Lahir di sebuah keluarga yang terkenal akan keahlian berpedangnya, Kaivorn tak memiliki bakat untuk bertarung sama sekali.
Suatu malam, saat sedang dalam pelarian dari sekelompok assassin yang mengincar nyawanya, Kaivorn terdesak hingga hampir mati.
Ketika dia akhirnya pasrah dan sudah menerima kematiannya, sebuah suara bersamaan dengan layar biru transparan tiba-tiba muncul di hadapannya.
[Ding..!! Sistem telah di bangkitkan!]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bayu Aji Saputra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepribadian Ganda
Kaivorn—meski tak bisa bergerak—dia tertawa seperti orang gila dalam hatinya.
"Tebakanku benar...!!!" teriaknya dalam batin.
Senyum liar menghiasi pikirannya, membesar dengan kegilaan yang terus tumbuh. "Aku benar-benar menemukan jawabannya... dia punya dua kepribadian!"
Kaivorn mengamati semuanya dengan kegembiraan yang tak bisa ia tahan lagi.
Wajahnya yang semula tenang kini dipenuhi senyum liar yang tak terlihat oleh Calista. "Ya... ini dia... tepat seperti yang kupikirkan!"
Sosok di depannya—dalam tubuh Calista—hanya melirik Kaivorn sejenak, seolah melihat sesuatu yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Para musuh menyadari bahwa mereka tak bisa bergerak, kepanikan mulai terlihat di mata mereka, tapi mereka tak dapat berbuat apa-apa.
Calista melangkah maju dengan anggun, tidak terburu-buru, namun setiap langkahnya seolah menggema dengan kekuatan yang tak terbantahkan.
Rambut putih keperakannya berkilau di bawah cahaya bintang, menambah kehadirannya yang begitu mengintimidasi.
Dengan gerakan tangannya yang lembut, lingkaran sihir mulai berpendar di bawah kakinya.
Garis-garis runik dan simbol-simbol kuno bercahaya biru keunguan, memancarkan cahaya dingin yang menusuk.
Dalam sekejap, Calista berbisik, "Siphon," dan salah satu musuh yang paling dekat dengannya tiba-tiba bergetar.
Wajah pria itu berubah dari ketakutan menjadi kepanikan, seolah-olah energi hidupnya diserap dengan paksa.
Warna tubuhnya memudar, sementara energi biru keluar dari tubuhnya dan terserap ke dalam lingkaran sihir di sekitar Calista.
Calista melangkah melewati tubuh pria yang jatuh tak bernyawa ke tanah, matanya yang dingin tidak menunjukkan sedikitpun empati.
Dia mengangkat tangannya yang bersinar, dan lingkaran sihir baru muncul di udara, melayang di antara musuh-musuh yang masih lumpuh.
Dengan satu isyarat dari jarinya, dia berbisik, "Crush."
Lingkaran sihir di udara bergetar, dan dalam sekejap, tubuh beberapa musuh di hadapannya langsung terhimpit seolah ada tekanan tak terlihat yang menghancurkan tulang-tulang mereka.
Tidak ada yang bisa berteriak, hanya ada bunyi patahan yang terdengar.
Darah dan debu berhamburan, tetapi Calista melangkah melewatinya dengan tenang, seperti melangkah di atas bunga yang layu.
Salah satu dari musuh berhasil menggerakkan jarinya sedikit, wajahnya yang penuh ketakutan berusaha keras melawan sihir yang mengunci tubuhnya.
Calista memandangnya dengan pandangan sekilas, mengangkat tangannya, dan mengucapkan mantra yang hampir tidak terdengar, "Marionette."
Lingkaran sihir kecil terbentuk di tangannya, dan seketika, musuh itu bergerak seperti boneka, tangan dan kakinya mengikuti perintah Calista tanpa perlawanan.
Dengan satu gerakan halus, dia membuatnya menyerang kawan-kawannya sendiri, mata pria itu menatap kosong, tak berdaya melawan kehendak sihir yang mengendalikan tubuhnya.
Dia terjebak, menjadi alat pembantaian untuk teman-temannya, pedangnya mengayun dengan kasar namun tanpa henti.
Calista kemudian berpaling kepada pria yang sebelumnya memimpin serangan.
Wajahnya penuh teror saat Calista mendekat, dan saat dia mencoba berteriak, Calista hanya mengangkat tangan, membungkam mulutnya dengan mantra "Silence."
Pria itu membuka mulutnya lebar-lebar, tetapi tak ada suara yang keluar.
Wajahnya yang berlumur darah semakin pucat, sementara Calista memandangnya seolah dia bukan lebih dari sekedar bayangan di tengah malam.
Mengangkat kedua tangannya, lingkaran sihir yang lebih besar mulai terbentuk di tanah di sekitarnya.
Lingkaran itu memancarkan cahaya merah gelap, simbol-simbol bercahaya muncul dalam pola yang kompleks dan indah.
"Infernal Chains," bisik Calista dingin.
Dari lingkaran sihir tersebut, rantai-rantai yang bersinar muncul dari tanah, merayap ke arah musuh yang masih bisa bergerak.
Rantai itu melilit tubuh mereka, membakar daging dan tulang dengan cahaya merah yang mengerikan.
Musuh-musuhnya menjerit tanpa suara, tubuh mereka melengkung dalam penderitaan, sementara Calista tetap memandang mereka dengan ketenangan yang tidak terganggu.
Sebagai akhir dari pertunjukan mengerikannya, Calista memfokuskan pandangannya pada tiga musuh yang tersisa.
Mereka gemetar, wajah mereka penuh ketakutan dan kehancuran.
Dengan satu gerakan tangan yang lembut, lingkaran sihir terakhir muncul di udara, memancarkan cahaya biru dan emas yang indah namun mematikan.
"Astral Shatter," ucapnya dengan nada suara yang hampir berbisik.
Cahaya dari lingkaran sihir itu menyelimuti ketiga musuhnya, lalu tiba-tiba menghantam mereka dengan ribuan pecahan cahaya.
Tubuh mereka hancur, berkeping-keping, seolah terbelah menjadi ribuan partikel yang larut ke udara.
Pecahan cahaya itu berkilauan, menciptakan pemandangan yang indah namun menakutkan.
Calista menatapnya dengan puas, seolah-olah sedang menyaksikan karya seni yang baru selesai ia ciptakan.
Saat semuanya berakhir, hanya ada keheningan yang tersisa.
Pria pemimpin yang sebelumnya hendak mengakhiri hidup Kaivorn kini terbaring di tanah, tak mampu bergerak lagi.
Calista berjalan mendekatinya, menatapnya dengan mata dingin yang berkilauan seperti es.
Dia tidak berkata apa-apa, hanya menatapnya dengan tatapan yang menusuk, lalu berbalik meninggalkan tubuhnya yang terluka.
Kaivorn, yang perlahan-lahan bisa kembali menggerakkan tubuhnya, menatap Calista dengan sorot mata yang penuh rasa kagum sekaligus rasa takut.
Tatapannya mengikuti langkah Calista, dan dia menyadari bahwa sosok di depannya adalah sesuatu yang lebih dari sekedar gadis muda.
Kaivorn menatap Calista tanpa berkedip, tidak bergerak meski merasakan ketegangan yang memancar dari tatapan dinginnya.
"Bocah dari keluarga Vraquos..." suara Calista menggema lembut tapi dingin, serupa desiran angin malam yang menusuk tulang.
Senyum tipis menghiasi bibirnya, dan meski seolah ramah, ada ancaman yang tersirat dalam setiap kata.
Kaivorn menahan napas, tak langsung menjawab.
"Kenapa kau tak mengeluarkan 'Sword Aura'-mu untuk bertarung?" nada suaranya datar, tapi mengandung tekanan yang cukup untuk membuat siapa pun yang mendengarnya gentar. "Seharusnya kau bisa mengatasi mereka dengan mudah."
Kaivorn terdiam sejenak, detak jantungnya seolah berhenti sesaat. "Dia... menyadarinya?" pikirnya terkejut.
Bagaimana bisa, seorang penyihir yang seharusnya tak tahu tentang pedang, menyadari detail sekecil itu?
Alih-alih menjawab, Kaivorn tetap diam.
Dia memang sengaja tidak menggunakan Sword Aura.
Ia ingin melihat reaksi Calista lebih lanjut, membuktikan teorinya—bahwa Calista tidak sepenuhnya dirinya sendiri.
Bahwa ada yang lebih tersembunyi, sebuah kepribadian lain yang mengendalikan tubuhnya.
Namun, Calista yang berdiri di depannya saat ini tampak kesal.
Matanya berkilat dingin, memperlihatkan kekecewaan yang dalam.
"Dengan kekuatanmu, kau bisa melindungi Calista kecil," ucapnya tajam. "Atau kau ingin melihatnya mati?"
Kaivorn tetap tenang, meski dalam hatinya ia menyadari bahwa spekulasinya membawa risiko.
Jika ia salah, ini bisa berakhir dengan kematian—bukan hanya bagi dirinya, tapi juga bagi Calista.
Gerakan Calista tiba-tiba berubah.
Dia melangkah maju dengan niat jelas untuk menyerang.
"Apa kau berniat mengorbankan nyawa Calista kecilku hanya demi uji coba bodohmu ini?" suara Calista terdengar sangat tajam.
Tangan Calista mulai bergerak, bersiap untuk mengakhiri hidupnya dengan satu serangan cepat.
Tapi kemudian, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Gerakan Calista berhenti.
Wajahnya yang penuh kemarahan itu perlahan melunak, dan ada ketegangan yang seolah pecah di udara.
Tangan yang hendak menyerang Kaivorn terhenti, lalu jatuh ke samping.
"Aku tidak bisa...," gumamnya, matanya berkedip, kehilangan fokus. "Aku... tidak bisa melukaimu..."
Kaivorn tersenyum samar, akhirnya menarik napas lega.
"Dugaanku benar." ucap Kaivorn dalam hati, merasa bangga ada dirinya sendiri.
Calista yang kedua, kepribadian yang tersembunyi, tampak terdiam, menatap Kaivorn dengan perasaan campur aduk antara kekaguman dan kebingungan.
"Bagaimana jika tebakanmu salah?" tanyanya akhirnya, suaranya lebih tenang tapi tetap penuh penekanan. "Kau akan mati."
Kaivorn menyunggingkan senyum percaya diri. "Tebakanku tak pernah salah."
Setelah kata-kata itu terucap, Calista tampak tersentak.
"Kepercayaan diri yang menyebalkan," gumam Calista dengan senyuman tipis, kali ini terasa hangat. "Kau sangat mirip dengan seseorang yang aku kenal."
Rambut putih indahnya perlahan kembali memudar menjadi coklat kusut, matanya yang semula berkilat dingin kini kembali menjadi hijau lembut, rapuh.
Dia terhuyung-huyung, tubuhnya tak lagi kuat menahan beban yang ia pikul.
Sebelum Kaivorn bisa bergerak untuk menangkapnya, Calista sudah jatuh pingsan di depannya.