Kanesa Alfira, yang baru saja mengambil keputusan berani untuk mengundurkan diri dari Tano Group setelah enam tahun dedikasi dan kerja keras, merencanakan liburan sebagai penutup perjalanan kariernya. Dia memilih pulau Komodo sebagai destinasi selama dua minggu untuk mereguk kebebasan dan ketenangan. Namun, nasib seolah bermain-main dengannya ketika liburan tersebut justru mempertemukannya dengan mantan suami dan mantan bosnya, Refaldi Tano. Kejadian tak terduga mulai mewarnai masa liburannya, termasuk kabar mengejutkan tentang kehamilan yang mulai berkembang di rahimnya. Situasi semakin rumit dan kacau ketika Kanesa menyadari kenyataan pahit bahwa dia ternyata belum pernah bercerai secara resmi dengan Refaldi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jojo ans, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21
Aku membaringkan Mas Adi di tempat tidur yang entah sejak kapan dibuatnya, ada sebuah ruangan seperti ruang rahasia tepat ada di balik rak kayu coklat di belakang meja kerjanya.
Ruangannya cukup luas bahkan tempat tidurnya juga.
Setelah menciumku, laki-laki itu malah lemas hampir pingsan. Bukan karena ciuman kami tapi karena luka ditangannya.
"Mas."
Tanganku terangkat untuk
membersihkan luka mengerikan di tangan Mas Adi. "Ayo kita ke rumah sakit, kamu bisa pingsan kalau gini ceritanya."
"Nggak, aku nggak mau," tolak Mas Adi sembari menahan sakit.
"Tapi..."
"Aku bilang nggak Fir."
Setelah memaksa tapi ditolak, Aku memutuskan untuk mengambil kotak P3K yang entah kenapa ada di kamar
ini juga.
Selesai memberi perban di tangan Mas Adi, ku putuskan untuk ke kamar mandi dan membersihkan tanganku serta mencuci muka. Aku menatap diriku di cermin. Astaga wajahku penuh darah yang sudah mengering begitupun dress yang kugunakan.
Aku sangat berantakan.
Aku butuh baju bersih, untungnya di ruang ini ada lemari baju yang berisi beberapa kemeja dan jas Mas Adi yang bisa kugunakan untuk untuk menutupi kekacauan ini.
Kami sampai di rumah pukul 8 malam. "Kenapa tangan kamu Di?" tanya
Mami yang memang sedang duduk menonton sinetron kesayangannya. "Biasalah bukti perjuangan lelaki mempertahankan wanitanya," ujar Mas Adi dengan pedenya.
Sementara ku lihat Mami hanya
memutar bola matanya mendengar
ucapan Mas Adi yang begitu hiperbola. "Halah, ngomong aja kalau berantem. Emang sama siapa suami kamu aduh jotos Nes?"
Kali ini Mami bertanya padaku, aku
diam karena sama sekali tidak tahu
harus menjawab apa. "Gibran Mi."
Mas Adi menjawab. "Gibran? Manager yang baru diangkat dua bulan lalu itu?" tanya Mami.
Mas Adi mengangguk. "Emang ngapain dia? Bukannya udah
punya istri?" tanya Mami penuh
selidik.
"Panjang ceritanya Mi. Esok deh Adi jelasin," ucap Mas Adi. Setelahnya Mas Adi malah menarikku ke dapur.
"Bumil harus makan," sahutnya.
Sebenarnya aku malas sekali makan malam, tapi mengingat sekarang aku lagi hamil. Akhirnya kuputuskan untuk
makan dan sesekali menyuapi Mas Adi. Suamiku itu sudah terlihat layaknya bayi besar, dasar sok jagoan. Bukannya orang eh malah cermin jadi
ninju sasarannya. "Hari Minggu kita ke Bandung ya, Mas
mau menghadap Mama sama Papa." Aku menoleh ketika Mas Adi selesai
bicara.
Terserah kamu Mas, aku mah ngikutin aja."
"Ya udah, makanannya dihabisin
ya," ucap Mas Adi sembari sesekali
mengusap sudut bibirku..
Pipiku memanas. Mas Adi kok jadi romantis gini? Untungnya dia tidak
menyadari wajahku.
Hari Minggu, Mas Adi dan mertuaku menemaniku pulang ke Bandung
untuk menemui Mama dan Papa. Ya, sekalian silahturami dengan besan kata Mami Deasye.
"Pelan-pelan aja Franki, nyang penting
sampai," peringat Papi pada salah satu supir pribadi keluarga Tano.
"Baik Pak," jawah laki-laki itu dengan
tegas.
"Mas Franki, kalau sampai pertamina
berhenti sebentar ya, saya mau
muntah."
Mas Adi menatapku dengan wajah
panik. Sebenarnya aku lebih takut kalau dia ngamuk karena aku menyebut nama supir keluarga dengan
sebutan 'Mas'. Tapi sepertinya dia tidak
menyadarinya. "Fir, kamu nggak apa-apa? Kamu sakit?
Kita tunda aja ke rumah Mama, kita ke
rumah sakit dulu."
Aku mau tertawa mendengar ucapan
Mas Adi tapi perutku semakin
bergejolak.
"Namanya hamil muda, ya mual-mual Di. Gitu aja kok nggak tahu sih," sahut
Mami dengan nada kesal. Ya, tingkah Mas Adi cukup berlebihan.
"Aku takut kamu dan anak kita kenapa-napa Fir," ujar Mas Adi masih dengan nada panik.
"Dasar bucin," ejek Papi.
"Nggak apa-apalah sama istri sendiri. kok," balas Mas Adi dengan santai.
Sudah lama rasanya aku tidak melihat perdebatan para lelaki ini.
Beberapa menit setelahnya aku yang sedang menutup mata merasakan
bahwa mobil berhenti.
"Pak Adi kita udah di depan Pertamina. nih, gimana Ibu Nyonya masih jadi mo ke Toilet?"
Aku dengar suara Mas Frangki.
"Fir," seru Mas Adi sembari menepuk pipiku pelan.
"Aku nggak bisa jalan Mas," ucapku dengan nada manja, sejujurnya semua itu bohong. Aku hanya malas berjalan
aja.
Dan benar saja sesuai dugaanku, Mas
Adi langsung menggendongku ke luar
dari mobil.
"Anak kita benaran udah jadi bucin Pi."
Aku masih sempat mendengar suara
Mami yang menertawakan tingkah bucin Mas Adi.
Mas Adi merentangkan otot-ototnya
yang tidak nyaman, tidur di mobil
memang bukan pilihan bagus.
Sementara Kanesa di sampingnya
masih tidur pulas bahkan
mendengkur.
Istrinya terlihat menggemaskan saat tidur dengan mulut yang sedikit
terbuka.
"Bangun sayang, udah nyampe."
Kanesa yang dasarnya bertubuh
mungil jadi boleh meringkup di atas kursi mobil. Beda dengan Adi yang
bertubuh menjulang.
"Hmm, Iya Mas, balas Kanesa masih dengan suara mengantuknya.
Setelah memarkirkan mobil di depan
pekarangan rumah, mereka sudah disambut dengan orang tua Kanesa yang bahkan sudah berdiri di depan
pintu rumah dengan senyuman manis.
"Besan!" teriak Mami heboh dan langsung menghampiri Mama Kanesadan saling berpelukan di depan
sana.
Sementara Papi dan Papa Kanesa hanya saling berjahat tangan dan
melempar senyum, tidak seheboh para
wanita.
"Ayuk masuk Des, aku udah masak
banyak nih," ucap Mama Kanesa sembari menggiring kami masuk ke dalam rumah.
"Iya aku juga udah sengaja lapar dari tadi, balas Mami dan mereka semua
hanya mampu melongo.
Emang ya kalau sudah seperti saudara, kadang rasa malu itu sudah tidak diperlukan lagi.