Apa jadinya kalo seorang anak ketua Organisasi hitam jatuh cinta dengan seorang Gus?
Karena ada masalah di dalam Organisasi itu jadi ada beberapa pihak yang menentang kepemimpinan Hans ayah dari BAlqis, sehingga penyerangan pun tak terhindarkan lagi...
Balqis yang selamat diperintahkan sang ayah untuk diam dan bersembunyi di sebuah pondok pesantren punya teman baiknya.
vagaimanakah kisah selanjutnya?
Baca terus ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melarikan Diri
1 bulan berlalu.
Bismillahirrahmanni rrahiim.
1) idzâ waqaʻatil-wâqi 'ah
2) laisa liwaqʻatihâ kâ dzibah
3) khâfidlatur râfi'ah
4) idzâ rujjatil-ardlu rajjâ
5) wa bussatil-jibâlu bassâ
6) fa kânat habâ'am mumbatstsâ
7) wa kuntum azwâ jan tsalâtsah
Suara lantang seseorang yang tengah menghapal terdengar lembut. Meskipun belum bisa menghapal semuanya, tapi setidaknya dia sudah berusaha agar mengingatnya dengan baik.
Sejak tadi dia terus mengulang hapalannya. Dia juga mengabaikan suara teman-temannya yang tengah sibuk membahas pelajaran masing-masing.
"Balqis, jangan menghapal terus. Gabunglah bersama kami ,"
Balqis menoleh. Dia juga menutup Al-Qur'annya. Bukan bergabung bersama yang lain, dia menyandarkan dirinya ke tembok dengan nyaman.
"Aku belum ngapalin semuanya. Mana beberapa hari lagi bakalan ada tesan,"
"Santai aja, Qis. Kita disini menyetorkan hapalan sebisanya, semampunya. Kalo kita baru hapal 10 ayat, itu nggak akan jadi masalah."
Balqis mengangguk pelan. Kemudian beranjak mengambil uang. Dia sudah kehabisan peralatan mandi. "Ada yang mau ikut aku ke warung, nggak?"
"Nggak, Qis."
Balqis pun keluar seorang diri. Meskipun sudah satu bulan dia mondok, dia belum mempunyai teman seakrab Melodi dulu. Dia masih sering kali sendirian dan melakukan apa pun sendirian. Awalnya dia memutuskan untuk pulang, namun berpikir beberapa kali dan memilih bertahan. Apalagi sekarang Annisa masih berada di Kairo.
Sudah sebulan ini juga, Balqis menjadi pribadi yang pendiam. Dia tidak banyak tingkah seperti dulu. Bahkan dari segi belajar pun dia lebih giat dan tekun. Entah apa yang membuatnya seperti itu? Karena secara tiba-tiba dia merasa nyaman dengan dirinya yang sekarang.
Sepulang dari warung, Balqis menghitung kembalian yang receh sambil berjalan. Dia juga menghiraukan tatapan santriwan yang berlalu lalalang dan bahkan di antara mereka sering kali ada yang bicara suka padanya.
"Gus, apa akan tidur di sini?"
"Tidak. Saya akan pulang sebentar lagi. "
Langkah Balqis seketika terhenti saat mendengar suara yang tengah mengobrol. Dia pun mendongak karena suara itu seperti tidak asing di telinganya.
Degh!
Matanya langsung membulat sempurna. Jantungnya seakan-akan berhenti berdetak. Dia begitu terkejut saat satu pasang matanya bertemu dengan sepasang mata lain.
Dugh!
"Astaghfirullah!"
"Maaf, ukhti!"
Bukan hanya terkejut melihat orang itu, Balqis juga terkejut saat bahunya tersenggol kursi yang tengah dipindahkan santriwan.
"Astaghfirullah!"
Balqis segera memungut uang recehnya yang berjatuhan. Bahkan belanjaannya yang berisi peralatan mandi ikut berceceran.
"Ini,"
Balqis lagi-lagi dibuat terkejut saat sebuah tangan membatunya. Dia tahu tangan siapa itu? Karena sudah sering melihatnya dengan jelas.
"Sedang apa kamu di sini?"
Balqis pun terpaku beberapa menit melihat kearah Alditra terkejut.
"Balqis... Sedang apa kamu disini?" tanya nya sekali lagi sedikit menekankan nadanya.
"S-saya mondok di sini,"
"Kenapa harus di sini, Balqis?"
Balqis masih terdiam menatapnya. Pertanyaan itu begitu unik di telinganya.
"Ck... Om, terserah gue lah mau mondok di mana pun, kok Om kepo sih?!" jawabnya mulai nyolot dan tidak terima.
"Cih... Asal kamu tau ya... Kalau Melodi sering kali menanyakan kapan kamu akan kembali,"
Balqis terdiam mendengarnya. Tanpa sadar dia juga masih menatap Alditra yang kini sudah selesai mengemasi barang-barangnya dan semua uangnya.
"M-Melodi!"
"Kenapa kamu harus pindah? Dan kenapa harus pesantren ini yang kamu pilih?"
"G-gue ---- "
"Apa kamu tidak betah di sana?"
"Bukan kayak gitu, Om!?"
"Terus?"
Balqis memilih diam. Dia menghela nafasnya berulang kali. Dia kebingungan harus menjawab apa pada Alditra karena tidak mungkin berkata jujur.
"Saya juga nunggu kamu."
"Hah?!"
Balqis tertegun mendengarnya. Dia menatap punggung Alditra yang kini berjalan menjauhinya. Terlihat wajahnya kecewa karena dia memutuskan pindah pesantren.
"Om Gus, tunggu!"
Alditra berhenti. Dia tidak menoleh atau membalikkan badannya. Bukan hanya kecewa pada Balqis yang memilih pindah, tapi dia juga membuat teman-temannya menunggu.
"Om, Tolong bilang sama Melodi, kalo gue nggak bakalan balik lagi,"
"Bilang saja sendiri." Alditra membalikkan badannya. "Seharusnya kalau kamu mau pindah kabari dulu, Balqis. Karena setidaknya Melodi dan saya tidak menunggu kamu,"
"Ke-kenapa Om Gus harus ikut nunggu juga? Gue bukan siapa-siapa,"
"Memang bukan. Tapi... Hah... Udahlah lupakan."
Alditra kembali membalikkan badannya. Dia pergi menjauh darinya. Dia sendiri masih bingung kenapa bisa berkata seperti itu pada Balqis, dan untung saja tidak ada yang memperhatikan obrolan mereka.
Balqis terdiam. Dia masih mematung di tempat. Pikirannya tiba-tiba kacau, hatinya merasa menyesal. Mungkin Melodi akan kecewa padanya saat tahu dia pindah mondok tanpa memberitahunya.
*****
"Assalamu'alaikum?"
"Wa'alaikumussalam
Balqis yang tengah bersembunyi di balik tembok berbalik. Keringatnya ikut bercucuran karena takut ketahuan tengah memperhatikan Alditra.
"Sedang apa anti di sini?"
"Hah? Eu... Lagi nyari capung. Iya, nyari capung sebelum masuk ke kelas," Balqis berpura-pura mencari.
"Hahaha... Anti ada-ada saja,"
Balqis pun hanya menampilkan cengirannya.
"Gus mau masuk ke dalam? Silahkan duluan,"
"Anti masuk duluan. Saya tidak akan masuk bila murid saya masih di luar keluyuran,"
"Oh, oke!"
Balqis berjalan lebih dulu. Matanya juga melirik diam-diam ke rumah Kiyai melihat Alditra yang tidak kunjung keluar.
"Lihatin siapa?"
"Hah... Nggak." Balqis pun berlari kecil. Dia tidak ingin Gus yang tengah berjalan di belakangnya mengikuti.
"Ada-ada saja." Haziq tertawa kecil. Dia merasa gemas pada tingkah Balqis yang sudah menjadi santri didikannya satu bulan ini. Meskipun dia belajar dari nol, tapi semangatnya sangat luar biasa.
Haziq adalah adik bungsu dari Annisa. Dia juga tengah menempuh pendidikan semester 2. Terbilang pendiam, namun ramah. Dia juga memiliki lesung pipi di bagian kirinya.
Selama mengaji dilakukan, Balqis berulang kali menoleh ke luar secara diam-diam. Dia ingin memastikan Alditra sudah pulang atau belum. Karena setidaknya dia bisa melihat dia dari kejauhan.
"Balqis, apa luar lebih menarik dari depan?"
Balqis terperanjat kaget. Kemudian memperhatikan ke depan di mana Haziq tengah menjelaskan.
Brum!
Balqis kembali menoleh saat mendengar suara mobil. Kini dia melihat Alditra yang tengah berjabat tangan seperti pamitan.
Hah.. Dia pulang.
Balqis masih menatap nanar mobil yang membawa Alditra pergi. Perasaannya sangat sedih karena dulu dia begitu kenal dengannya, tapi sekarang mereka seperti dua orang yang berbeda.
"Balqis!"
"Iya,"
Balqis memperhatikan ke depan. Matanya memang menatap papan tulis, namun pikirannya berkecamuk memikirkan saat-saat bersama Alditra dulu.
Bahkan dia masih ingat pertama kali dia melihat senyuman laki-laki itu, kemudian senyuman kedua. Dan yang belum dilihat adalah tawanya.
"Alhamdulillah pelajaran hari ini selesai. Jangan lupa kalian kerjakan tugas di kobong dan besok dikumpulkan."
Saking asiknya melamun Balqis sampai tidak sadar bila mengaji sudah selesai. Dia terlalu fokus pada pikirannya.
"Balqis!"
"Balqis!"
Haziq melambaikan tangannya di depan Balqis yang bengong.
"Aduh!"
Balqis meringis saat pulpen Haziq di ketukkan ke keningnya. "Gus!?"
"Anti mau tidur di sini atau mau pulang?"
Balqis melihat ke sekeliling. Tidak terdapat siapa pun selain dirinya yang masih duduk anteng. "Loh... Yang lain pada ke mana?"
"Ana tutup pintunya. Selamat sore!"
"Loh... Gus, tunggu!"
Balqis segera beranjak. Dia menyusul Haziq yang pura-pura menutup pintu.
"Tunggu! Saya belum keluar, Gus!"
Haziq kembali tertawa kecil. Tingkah Balqis selalu menggemaskan. Apalagi saat berlari, dia terlihat menggemaskan seperti Mei-Mei.
*****
Di kobong.
Sebagian para santri tengah sibuk memasak, mereka berencana akan makan bersama-sama nanti. Tidak ada acara apa-apa, mereka hanya ingin menikmati makan bersama saja.
Mereka juga melakukan iuran untuk membeli bahan masakan. Namun semua keseruan itu hanya dirasakan yang lain, karena sejak tadi Balqis hanya berdiam diri di anak tangga.
Dia tidak diajak untuk iuran, dia tidak diajak memasak, tidak diajak menyiapkan, dia hanya sendirian. Entah kenapa mereka tidak menawarinya sama sekali.
"Makanannya sudah siap. Semuanya ke atas."
Balqis masih setia menopang dagu. Dia melihat satu persatu orang-orang yang naik ke atas membawa barang dan makanan. Dan satu pun diantara mereka tidak ada yang mengajaknya.
Cih.... Apa ini balasan buat gue karena dulu sering banget nggak nawarin orang lain?
Pikiran Balqis memutar. Dia mengingat perlakukannya dulu. Dan sekarang dia sering kali mendapatkan balasan dari perbuatannya. Termasuk sekarang, dia tidak diajak dan diberi makanan yang sedikit oleh mereka.
"Balqis, apa segitu cukup?"
"Cukup. makasih ya!"
Balqis menatap makanan di piring. Dia akui makanan itu sedikit dan hanya untuk empat kali suap. Tapi dia tidak marah atau kesal, dia sadar bila dulu sering kali membuang makanan serta mengambil makanan sesuka hati.
Gue kangen Melodi!
Dulu dia sering dimasaki Melodi, tapi sekarang dia harus masak terlebih dahulu. Dan terkadang makan pakai garam bila dia tidak ingin memasak sama sekali.
Setelah makanannya habis, Balqis keluar kobong. Dia memilih pergi dari pada melihat semua orang yang tengah bahagia makan bersama.
Setiap langkah yang dilakukan Balqis, semuanya sepi dan hening. Dan hanya angin yang bertiup sepoi-sepoi menemaninya. Semuanya nampak indah, namun terdapat kesedihan.
"Ekhm!"
Balqis menoleh saat mendengar suara di belakang. Dia tertegun melihat Haziq berdiri sambil memasukkan kedua tangannya ke saku.
"Gus!"
"Anti sendirian?"
Haziq memalingkan wajahnya. Dia menatap jalanan yang dipenuhi kendaraan berlalu lalang.
"Ini kota, tidak ada hamparan sawah di sini,"
"Iya, Gus benar. Tapi saya lebih suka hamparan sawah dan pepohonan."
Balqis yang belum beranjak dari tempat berdirinya menatap wajah Haziq diam-diam.
Dia akui, wajahnya sangat teduh dan mendamaikan. Namun sayang, dia tidak tertarik padanya. Hatinya masih terkunci rapat pada Alditra. Meskipun dia tahu, cintanya bertepuk sebelah tangan. Cintanya tidak akan terbalaskan. Namun entah kenapa hatinya begitu berat melepaskan.
"Balqis, kenapa kamu tidak bergabung bersama yang lain?"
"Nggak ah Gus. Saya lebih suka jalan-jalan kayak gini,"
"Kepribadian kamu itu sangat berbeda."
Kening Balqis mengerut, dia tidak mengerti maksud Haziq. Karena setahu dirinya, kepribadiannya sangat luar biasa hancur. Hanya saja dia menutupinya dengan kediamannya.
Balqis menghela nafasnya. Dia memutuskan pergi karena takut menimbulkan kecurigaan orang-orang.
Degh!
Hati Balqis seakan-akan dibuat hampir copot. Dia terkejut saat membalikkan badan terdapat Alditra tengah menatapnya. Entah kapan laki-laki itu ada di sana? Dan sejak kapan dia berdiri di sana?
"Om Gus!?"
Alditra diam seribu bahasa. Tatapannya sulit diartikan, bahkan tangannya mengepal seperti menahan amarah.
"Loh kakak ipar, kapan datang?" tanya Haziq.
"Baru saja," jawab Alditra. "Barusan saya memutuskan keliling, lalu melihat kamu bersama perempuan,"
"Aahh... Biar aku kenalkan. Ini Balqis, dia adalah salah satu muridku," ujar Haziq.
Balqis mengangguk ragu. Dia harus masuk ke dalam drama baru pertama kali melihat Alditra dan berpura-pura tidak mengenalinya. "
"Perkenalkan O-- Gus, Saya Balqis,"
"Alditra. Calon suami Ning Annisa," Alditra menatap wajah Balqis lekat. Dia tahu hatinya terluka atas perkataannya. "Haziq, apa dia sekedar muridmu?"
"Iya. Tapi kalau lebih pun itu tidak jadi masalah, buat saya... " jawab Haziq diiringi tawa. "Sudahlah Kakak ipar jangan dibahas, nanti Balqis malu. Sebaiknya kita ke rumah saja,"
"Baiklah. Lagian ada beberapa hal yang harus kita bicarakan." balas Alditra.
"Balqis, saya pergi dulu. Jangan lupa tugas dikumpulkan nanti." pamit Haziq.
Balqis hanya mengangguk. Dia sendiri masih berdiri menatap mereka berdua pergi dari hadapannya. Dia juga melihat Alditra menoleh ke belakang menatapnya.
Sungguh pertemuan yang tidak disukainya. Apalagi saat Alditra memperkenalkan diri sebagai calon Annisa, itu sudah cukup membuat hatinya tergores. Entah sampai kapan hati Balqis akan terluka? Dan entah sampai kapan dia akan tetap mencintainya? Mungkin seiring berjalannya waktu semua akan berbeda.
****
Beberapa bulan berlalu.
Kabar kepulangan Annisa sudah menyebar di pesantren, semua santri antusias akan menyambut kedatangannya. Apalagi kembalinya Annisa sering kali dirindukan mereka.
Namun berbeda lagi dengan Balqis. Kepulangan Annisa menjadi kepulangannya ke rumah. Dia memutuskan pulang untuk beristirahat beberapa hari. Apalagi setelah Annisa pulang disitulah waktu pernikahan semakin dekat.
Balqis masih tidak sanggup melihat Alditra bersanding dengan perempuan lain. Sedangkan hatinya masih tertata baik untuknya.
Dia yang tidak ingin semua berakhir dengan air mata akhirnya dia memutuskan untuk melarikan diri selama liburan pergi ke Markas menemui Abraham karena dia juga dipanggil untuk melakukan tugas penting. Yaitu melakukan transaksi senjata.
***
Dan disinilah dia sekarang. Di sebuah Dermaga...
Balqis sedang berkutat dengan beberapa komputer yang tersedia di dalam sebuah mobil Van hitam dengan memakai headset mini yang menghubungkan dengan Abraham dan juga orang yang sedang menjalankan misi itu.
"Balqis... Kenapa kamu ada disana?"
"Daddy? Maaf Dad, dan tolong jangan marahin Om Abraham, ini emang kemauan aku buat ikut dalam misi ini... Buat aku belajar juga..."
"Tapi sayang..."
"Dad... Aku baik-baik aja... Aku bakalan kerja sesuai arahan Om Abraham."
"Hah... Baiklah... Hati-hati!"
Sraaak...
Pintu mobil terbuka menampilkan Seorang pemuda yang buru-buru masuk dan duduk di samping Balqis.
"Kelinci sudah datang dan menghampiri Delta..."
Balqis pun menampilkan monitor yang menampilkan kamera di sebuah gudang disana ada seorang pria dengan membawa tas hitam besar di tangannya.
Tak lama Delta bersama orang itu pun berbicara dengan serius, Balqis dan Zaidan memperhatikan gerak gerik mereka dari monitor..
Terlihat mereka sedikit bersitegang Balqis yang melihatnya pun mulai curiga.
"Dan coba lo cek kesana..."
"Siap Nona!" Baru saja Zaidan akan beranjak, Balqis melihat pria yang bersama Delta melihat kearahnya melalui kamera yang ada di sana.
Ya pria itu tau bahwa ada seseorang mengawasi mereka pria itu pun tersenyum kearah kamera itu lalu menggumamkan kata..
"Boom"
Braaaaaakkkkk!!!!
Sebuah hantaman keras pada mobil Van itu, Balqis dan Zaidan juga barang-barang yang ada disitu langsung berjatuhan.
Mobil Van itu berguling beberapa kali sehingga Balqis dan Zaidan pun mengalami luka di kepala dan bagian tubuhnya.
Shit!!
Saat Balqis berusaha untuk keluar dari mobil dia mendengar suara tembakan di dalam gedung.
Balqis melihat kearah Zaidan dan membatunya berdiri keluar dari mobil itu.
Ada beberapa orang yang mengarahkan tembakannya kearah mereka. Balqis menunduk dan sebisa mungkin menghindari peluru-peluru itu.
"Nona... Ada seorang anak..."
"Hah? Kok bisa ada anak disini?" ucapnya sambil celingak celinguk, sat melihat kearah pria yang sedang mengarahkan senapannya kearah anak itu Balqis oun langsung membelalakan mata.
"Zaidan... tunggu disini ya.. Gue ngamanin bocah dulu!" ucapnya tanpa menunggu jawaban Zaidan karena langsung berlari dengan cepat lalu memeluk bocah itu memutar badannya dan....
Ceklek..
Dooorr.. Doorrrr.. Dooorrrrr
Bruuukkk...