Candra seorang istri yang penurunan tapi selama menjalani pernikahannya dengan Arman.
Tak sekali pun Arman menganggap nya ada, Bahkan Candra mengetahui jika Arman tak pernah mencintainya.
Lalu untuk apa Arman menikahinya ..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon laras noviyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 21
Candra mengunci pintu cafe setelah memastikan semuanya aman, lalu melangkah ke arah mobilnya.
Dira menggoda sambil menggoyangkan kuncirnya. "Aku yakin jika Rizal menaruh hati padamu"
Candra tertawa kecil, menggelengkan kepala. “Dia cuma peduli sama pekerjaannya, Dira. Aku bukan prioritas.”
“Bisa jadi. Tapi lihat cara dia memandangmu tadi" Dira menyenggol Candra dengan siku, senyumnya lebar. “Ayo, beri dia sedikit kode, Kamu butuh seseorang yang bisa menghargai kamu.”
Candra membuka lebar pintu mobil, mencubit bibirnya. “Dan buatku kembali tertawa? Kau benar tapi aku masih takut untuk memulai kembali, aku masih takut kejadian dulu akan terulang"
Dira menghela napas, menempatkan tangan di bahu Candra. "Kita semua punya masa lalu. Tapi jika kau terus melihat ke belakang, kau tidak akan melihat segala hal yang menunggu di depan. Rizal pun berbeda. Dia bukan Arman.”
Candra mengedipkan matanya, menahan keraguan. “Kau yakin?”
Dira mengangkat bahu, senyumnya penuh keyakinan. “Yakin. Lihat, dia langsung menghampiri kita. Siap-siap, ya.”
Rizal melangkah mendekat dengan senyum lebar, rambutnya basah karena keringat setelah seharian di rumah sakit. "Hai, Candra, Dira," sapanya, suaranya hangat menginspirasi kehangatan. “Bagaimana hari kalian di kafe?”
Candra tersenyum, merasakan detak jantungnya sedikit mempercepat. “Sangat ramai, kami hampir kehabisan kue,” jawabnya sambil mengacungkan jarinya ke arah tas kue yang ada di mobil.
“Bagus sekali.” Rizal melangkah lebih dekat, mengamati tas kue yang tergantung di kursi penumpang. “Kue apa yang paling laris hari ini?”
“Brownies,” Dira menjawab sambil menyeringai. “Candra memang jago membuatnya,"
Rizal menatap Candra, matanya bersinar. "Aku harus mencoba sepotong."
Candra mengangguk, menahan rasa malu yang berputar di dalam dirinya. "Aku akan simpan beberapa untuk kamu, Rizal."
“Apakah itu janji?” Rizal tersenyum, mengangkat sebelah alis. “Jika kamu datang ke kafe lebih sering, mungkin aku akan membuatkannya khusus untukmu,” Candra menjawab, wajahnya memanas.
Rizal tertawa kecil. "Tantangan yang menarik. Aku harus menemukan cara untuk menyelinap ke kafe secara rahasia."
Dira menyenggol pinggang Candra, menahan gelak. "Sekarang kau terlihat seperti seorang pebisnis yang siap memberikan diskon," kata Dira, matanya berkilau nakal.
Candra menggigit bibir, tidak bisa menahan senyum. "Semoga aku tidak perlu menurunkan harga. Kueku kokoh, bukan barang diskon.”
Rizal tertawa, mengangguk setuju. “Mungkin bentuknya membujuk, tapi rasanya pasti luar biasa.”
Candra merasa pipinya memanas. “Aku akan buktikan itu. Tapi sekarang, aku punya lebih banyak pekerjaan di kafe.”
“Tidak ada yang lebih baik dari makan kue dan minum kopi di tempat yang kau bikin sendiri,” Rizal menjawab dengan nada serius, tetapi senyumnya tidak hilang.
Dira melirik ke arah Candra, lalu menyikutnya lagi sambil berbisik “Kau seharusnya mengambil peluang ini, Candra. Lihat betapa antusiasnya dia.”
Candra kebali meyikut Dira "hush diamlah dir"
Rizal menatap Candra dengan lekat seolah mencoba menggali isi hati perempuan itu. “Candra,” Rizal memulai, suara lembutnya memecah keheningan malam. “Aku ingin mengajak mu jalan jalan akhir pekan ini, apa kau ada waktu"
Candra tertegun sejenak, otaknya berputar memikirkan semua kemungkinan. Tiba tiba saja Dira menjawab pertanyaan Rizal.
“Candra tentu saja ada waktu, kan?” Dira bersikeras, menyeringai penuh semangat. Sedangkan Candra yang masih memikirkan semuanya Candra menatap Dira, rasa panik mengalir di dalam dirinya. “Tunggu dulu, Dira. Bukan kah cafe di akhir pekan selalu ramai bagaimana denganmu"
Dira mengangkat bahu, tetap ceria. “Tenang, aku bisa mengurus semuanya. Lagi pula Nia akan datang membantu.”
Candra mengalihkan pandangan ke Rizal, menilai ekspresi di wajahnya, lalu menarik napas dalam-dalam.
“Baiklah, kalau Dira berani mengambil tanggung jawab, mungkin aku bisa memberikan kesempatan ini,” Candra berkata, suara penuh harap meski hatinya berdebar.
Rizal tersenyum lebar, melepaskan kekhawatiran yang sempat menghimpit hatinya. “Bagus. Aku akan merencanakan sesuatu yang menyenangkan,” ujarnya dengan nada bersemangat, menatap Candra seakan sudah merancang seluruh hari mereka di benaknya.
"Kalian mau aku antar" Rizal menawarkan Candra menggeleng pelan.
“Sepertinya tidak perlu lagi pula kami membawa mobil,” jawab Candra Rizal mengangkat bahu, meski kekecewaan samar nampak di wajahnya. "Tapi jika kamu membutuhkan bantuan, jangan ragu untuk memanggilku."
"Baiklah Rizal terima kasih" Rizal mengangguk, meraih pintu mobil dan memberikannya dorongan lembut "Kalu begitu hati hati sampai jumpa akhir pekan Candra" Candra melambaikan tangan, senyumnya terukir di wajahnya saat Rizal menjauh.
Dira mendengus bahagia. "Kau lihat? Semuanya terlihat sangat jelas" Candra menutup pintu mobil, membiarkan senyumnya meredup sedikit saat Dira berbisik.
“Dia jelas menyukaimu, Candra. Berani melangkah ke depan, ya? Jangan biarkan masa lalu membayangi,” Dira menambahkan, wajahnya bersinar penuh semangat.
Candra mengangguk, tetapi hatinya bergetar. "Baiklah aku akan mencobanya" mereka mulai melajukan mobilnya meninggalkan area Cafe menuju sebuah Apartemen yang mereka tinggali berdua.
Lampu jalan berkelap-kelip di pinggir jalan, menerangi perjalanan mereka yang tenang. Dira mengalahkan keheningan dengan gelak tawa. “Sebentar lagi akan ada banyak cerita seru seiring menjalin hubungan baru.”
Candra tersenyum sambil mengemudikan mobil. “Aku harap begitu. Kita semua butuh kebahagiaan baru.”Dira menatap ke luar jendela, wajahnya menggambarkan kerinduan. "Mengapa tidak? Kita sudah melewati banyak hal. Sekarang saatnya untuk mencipt akan kenangan baru."
Candra mengangguk, matanya terfokus pada jalan. “Kau benar. Sekarang saatnya melepaskan semua yang mengikat.”
Dira menatap Candra dengan semangat. "Benar! Dan jika kau masih terbebani oleh ingatan itu, kita bisa berusaha membuat kenangan baru yang lebih baik. Kita bisa jalan-jalan, eksplor tempat-tempat baru."
Candra tersenyum, merasakan semangat Dira menular. “Sepertinya kita harus merencanakan liburan,” Candra menyatakan sambil memikirkan tempat yang mungkin bisa mereka kunjungi.
Dira mengangguk antusias. "Kita bisa pergi ke Bali atau Yogyakarta. Suasana baru bisa jadi penyegar pikiranmu," Dira berujar, wajahnya bersinar penuh harapan.
Candra mengangguk, membayangkan pantai yang cerah dan riak ombak di Bali. "Ya, suara ombak, matahari terbenam, pasti bisa merefresh pikiran aku," Candra menjawab, membayangkan pasir hangat di bawah kakinya.
"Dan kita bisa menikmati kuliner enak di sana!" Dira menambahkan, matanya berkilau dengan semangat.
"Baiklah kita akan merencanakannya nanti" Candra kembali fokus megemudikan mobilnya.
Sedangkan Rizal yang sedang melajukan mobil tak dapat berhenti tersenyum karna ajakannya di setuju.
Dia mengedarkan pandangannya ke luar jendela, melewati cahaya lampu jalan yang membias di kaca. Suara mesin mobil berirama seirama dengan pikirannya yang bising. Wajah Candra muncul dalam benaknya, senyumnya, tawanya—semua momennya yang hangat.
“Aku akan mengutarakan isi hatiku saat kita bertemu akhir pekan ini," bisiknya pelan, seolah Candra bisa mendengar pikirannya.
Dia melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, memastikan setiap lampu merah dan jalan yang dilalui berada dalam batas kecepatan. Mungkin, pikirnya, ini adalah kesempatan yang tidak akan terulang.
Selagi lampu lalu lintas berwarna hijau, Rizal terus mengemudikan mobilnya, matanya menatap jalan di depan dengan penuh tekad.
Candra dan Dira melaju di jalanan kota, suara mesin dan musik di radio menjadi latar belakang percakapan mereka.
"Kalau kita ke Bali, kamu mau melakukan apa?" Dira menanyai sambil bersandar ke jok, wajahnya bersemangat.
Candra mengingat kembali impian kecil yang pernah ia simpan. “Aku ingin mencoba surfing. Selama ini, aku hanya bisa melihat orang lain, dan rasanya pasti menyenangkan merasakan ombak yang menyeret tubuh ke pantai.”
Dira berdecak kagum. “Serius? Kita harus mencobanya saat kesana" Candra mengangguk, bersemangat dengan ide itu. “Ya, kita harus sewa papan selancar. Aku ingin merasakan adrenalin saat ombak menghantamku.”
“Deal! Kita bisa berlatih sekaligus bersenang-senang. Dan jika kita jatuh, kita bisa tertawa bersama,” Dira menjawab, matanya berbinar penuh keceriaan.
Candra tersenyum, membayangkan saat-saat lucu yang akan mereka lalui. Di tengah tawa dan percakapan penuh harapan, perasaannya terhadap Rizal tetap menghantui, seperti goresan yang tak terhapus.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...