Lilyana Belvania, gadis kecil berusia 7 tahun, memiliki persahabatan erat dengan Melisa, tetangganya. Sering bermain bersama di rumah Melisa, Lily diam-diam kagum pada Ezra, kakak Melisa yang lebih tua. Ketika keluarga Melisa pindah ke luar pulau, Lily sedih kehilangan sahabat dan Ezra. Bertahun-tahun kemudian, saat Lily pindah ke Jakarta untuk kuliah, ia bertemu kembali dengan Melisa di tempat yang tak terduga. Pertemuan ini membangkitkan kenangan lama apakah Lily juga akan dipertemukan kembali dengan Ezra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nadia datang
Esok harinya, Ezra mengatur sebuah kegiatan bersama: jalan-jalan santai di sawah terasering Tegallalang. Udara segar dan pemandangan hijau yang memanjakan mata memberikan perasaan damai yang tidak mereka dapatkan di kota. Saat berjalan bersama-sama, Ezra sengaja berjalan di antara Lily dan Melisa, berharap kebersamaan fisik ini bisa memecah kebekuan.
Setelah beberapa lama berjalan, Melisa akhirnya memulai pembicaraan dengan Lily. "Kamu nggak merasa canggung dengan Aldo?"
Lily menghela napas. "Aku canggung, tapi aku nggak bisa mengontrol perasaannya. Aku nggak mau kamu merasa seperti aku merebut seseorang darimu."
Melisa menunduk. "Mungkin aku terlalu sensitif. Tapi aku cuma pengen hubungan kita balik kayak dulu."
Lily menatap Melisa dengan harapan. "Aku juga, Mel. Aku rindu kamu."
Di bawah sinar matahari yang hangat dan diiringi angin lembut, Melisa akhirnya tersenyum. "Oke, aku maafin kamu."
Ezra yang melihat itu dari kejauhan, tersenyum puas. Perjalanan ini sepertinya berhasil membawa mereka kembali ke jalur yang benar.
***
Liburan keluarga Lily dan Melisa di Bali berlangsung dengan lancar. Hubungan yang sempat renggang antara Lily dan Melisa mulai kembali seperti sediakala, perlahan namun pasti. Mereka kembali tertawa bersama, bercanda, dan berbagi cerita seperti dulu, seolah masalah di antara mereka tak pernah terjadi. Ezra yang selalu menjadi penengah merasa lega melihat dua orang yang disayanginya kembali dekat.
Namun, di tengah suasana liburan yang penuh kebahagiaan itu, sesuatu tak terduga terjadi.
Pada suatu sore ketika keluarga Lily dan Melisa sedang bersantai di vila, suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah pintu depan. Saat pintu vila dibuka, terlihat sosok yang sangat akrab bagi Lily—Nadia. Dengan senyum lebar, dia melangkah masuk, membawa koper kecilnya, dan langsung disambut dengan hangat oleh orang tua Melisa.
"Nadia!" seru ibu Melisa dengan riang, langsung memeluknya. "Senang sekali kamu bisa menyusul kami ke sini. Ezra sudah bilang kalau kamu mungkin akan datang."
Lily yang duduk tidak jauh dari sana langsung merasa terganggu. Melihat Nadia begitu akrab dengan keluarga Melisa, terutama dengan ibu mereka, membuat perasaan Lily tidak nyaman. Sejak awal, Lily tahu bahwa Nadia menyimpan perasaan terhadap Ezra, dan meskipun Ezra telah menolaknya, keberadaan Nadia yang selalu dekat dengan keluarga Melisa seolah mengingatkan Lily pada posisi yang lebih sulit baginya.
"Terima kasih, Tante," jawab Nadia dengan senyum hangat. "Aku kebetulan ada waktu luang, jadi kupikir, kenapa nggak ikut menyusul ke sini dan menikmati Bali bersama kalian?"
Ezra yang baru saja keluar dari kamar terkejut melihat kedatangan Nadia. “Nadia?” katanya, sedikit bingung. Meskipun dia sudah tahu Nadia mungkin datang, dia tak menyangka akan secepat ini.
“Iya, aku memutuskan buat menyusul. Aku pikir kita bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama,” jawab Nadia sambil tersenyum penuh arti kepada Ezra. Ezra hanya mengangguk pelan, tidak ingin terlalu menanggapi secara berlebihan.
Lily diam-diam memperhatikan interaksi antara Ezra dan Nadia, merasa ada sesuatu yang salah. Sementara itu, Nadia tampak nyaman dan percaya diri, seolah kehadirannya di sana memang sesuatu yang sudah lama dinantikan oleh semua orang. Hal ini semakin membuat Lily merasa terpojok. Meskipun Ezra telah menolak Nadia, kedekatan mereka yang terlihat jelas dengan keluarga Melisa memberikan sinyal seolah Nadia masih memiliki peluang besar.
***
Malam itu, semua berkumpul di ruang makan untuk menikmati hidangan khas Bali yang disiapkan oleh pihak vila. Suasana seharusnya hangat dan menyenangkan, namun bagi Lily, ada kegelisahan yang tidak bisa ia hilangkan. Nadia duduk di dekat Ezra, berbicara dengan akrab dengan orang tuanya, seolah-olah dia bagian dari keluarga besar mereka. Sesekali, Ezra menimpali pembicaraan, meskipun terlihat santai, namun perhatian Nadia yang terpusat padanya membuat Lily merasa tidak nyaman.
Sambil makan, Nadia terus mengobrol dengan ibu Melisa, membicarakan berbagai hal mulai dari pekerjaan hingga rencana masa depan. Lily, yang duduk di seberang meja, mencoba untuk tidak memperhatikan, tetapi setiap kali Nadia tertawa atau berbicara lebih dekat dengan Ezra, perasaannya semakin sulit dikendalikan.
"Ezra, kamu harus coba ini," kata Nadia sambil memberikan piring kecil dengan makanan khas Bali. "Ini enak banget."
Ezra tersenyum, menerima piring itu. "Thanks, Nad." Lalu ia mulai memakan hidangan tersebut tanpa terlalu banyak bicara.
Melisa, yang duduk di samping Lily, menyadari perubahan ekspresi sahabatnya. Dia tahu, meskipun Lily berusaha menyembunyikan perasaannya, kecemburuan jelas terlihat di wajahnya. Melisa merasa sedikit bersalah karena, bagaimanapun juga, dia tahu betapa kuatnya perasaan Lily terhadap Ezra. Namun, di sisi lain, Melisa juga memahami kedekatan antara Ezra dan Nadia yang sudah terjalin cukup lama.
Setelah makan malam selesai, Ezra meminta izin untuk berjalan-jalan di pantai, dan tanpa ragu, Nadia ikut mengajaknya. "Aku ikut ya, Ezra. Pantai malam hari di sini pasti cantik banget," ujar Nadia sambil tersenyum manis.
Lily yang mendengar itu, hanya bisa menunduk, tidak tahu harus berkata apa. Hatinya semakin galau melihat kedekatan mereka. Melisa menyadari kegelisahan Lily dan mencoba menenangkannya.
“Lily, kamu nggak perlu khawatir. Kak Ezra sudah bilang kan kalau dia cuma menganggap Nadia sebagai teman,” ucap Melisa dengan lembut. “Tapi aku bisa lihat kamu terganggu.”
Lily menghela napas panjang. "Iya, aku tahu. Tapi melihat mereka dekat kayak gitu... rasanya tetap nggak nyaman."
Melisa memegang tangan Lily. "Percaya deh, kalau Kak Ezra bilang dia nggak punya perasaan apa-apa sama Nadia, itu benar. Kak Ezra nggak akan bohong tentang hal-hal seperti itu."
Lily mengangguk pelan, meskipun hatinya masih berat. Ia tahu Melisa mencoba membantunya merasa lebih baik, tetapi perasaan cemburu itu sulit untuk dihilangkan begitu saja.
***
Malam semakin larut, dan Lily memutuskan untuk duduk di balkon vila, menikmati angin malam yang sejuk. Di kejauhan, dia bisa melihat Ezra dan Nadia sedang berbicara di tepi pantai. Tawa mereka terdengar samar-samar di antara hembusan angin, dan semakin Lily memperhatikan, semakin dia merasa bingung dengan perasaannya.
Tak lama kemudian, Melisa menyusul Lily di balkon, membawa dua cangkir teh hangat. "Pikir-pikir, mungkin ini waktu yang tepat buat kamu bicara sama Kak Ezra. Jangan dipendam terus. Kamu butuh kejelasan dari dia, Lil."
Lily menatap sahabatnya dengan rasa bersyukur. "Iya, mungkin aku harus bicara sama Kak Ezra," gumamnya. "Tapi... aku takut jawabannya nggak sesuai yang aku harapkan."
Melisa tersenyum lembut. "Itu risiko yang harus kamu ambil kalau mau kejelasan. Dan apapun jawabannya, aku yakin kamu bisa menghadapinya."
Lily mengangguk, mencoba menguatkan dirinya. Mungkin memang sudah waktunya untuk berbicara jujur dengan Ezra tentang perasaannya. Apalagi setelah melihat kedekatan Ezra dan Nadia malam ini, Lily tahu dia tidak bisa terus-terusan menahan perasaannya tanpa tahu apa yang sebenarnya Ezra rasakan terhadapnya.
Namun, di balik semua kekhawatiran dan cemburu, satu hal yang pasti: Lily tahu bahwa dia tidak bisa berdiam diri lebih lama lagi.
Lily cpt move on syg, jgn brlarut larut dlm kesdihan bgkitlh fokus dgn kuliamu. aku do'akn smoga secepatnya tuhan mngirim laki" yg mncintai kmu dgn tulus. up lgi thor byk" 😍💪