rindu semuanya, bukan hanya suara kamu."
"Ih gombal. Pokoknya kamu tidak boleh jatuh cinta ke cewek lain selain aku. Kamu itu milik aku titik."
Mendengar penuturan Elea membuat Nathan teringat jika dia belum membicarakan tentang ia telah menikah dengan perempuan lain.
"Sayang kamu masih disana kan?" Elea kembali bicara saat tidak mendengar suara dari Nathan.
"Eh iya sayang." Nathan tersadar dari lamunannya.
"Kalau begitu sudah ya, kalau kita ketemu kita bakalan ngobrol sepuasnya. Love you."
"Hem love you too."
Panggilan terputus. Pikiran Nathan kembali tertuju pada perkataan Elea seharusnya pacarnya itu sudah tahu mengenai pernikahannya melalui berita namun kenapa perempuan itu tidak membahasnya sama sekali. Kekasihnya tersebut sudah berjanji akan memilih untuk tetap setia bersama dirinya walaupun ia telah menikah dengan perempuan lain tapi tetap saja Nathan merasa telah menjadi orang jahat karena menduakan Elea.
***
Tiffani memilih jalan-jalan di belakang rumah dengan bahu yang melorot. Bahkan pandangannya tak fokus sama sekali.
"Jahat sekali aku." gumamnya dan terus menerus mengucap kalimat tersebut.
Dia selalu saja menyalahkan diri karena telah menjadi orang ketiga di dalam hubungan Nathan dan Elea. Dulu bahkan Nathan marah kepada dirinya agar tidak membocorkan perihal hubungannya dengan kekasihnya itu tapi ternyata semesta berkata lain, sekarang dia malah menjadi orang ketiga. Walau hanya seperti bayangan di hubungan mereka namun tetap saja dia merasa sangat bersalah sekali.
"Seharusnya aku tidak menerima pernikahan ini." sesalnya.
"Aku jahat sekali, hubungan ini palsu tapi tetap saja bagaimana perasaan Elea melihat Nathan menikahi perempuan lain." rutuknya.
Langkah kaki Tiffani tanpa sadar membawanya ke bangku taman favoritnya yang biasanya dia duduki.
"Hei."
Tiffani yang tadinya menunduk lantas menoleh ke arah sumber suara.