Tujuh ratus tahun telah berlalu, sejak Azkan ditugaskan menjaga Pulau Asa, tempat jiwa-jiwa yang menyerah pada hidup, diberi kesempatan kedua. Sesuai titah Sang Dewa, akan datang seorang 'Perempuan 'Pilihan' tiap seratus tahun untuk mendampingi dan membantunya.
'Perempuan Pilihan' ke-8 yang datang, membuat Azkan jatuh cinta untuk pertama kalinya, membuatnya mencintai begitu dalam, lalu mendorongnya masuk kembali ke masa lalu yang belum selesai. Azkan harus menyelesaikan masa lalunya. Namun itu berarti, dia harus melepaskan cinta seumur hidupnya. Bagaimana mungkin dia bisa mencintai seseorang yang di dalam tubuhnya mengalir darah musuhnya? Orang yang menyebabkannya ada di Pulau Asa, terikat dalam tugas dan kehidupan tanpa akhir yang kini ingin sekali dia akhiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BERNADETH SIA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SOSOK YANG TAK ASING
Tangisan tanpa suara Laina membawanya dalam lelap dan dimensi mimpi selanjutnya.
Sebuah ruangan gelap dengan cahaya temaram dari beberapa lilin yang nyalanya hampir mati, menjadi tempat Laina berdiri dalam kebingungan. Dia melihat sekeliling sambil memicingkan mata, berharap bisa melihat sesuatu dengan jelas. Setidaknya, jika dia bisa melihat sesuatu yang dia kenal, dia bisa memperkirakan dimana dia berada sekarang. Namun, sekeras apa pun usahanya, dia tak bisa memperkirakan dimana dia berada sekarang.
Di tengah kebingungan dan usahanya untuk mencari jalan keluar, suara pintu yang dibuka di belakangnya, mengejutkan Laina. Seorang pria tinggi dengan jubah tidur yang panjangnya semata kaki, memasuki ruangan itu, tak memperdulikan kehadiran Laina yang seharusnya mengejutkannya. Laina menyingkir, tak mau bertabrakan dengan sosok pria yang baru masuk itu. Pandangan Laina mengikuti langkah pria itu yang langsung berjalan menuju meja di ujung ruangan, berlatarkan jendela kaca besar dengan pemandangan gelap di luar sana.
Pria itu pasti pemilik tempat ini. Dia bisa melangkah dengan pasti di dalam ruangan gelap tempat Laina tak berani bergerak sembarangan. Setelah sampai di meja, dia langsung meraih pemantik dan menyalakan lilin di atas meja. Lilin-lilin itu, memperjelas wajah pria yang sedang diamati Laina.
Laina tercekat. “Ayah?” suara Laina hanya bisa didengar olehnya sendiri.
“Tapi, …” Laina memperhatikan sekelilingnya sekali lagi, dengan penerangan yang lebih layak bagi mata manusia. Ini adalah zaman yang berbeda. Bukan dimensi waktu yang sama dengan di masa hidupnya. Tapi bagaimana bisa pria itu memiliki wajah, perawakan, dan ekspresi yang sama dengan ayahnya? Ayah brengseknya.
Laina mendekat dengan langkah sepelan mungkin meski dia tahu kalau pria itu, yang mungkin adalah ayahnya, tak bisa melihatnya. Semakin dekat Laina dengan sosok pria itu, semakin yakin dia kalau pria itu memang ayahnya. Tapi, tetap saja, tidak mungkin. Bagaimana mungkin ayahnya hidup di zaman ratusan tahun lalu? Di ruangan ini, tidak ada lampu listrik, tidak ada peralatan elektronik sama sekali. Semua perabotan terbuat dari kayu. Cara berpakaian dan gaya rambut pria itu, menunjukkan masa yang sangat lampau.
Reinkarnasi? Dugaan itu selintas muncul di dalam kepala Laina meski dia tak pernah mempercayai konsep reinkarnasi. Apalagi kalau seseorang lahir kembali dengan wujud yang sama persis seperti ini. Jadi apa?
Pertanyaannya kemudian dijawab dengan munculnya sosok lain dari balik pintu. Kali ini pintu dibuka dengan kasar. Suara benturan pintu dengan dinding mengejutkan Laina dan gemanya menyisakan perasaan takut yang tidak disukai Laina. Keterkejutan Laina bertambah ketika dia melihat sosok yang mendekati pria di dekatnya. Azkan. Itu adalah sosok Azkan yang lebih muda, seperti Azkan yang dia lihat di mimpinya.
“AYAH!! Apa maksud semua ini?! Jelaskan padaku!!!”
Ayah? Laina tak bisa memikirkan apa-apa lagi. Dia hanya melihat apa yang terjadi selanjutnya sebagai penonton tanpa pengetahuan apa pun.
“Seperti yang ayah katakan tadi.”
“Tapi hal itu kan tidak masuk akal!!!” Azkan memukul meja kayu yang membatasinya dengan ayahnya, hingga suara retakan meja itu terdengar.
“Azkan, ayah tidak mengada-ngada.”
“Berarti, ayah … berselingkuh?”
“Ayah malu mengakuinya, tapi, iya. Ayah memiliki perempuan lain di kota sebelah.”
“Apa ayah gila?!?”
“Ayah tak bisa menahan diri, Azkan. Pernikahan ayah dengan ibumu, adalah perjodohan tanpa perasaan cinta. Sedangkan perempuan itu, adalah perempuan yang ayah cintai.”
“Apa menurut ayah dengan jawaban seperti itu, perbuatan ayah bisa dibenarkan?”
“Ayah tahu, ayah salah. Ayah sudah berselingkuh. Itu sebuah kesalahan. Tapi kau perlu tahu kalau anak itu, tidak bersalah. Dia sama sekali tidak bersalah, Azkan.”
“Ayah tidak perlu membelanya.” suara Azkan dipenuhi emosi yang baru dilihat Laina.
“Azkan, maafkan ayah. Ayah menyesal tidak pernah memberitahumu sebelumnya. Seharusnya ayah memberitahumu. Maka hal seperti ini tidak akan pernah terjadi. Pertemuan kalian seharusnya menjadi pertemuan antara kakak laki-laki dan adik perempuan. Bukan seperti ini.”
“Aku benar-benar kecewa pada ayah.”
“Ayah mengerti. Ayah menerima kemarahanmu. Kau memang berhak marah pada ayah. Tapi ayah mohon, jangan sakiti dia. Emeral, adalah putri yang ayah cintai. Sama besarnya seperti cinta ayah padamu, Azkan.”
“Bagaimana bisa aku percaya ayah mencintaiku kalau ayah berselingkuh dari ibuku?”
“Ayah dan ibumu, memang menikah tanpa cinta. Tapi kau, adalah anak laki-laki ayah. Sejak kelahiranmu, ayah mencintaimu sepenuhnya. Sama seperti ayah mencintai Emeral. Ayah sungguh-sungguh.”
“Aku tidak bisa percaya pada ayah.”
“Ayah mohon Azkan. Ayah tidak bisa merestui hubungan kalian. Sekarang kau sudah tahu kalau Emeral, perempuan yang kau cintai itu, adalah putri ayah. Mana mungkin ayah membiarkan anak-anak kandung ayah menikahi satu sama lain? Itu tidak bermoral, Azkan.”
“Hal tidak bermoral ini terjadi karena ayah berselingkuh dan memiliki anak lain tanpa sepengetahuanku dan ibu!!!!!” pukulan kedua Azkan menghancurkan meja kerja ayahnya.
Emeral! Laina sekarang bisa mendengar nama yang dipanggil Azkan dalam mimpinya. Nama yang tak pernah bisa dia dengar sebelumnya. Sekarang, Laina tahu, sosok siapa yang menjadi dirinya di dalam mimpi. Atau dirinya yang menjadi sosok Emeral? Sudah dua kali Laina bermimpi, dan tatapan Azkan tertuju padanya. Percakapan dalam mimpi itu, adalah antara Azkan dan dirinya sendiri. Tapi dia dipanggil Azkan dengan nama yang lain. Sekarang, dia tahu nama siapa itu. Emeral.
“Ayah sungguh menyesal, Azkan.”
“Penyesalan ayah sekarang tidak ada gunanya.”
“Ayah tidak akan membela diri. Ayah bersalah. Ayah sudah mengakuinya. Sekarang, yang harus kau lakukan adalah mengambil keputusan yang benar. Tinggalkan Emeral.”
“Apa ayah tahu, seberapa dalam aku telah jatuh cinta pada Emeral? Apa ayah tahu, seberapa besar perasaan kami untuk satu sama lain? Kami sudah berhubungan selama satu tahun, ayah. Kedatangan Emeral ke rumah kita malam ini, karena aku ingin menikahinya. Karena dia sudah menerima lamaranku. Tapi ayah telah menghancurkan semuanya. Ayah menghancurkan hidupku dan Emeral. Lalu sekarang, ayah memintaku untuk mengambil keputusan yang benar? Ayah benar-benar manusia yang egois. Aku membenci ayah.”
Ayah Azkan terdiam. Bibirnya tertutup rapat. Dia berdiri di tempatnya, tak bergerak sedikitpun. Hanya kedua matanya yang terus menatap Azkan. Anak laki-laki pertamanya, yang selama ini tumbuh sempurna, tapi kini hancur berkeping-keping di hadapannya. Semua karena kesalahan yang dia buat. Ayah Azkan, tak pernah membayangkan, kalau anak laki-laki dari pernikahan sahnya, akan jatuh cinta dengan anak perempuan dari perempuan simpanannya. Mimpi buruk ini terlalu berat untuk dihadapi.
“Mulai sekarang, aku bukan anak ayah lagi. Jangan pernah muncul di hadapanku.” Azkan pergi setelah mengucapkan perpisahan penuh kebencian pada ayahnya.
“Azkan!!” usaha ayahnya untuk mengejar Azkan, berakhir sia-sia. Azkan sudah memacu kudanya dengan kecepatan penuh menembus gelapnya malam.
Laina berpindah ke tempat lain. Sebuah taman rumput yang diliputi kegelapan malam. Tidak ada apa pun di taman itu selain seorang perempuan yang sedang berjongkok di bawah pohon. Laina mendekatinya. Perempuan itu mendongak, menatap kedua mata Laina. Saat mata mereka bertatapan, Laina membeku. Rasanya seperti melihat dirinya sendiri. Tidak, bukan karena wajah yang sama. Laina yakin kalau wajah mereka berbeda. Tapi sosoknya. Hal ini tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sungguh tidak masuk akal. Bagaimana mungkin, dua sosok yang berbeda, merasakan kehidupan jiwa yang sama? Tidak mungkin kan?
Perasaan perempuan itu, Emeral, memenuhi diri Laina.
Hal yang sekarang dirasakan Laina, bukanlah simpati ataupun empati. Namun sungguh-sungguh merasakannya. Bayangkan rasa sakit, rasa sedih, dan hancur orang lain, memenuhi dirimu. Bukankah itu menyakitkan sekaligus tidak masuk akal di waktu bersamaan?
Tatapan mereka yang bertukar itu, hanya terjadi selama beberapa detik, tapi lebih dari cukup untuk membuat Laina kuwalahan dengan semua perasaan yang membanjirinya. Ditambah lagi, kemunculan Azkan dan kuda hitam yang dia tunggangi. Tanpa banyak bicara, Azkan meraih Emeral, mendudukkannya di bagian depan pelana kuda, melingkarkan tangannya di sekitar tubuh Emeral, lalu kembali memacu kudanya secepat mungkin meninggalkan Laina sendirian.
Kepala Laina sakit. Rasanya ada ratusan jarum menusuk-nusuk kepalanya.
Laina mengerang kesakitan.
Dia tahu kalau ini mimpi. Jadi dia berusaha untuk bangun.
Meski setelah bangun, dia harus menghadapi kenyataan yang lebih menyakitkan.