Joano dan Luna adalah dua remaja yang hidup berdampingan dengan luka dan trauma masa kecil. Mereka berusaha untuk selalu bergandengan tangan menjalani kehidupan dan berjanji untuk selalu bersama. Namun, seiring berjalannya waktu trauma yang mereka coba untuk atasi bersama itu seolah menjadi bumerang tersendiri saat mereka mulai terlibat perasaan satu sama lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourlukey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10
Luna menunduk lesu di depan rumah saat mendengar orang tuanya bertengkar hebat. Semenjak pulang dari Bandung tidak ada lagi kedamaian dalam keluarganya. Tidak peduli siang atau malam, hujan atau panas, orang tuanya selalu bertengkar hingga tanpa sadar keberadaannya mulai terabaikan.
Tak jarang Luna terbangun dari tidurnya di tengah malam karena mendengar suara teriakan, tak jarang pula Luna memilih duduk di teras rumah bersama kucingnya dari pada harus melihat mereka bertengkar. Seperti hari ini dan hari-hari sebelumnya, dan mungkin akan menjadi hari-hari yang akan datang dia duduk di tempat itu sambil meratapi nasib keluarganya. Entahlah.
Gadis itu mengelus puncak kepala kucingnya lalu berkata, “Wuri, kamu harus jadi teman aku, ya. Jangan tinggalin aku. Kamu satu-satunya yang aku punya."
Tepat saat itu mobil melintas di depan rumah Luna, kemudian berhenti dan parkir di rumah sebelah. Tidak lama kemudian wanita paruh baya turun dari mobil, setelahnya disusul oleh anak laki-laki yang keluar dari sana.
Luna tersentak. Itu adalah anak laki-laki yang dia kenal. Orang yang Luna pikirkan bagaimana keadaannya setelah bermain sunda manda bersamanya.
Luna beranjak dari tempat duduknya kemudian menghampiri mereka. “Joano.”
Anak laki-laki itu menoleh, awalnya tampak terkejut tapi pada akhirnya dia mengesampingkan rasa penasarannya dan memilih menyapa Luna dengan semringah. “Luna, kamu tinggal di sini?”
Luna menganggukkan kepala. “Kamu akan tinggal di sini juga?”
“Iya, Joano akan tinggal di sini.” Kali ini Helen yang menjawab. Wanita yang sedari tadi sibuk dengan barang bawaan itu menghampiri mereka setelah membereskan urusannya. “Kamu Luna, ya? Wah, cepat sekali ya pertumbuhan kamu.”
Helen tersenyum tipis saat Luna menatapnya asing.
“Kamu pasti nggak kenal Tante, ya? Itu karena Tante pindah saat kamu masih kecil sekali. Sebelah rumah Luna ini adalah rumah Tante.” Helen menjelaskan. “Sekarang Tante sama Joano mau tinggal di rumah ini. Di dekat rumah Luna.”
“Tante beneran mau tinggal di sini sama Joano?” Luna bertanya memastikan.
“Iya. Benar, Luna.”
“Jadi Luna bisa main sunda manda lagi sama Joano?”
Helen menganggukkan kepalanya, tersenyum lebar.
Obrolan mereka dilanjutkan di dalam rumah Helen. Di ruang makan, Joano bercerita pada Helen bagaimana dia dan Luna bisa bertemu termasuk insiden pemukulan yang dilakukan oleh Tio, Ayah angkatnya.
“Jadi kamu dipukul hanya karena bermain?”
Joano menganggukkan kepalanya. Sementara itu Luna hanya diam di tempatnya karena masih merasa bersalah pada Joano.
Suasana ruang makan lengang. Helen berusaha untuk mengontrol emosinya supaya tidak terbawa suasana dan bisa menenangkan hati, juga pikiran anak-anak itu. Meyakinkan bahwa kejadian itu bukan salah mereka.
“Kalian tidak usah memikirkan kejadian itu lagi, ya. Lupakan saja. Itu bukan salah kalian. Joano tidak salah, Luna juga tidak salah. Mulai sekarang kalian bisa main sepuasnya, bisa berteman selamanya. Tidak usah takut.”
Senyum Joano dan Luna merekah mendengar perkataan Helen. Akhirnya mereka bisa bermain tanpa ada ketakutan yang menghantui, tanpa ada rasa bersalah hanya karena mereka berteman. Tidak ada lagi ancaman pemukulan hanya karena mereka bermain bersama.
...***...
Enam tahun berlalu begitu cepat. Hari ini Joano dan Luna tengah berbahagia menyambut hari kelulusan sekolah dasar. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Tepatnya setelah Luna melihat sebuah keluarga yang tengah asyik berswafoto. Mereka sepasang suami istri dan seorang anak perempuan yang hari ini dinobatkan sebagai lulusan terbaik. Si anak terlihat sangat gembira dan orang tuanya terlihat bangga. Keluarga itu terlihat sempurna di mata Luna.
"Luna, kamu lagi ngapain? Ayo, kita foto bareng.”
Luna menatap Joano beberapa saat, lalu kembali menatap keluarga itu. "Joano, kalau aku juara satu kayak dia, apa orang tuaku juga bisa baikkan dan datang ke acara lulusan sekolah?”
Joano menggenggam tangan Luna. "Iya bakal datang, hari ini mereka nggak datang karena banyak kerjaan. Lihat, aku juga sendiri, kan? Mama nggak datang.”
Luna menatap Joano, tersenyum tipis. Dia tahu kalau sahabatnya itu sedang menghibur dirinya karena sedih melihat keharmonisan keluarga lain.
Luna menghela napas berat, berusaha mengesampingkan kesedihannya. "Lagian sebentar lagi aku masuk SMP, masa aku sedih karena masalah kayak gini. Ya sudah, ayo kita foto.”
Joano mengangguk, kemudian memasang tripod yang sedari tadi dia pegang.
“Joano, Luna.” Suara familier itu terdengar di tengah hiruk pikuk para murid yang sedang merayakan kelulusan. Helen datang dengan membawa dua buket bunga.
“Mama, katanya hari ini ada rapat?” Joano bertanya bingung.
“Rapatnya sudah selesai, sayang. Sekarang Mama datang untuk bertemu kalian berdua.” Helen lalu memberikan buket bunga kepada Joano dan Luna.
Joano sangat gembira melihat kedatangan ibunya, tapi di sisi lain dia merasa bersalah pada Luna karena menggunakan kalimat yang tidak tepat saat menghibur gadis itu.
“Terima kasih banyak, Tante. Luna senang banget Tante bisa datang.” Kata Luna tak kalah bahagia dari Joano.
Helen mengelus puncak kepala gadis itu. “Tante juga senang banget bisa datang ke sini. Ayo kita foto bareng.”
Foto kelulusan itu diambil menggunakan tripod milik Joano. Meski sederhana, namun foto kelulusan itu mempunyai kesan yang mendalam.