Di tengah reruntuhan planet Zefia, Arez terbangun dari tidur panjangnya—sebuah dunia yang hancur akibat bencana besar yang dikenal sebagai Bang. Setiap seratus tahun, planet ini mengalami Reset, sebuah siklus mengerikan yang membawa kehancuran, memunculkan monster, dan membangkitkan kejahatan dari masa lalu. Dunia di mana perdamaian tak pernah bertahan lama, di mana peradaban selalu bangkit hanya untuk jatuh kembali.
Arez, seorang pahlawan yang terlupakan, bangkit tanpa ingatan tentang masa lalunya. Digerakkan oleh naluri untuk melindungi Zefia, ia harus bergabung dengan para Refor, pejuang pilihan yang memegang kekuatan elemen untuk menjaga keseimbangan dunia. Namun, Arez tidak menyadari bahwa ia adalah kunci dari siklus kehancuran yang terus berulang. Monster dan musuh dari masa lalu mengenali jati dirinya, tetapi Arez terjebak dalam kebingungan, tak memahami siapa dirinya sebenarnya.
Apakah di@ adalah penyelamat dunia, atau justru sumber kehancurannya? Apakah Arez akan berhasil?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daffa Rifky Virziano, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arc Penyelamatan : Part 8 Pengikut
Arez, Erlana, dan Hanzen melanjutkan pendakian mereka di Gunung Valtorin setelah mengalahkan gerombolan monster. Jalur menuju puncak semakin curam dan berbahaya, tetapi tekad mereka untuk mencapai tujuan tidak pernah pudar. Matahari mulai condong ke barat, menciptakan bayangan panjang di medan berbatu.
Mereka berhenti sejenak di sebuah celah di tebing gunung, mencari perlindungan dari angin dingin yang mulai bertiup kencang. Arez memeriksa peta dan menilai jalur yang tersisa, sementara Erlana dan Hanzen beristirahat dan memulihkan tenaga.
Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar mendekat dari sisi lain celah. Arez, yang merasakan bahaya, segera berdiri dan menarik pedangnya, bersiap menghadapi kemungkinan ancaman.
Dari balik kabut dan bebatuan, muncul sekelompok orang yang tidak asing lagi bagi Arez. Mereka adalah para pengikut Nero yang sebelumnya ia hadapi di Desa. Salah satu di antara mereka, seorang pria bertubuh kekar dengan tatapan dingin, melangkah maju dengan penuh percaya diri.
Arez dengan nada tajam. "Ternyata kau"
Tersenyum sinis. "Arez, kami sudah menunggu kedatanganmu. Tapi, sepertinya ini adalah tempat terakhir kalian bernafas."
Erlana mengangkat busurnya dan bersiap, sementara Hanzen memegang tombaknya dengan ketegangan. "kalian"
salah satu pria yang menggunakan elemen Api mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada 2 orang lain nya untuk maju si Elemen tanah dan Air . "Kami di sini untuk memastikan kalian kalah. Arez Kami punya rencana besar."
Arez memandang dengan penuh kebencian. "Jangan harap aku akan mundur. Apa pun rencanamu, kami tidak akan berhenti sampai kami mencapai puncak gunung ini dan menyelamatkan Cybele."
Pria itu tertawa ringan. "Oh, bagaimana kalau kita lihat seberapa jauh semangatmu bisa membawamu? Kalian harus menghadapi kami terlebih dahulu. Kami adalah pengikut Tuan Nero sang Archié. Aku Sanchi sang Api, lalu Wei sang Tanah dan Qi sang Air. Dan kami tidak akan segan-segan untuk membunuh kalian."
Pertarungan pun dimulai. Sanchi dan yang lainnya dengan cepat menyerang, mengeluarkan berbagai kemampuan yang berbahaya. Sanchi sendiri memiliki kekuatan yang mengesankan, memanipulasi api dan menggunakannya untuk menyerang secara agresif.
Erlana segera membalas dengan panah api, berusaha menetralkan serangan Sanchi. Namun, Qi memblok Erlana dan menyerangnya. Hanzen dengan tombaknya yang terbungkus angin kembali melawan Wei yang mencoba mendekat. "Akhirnya kita bertarung lagi, bocah!" teriak Wei.
Arez berfokus pada Sanchi, menggunakan pedangnya yang bercahaya untuk memblokir dan menyerang balik. Sanchi mengarahkan serangan api yang kuat menuju Arez, membuatnya harus bergerak cepat untuk menghindari. Dalam pertempuran sengit, Arez berusaha memanfaatkan elemen cahaya untuk menciptakan pertahanan dan serangan yang mematikan.
"Ini sudah cukup! Aku tidak akan mundur!" teriak Arez, melancarkan serangan akhir dengan jurus 'Twilight Slash' yang memadukan cahaya dan kegelapan. Serangan ini meluncur ke arah Sanchi, namun Sanchi mengeluarkan kekuatan yang bernama "Fire Galaxyo" yang membuat jurus Arez terhisap ke dalamnya.
Sanchi masih berdiri dengan teguh. "Ini hanya permulaan. Mari kita mulai." Sanchi tersenyum sinis, mengangkat senjatanya yang merupakan palu besar.
Arez mengangkat pedangnya, merasakan kekuatan api yang mengelilingi palu Sanchi. Sanchi tersenyum sinis dan memukul palunya ke tanah, menciptakan gelombang panas yang meluncur ke arah Arez. Dengan kecepatan tinggi, Arez melompat ke udara menghindari serangan berbahaya dari Sanchi.
Kemudian Arez kembali mengarahkan pedangnya ke Sanchi, melancarkan serangan cahaya yang kuat ke arahnya. Namun, serangannya ditahan oleh palu milik Sanchi.
Ctang Fuzhh (suara pantulan senjata)
Menciptakan percikan dan membuat Arez terpental. Arez kembali bangkit dan mengeluarkan Twilight Slash, namun Sanchi menggunakan Fire Galaxyo untuk menyerap kekuatan itu. Arez merasa frustrasi dan memikirkan cara untuk menjebol pertahanan dari jurus itu.
Arez kemudian memusatkan elemen cahaya yang bersinar terang ke pedangnya dan melancarkan serangan cahaya yang kuat ke arah Fire Galaxyo. "Light Stab!!" teriak Arez. Cahaya pedangnya bertabrakan dengan api yang melahap energi, menciptakan ledakan yang menyebar dan menutupi area sekitar mereka dengan cahaya yang menyilaukan.
Akibat bentrokan dan ledakan itu, tangan kanan Sanchi mengalami luka parah yang membuat tangannya putus. Dengan menggunakan palunya, dia memukul tanah lagi, menciptakan retakan yang memancarkan aliran api ke segala arah. Setiap retakan melepaskan gelombang api yang mengejar Arez.
"AREZ AKU PASTIKAN AKAN MEMBAWAMU KEMBALI KE KEMATIAN YANG SESUNGGUHNYA!!" teriak Sanchi dengan marah.
Sanchi bergerak dengan cepat mengarah ke Arez, memanfaatkan palunya untuk menyerang dengan kekuatan besar. Setiap ayunan palunya diiringi oleh ledakan api yang memancar ke sekelilingnya, menciptakan medan tempur yang penuh dengan bahaya.
Arez melawan serangan palu dengan pedangnya, berusaha menghindari dan membalas serangan Sanchi. Dalam pertempuran ini, meski hanya menggunakan satu tangan, Sanchi menunjukkan kemampuannya dalam mengontrol api dengan keterampilan luar biasa, memaksa Arez untuk menggunakan seluruh kekuatan dan keterampilannya.
Ketika Sanchi melancarkan jurus Inferno Burst, sebuah ledakan api yang memancar dari palunya, Arez mengaktifkan serangan khususnya, Twilight Slash. Serangan ini memadukan cahaya dan kegelapan, menciptakan gelombang energi yang menyebar dan menghindari serangan api yang datang. Pedang Arez bersinar terang, memotong melalui gelombang api dan menabrak Sanchi.
Sanchi terhuyung oleh serangan tersebut, tetapi dengan cepat bangkit dan mengaktifkan kembali Fire Galaxyo, menghisap kembali kekuatan dan energi dari sekelilingnya untuk memperkuat serangannya. Api di sekelilingnya semakin besar dan lebih ganas, menantang Arez untuk menghadapi serangan yang semakin mematikan.
Arez melancarkan Solar Flare, sebuah serangan yang menggabungkan cahaya di sekitarnya dengan memusatkan energi ke pedangnya, menciptakan ledakan cahaya yang menghancurkan api Sanchi dan mengenai Sanchi dengan kekuatan yang mengesankan.
Sanchi tertegun oleh serangan tersebut, api di sekelilingnya mulai mereda. Dengan kelelahan dan rasa sakit, Sanchi menatap Arez dengan mata yang penuh kebencian. “Kau... tidak akan... menang... melawannya.”
Sanchi terjatuh ke tanah, palunya terlepas dari tangannya. Arez pun memenangkan pertarungannya.
Beralih ke pertarungan Erlana dan Qi
Pertarungan antara Erlana dan Qi berlangsung dengan intensitas yang mengesankan. Qi, yang menguasai elemen Air, adalah ahli dalam pertarungan jarak dekat dan sangat mahir menggunakan tangannya dalam setiap serangan. Erlana, meski memiliki kemampuan yang luar biasa dalam elemen Api dan memanah, harus berjuang keras melawan musuh yang menjadi kelemahannya.
Erlana berdiri di tepi celah, mengamati Qi dengan cermat. Qi, yang memiliki tubuh atletis dan gerakan gesit, siap melawan. Dengan tatapan tajam, Qi mengangkat tangannya, dan seberkas air dari udara berputar di sekelilingnya, membentuk pusaran yang siap untuk menyerang. Erlana menyiapkan busurnya, menembakkan panah api yang menyala menuju Qi. Namun, Qi dengan mudah menangkis serangan tersebut dengan gelombang air yang kuat, membelah panah api menjadi beberapa bagian yang tidak berbahaya.
“Jangan kira seranganmu akan mudah mengalahkanku!” teriak Qi, suaranya penuh tantangan. Ia meluncurkan serangan balik dengan tangan kosongnya, menciptakan semburan air yang sangat deras. Gelombang air itu bergerak seperti panah berputar, menargetkan Erlana dengan kecepatan tinggi.
Erlana cepat-cepat melompat untuk menghindari gelombang air, namun Qi tidak berhenti. Dia melancarkan serangan kedua, kali ini menggunakan teknik yang lebih canggih, yaitu “Water Fist.” Qi mengepalkan tangannya dan mengarahkan pukulannya ke udara. Gelombang air yang membentuk tinju besar menargetkan Erlana. Erlana, yang memiliki waktu reaksi yang sangat cepat, melancarkan panah api dengan kekuatan penuh. Panah tersebut menghantam tinju air, menciptakan ledakan uap yang menutupi area tempur dengan kabut tebal.
Di balik kabut, Qi memanfaatkan kesempatannya untuk menyerang lebih dekat. Erlana yang terhalang pandangannya mencoba untuk mempertahankan posisinya, tetapi Qi muncul dari kabut dengan kecepatan tinggi, menyerang dengan pukulan dan tendangan yang akurat. Setiap gerakan Qi seperti arus air yang tidak terhentikan, dan Erlana kesulitan untuk membalas dengan busurnya.
Dalam keadaan terdesak, Erlana mengubah strateginya. Dia mulai menggunakan elemen api dengan cara yang berbeda, menciptakan “Fire Shield” yang melindunginya dari serangan Qi. Namun, Qi tidak mudah menyerah. Dia menggunakan teknik “Aqua Flow” untuk mengubah arah air yang mengalir di sekitar Erlana, mencoba mengganggu konsentrasi dan keseimbangan Erlana.
Ketika Qi menyadari bahwa serangan langsungnya tidak efektif, dia memutuskan untuk menggunakan teknik “Water Whip.” Ia mengeluarkan whips air dari tangannya yang menyerang secara fleksibel dan cepat, memaksa Erlana untuk terus-menerus bergerak untuk menghindari serangan yang mematikan itu. Setiap serangan whip yang mengenai perlindungannya membuat Erlana sedikit terlempar, tetapi dia tetap bertahan, menunjukkan keberanian dan keteguhan yang mengesankan.
Erlana memanfaatkan momen ketika Qi sedikit lengah dan melancarkan teknik “Inferno Burst,” yang membuat langit di atas mereka menyala dengan api yang menyala-nyala. Qi, merasakan bahaya, dengan cepat membuat perisai air di sekelilingnya untuk menahan serangan tersebut. Api dan air bertabrakan, menciptakan hutan kabut dan uap yang membuat medan tempur semakin sulit untuk dilihat.
Dalam kekacauan itu, Erlana melihat kesempatan untuk menyerang dengan serangan yang lebih terfokus. Dengan mengambil napas dalam-dalam, dia mengumpulkan kekuatan elemen apinya dan menggunakan teknik “Phoenix Arrow.” Panah besar yang menyala terbang menuju Qi, mengabaikan perisai air yang sedang dibuatnya. Qi berusaha menangkisnya dengan teknik “Water Wall,” tetapi intensitas dan kekuatan dari Phoenix Arrow terlalu besar.
Ledakan api membuat Qi terhuyung, dan dia merasakan panas yang membakar. Erlana, tidak membuang waktu, meluncurkan panah api terakhirnya dengan kekuatan penuh. Kali ini, serangan itu mengenai Qi secara langsung, membuatnya terjatuh ke tanah dengan kesakitan.
Qi berusaha bangkit, tetapi terlambat. Kelelahan dan luka-luka dari serangan Erlana membuatnya tidak mampu melanjutkan pertarungan. Erlana, walaupun kelelahan, berdiri di atas kakinya dan memandang Qi dengan tegas. "Kau telah kalah. Kekuatan elemenmu mungkin kelemahanku, tapi dengan tekad dan kecerdikanku."
Pertarungan terakhir Hanzen melawan Wei
Pertarungan antara Hanzen dan Wei adalah duel yang penuh dengan emosi dan intensitas. Wei, seorang swordman yang menguasai elemen tanah, terkejut dan marah melihat rekannya, Sanchi dan Qi, kalah dan tewas dengan cepat. Kemarahannya membuatnya semakin ganas dan penuh dendam namun dibalik kemarahannya itu ia mengejek rekan rekannya "Mereka semua hanya pembual besar dan kalah dengan cepat Hahaha" ia tertawa dengan lepas.
Wei berdiri di tepi medan tempur, tatapannya penuh kebencian. Hanzen, yang sebelumnya pernah melawannya, kini menghadapi Wei yang lebih berbahaya. Wei, dengan pedang yang terbuat dari logam hitam, bersiap untuk menghadapi Hanzen dengan penuh semangat.
Wei berteriak dengan nada mengejek. “Kau pikir kau bisa menang melawan seorang seperti aku menggunakan Tombak? Hmph, jangan bercanda!”
Hanzen, yang memegang tombaknya yang terbungkus dengan sihir angin, mengarahkan tatapannya pada Wei. “Aku tidak akan membiarkanmu meremehkan ku. Kami sudah cukup berjuang dan tidak akan mundur. Toh yang terakhir lari dari diriku itu kau”
Wei, dengan ekspresi sinis di wajahnya, melangkah maju dengan penuh percaya diri. Dia mengayunkan pedangnya dengan gaya yang angkuh, menggunakan kekuatan elemen tanah untuk meningkatkan serangannya. “Lihatlah betapa lemah dan konyolnya dirimu. Kalian hanya sekumpulan bocah yang tidak tahu apa-apa tentang kekuatan sejati!”.
Wei memulai serangannya dengan cepat, mengayunkan pedangnya dengan kuat dan menciptakan gelombang tanah yang bergerak menuju Hanzen. Hanzen, yang sigap, melompat ke samping untuk menghindari gelombang tanah tersebut. Wei tidak memberikan kesempatan, segera melanjutkan dengan serangan berikutnya, kali ini menggunakan teknik “Earth Crush” yang menciptakan retakan besar di tanah, yang kemudian memuntahkan batu dan puing-puing ke arah Hanzen.
Hanzen menggunakan tombaknya dengan keahlian luar biasa untuk memblokir serangan dan melawan balasan. “Kau kira aku takut pada seranganmu? Aku akan melawan sampai akhir!”
Wei tertawa sinis. “Kau dan teman-temanmu hanya bisa bersaing dengan teknik yang basi dan kekuatan yang lemah. Tidak ada yang bisa menghentikanku!”
Wei terus menerus menyerang dengan ganas, memanfaatkan teknik-teknik tanahnya untuk menciptakan jebakan dan serangan yang membabi buta. Hanzen berusaha keras untuk menghindari dan melawan serangan-serangan tersebut, tetapi setiap kali Wei menyerang, dia selalu melontarkan ejekan. “Lihat betapa payahnya kau bergerak! Aku bisa membunuhmu dengan mudah!”
Hanzen dengan gigih membalas serangan Wei, menggunakan kekuatan angin pada tombaknya untuk melawan retakan tanah dan puing-puing yang dilemparkan oleh Wei. Meskipun Hanzen berjuang keras, Wei terus mengolok-oloknya, berusaha membuatnya merasa tidak berdaya. “Apa, sudah menyerah? Kau hanya bisa bertahan sebentar lagi!”
Wei kemudian menggunakan jurus pamungkasnya, “Terra Vortex,” yang menciptakan pusaran tanah besar yang mengelilingi Hanzen, mengancam untuk menenggelamkannya dalam kegelapan tanah yang membara. Hanzen, yang tidak punya banyak pilihan, melancarkan serangan “Wind Piercer” dari tombaknya, mencoba menembus pusaran tanah tersebut.
Serangan angin Hanzen menyengat ke pusat pusaran, menciptakan celah kecil di antara gelombang tanah. Hanzen memanfaatkan momen itu untuk melompat keluar dari pusaran, dan melancarkan serangan balik dengan “Tempest Strike,” teknik yang menggabungkan kekuatan angin untuk menciptakan serangan yang sangat kuat.
Wei, yang terkejut dengan serangan itu, berusaha untuk menangkisnya dengan pedangnya. Namun, kekuatan Tempest Strike membuat pedang Wei terhuyung, dan serangan itu mengenai tubuhnya dengan kuat. Wei mengerang kesakitan, tetapi dengan cepat pulih dan berdiri dengan marah. “Kau berani... Kau akan membayar untuk itu!”
Dengan kemarahan yang membakar, Wei menggunakan kekuatan elemen tanah untuk meningkatkan serangannya. Dia mengayunkan pedangnya dengan penuh tenaga, menciptakan gelombang tanah yang sangat kuat. Hanzen harus berjuang keras untuk menghindari serangan dan terus melawan dengan segenap kekuatan yang dia miliki.
Dalam keadaan terdesak, Hanzen memusatkan semua energi angin yang tersisa dalam tombaknya dan melancarkan teknik terakhirnya, “Cyclone Blast.” Ledakan angin yang sangat kuat menghantam Wei, mengangkatnya dari tanah dan membuatnya terlempar ke belakang. Wei berjuang untuk berdiri, tetapi dengan tubuhnya yang terluka dan kelelahan, dia mulai merasakan dampak dari serangan Hanzen.
Wei, yang tertegun dan terjatuh ke tanah, menatap Hanzen dengan kebencian dan rasa frustrasi. “Kau..sialan Bocah”
Hanzen berdiri di atas kakinya, terengah-engah tetapi penuh tekad. “Kami tidak akan berhenti sampai kami mencapai tujuan kami. Tidak peduli siapa pun lawan kami!”
Dengan kemenangan di tangan mereka, Akhirnya Arez,Hanzen dan Erlana bersiap untuk melanjutkan perjalanan mereka. Pertarungan ini bukan hanya tentang kekuatan, tetapi juga tentang tekad dan semangat yang tidak pernah padam.
Untuk tulisan bagus dan rapi melebih standar tulisan author2 di sini kebnyakan. Pendeskripsian juga sudah bagus namun aku saran lebih menerapkan showing ke konten yg ada di cerita.
Untuk Alur termasuk lambat, World Building ada untuk pengenalan cukup, ada beberapa narasi yg janggal namun untuk tidak terlalu mengganggu keseluruhan bacanya.
Saranku, lebih eksplor setting Post Apocalyptic-nya dlu baik sebelum bertemu Elara ataupun ketika baru bertemu dengannya.
Feelnya menurutku bukan seperti novel Post Apocalyptic kebnyakan dan malah seperti Novel isekai pada umumnya.
Skrng jadi emas /Facepalm/