Santi sigadis kecil yang tidak menyangka akan menjadi PSK di masa remajanya. Menjadi seorang wanita yang dipandang hina. Semua itu ia lakukan demi ego dan keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21_Hidup yang Penuh Kepahitan
“Begitulah ceritanya, Mak,” ujar Burhan menjelaskan panjang lebar apa yang dia alami di kota, termasuk perihal kematian istrinya.
“Ohhh, ya sudah,” sahut Mak Erot santai. Tidak ada raut kesedihan yang tampak di wajah Mak Erot ketika mendengar bahwa menantunya yang sudah melahirkan enam orang cucu untuknya meninggal dunia.
“Ya sudah, sini kakek tunjukkan kamar kalian,” ujar Pak Bayan, ayah Burhan.
Santi dan adik-adiknya pun mengikuti kakeknya.
“Di rumah ini hanya ada tiga kamar: satu kamar kakek dan nenek, satu lagi kamar ayah kalian, dan satu ini untuk kalian. Untuk yang laki-laki bisa tidur sama ayahnya, dan perempuan tidur di sini,” jelas Pak Bayan.
“Enggak akh, kek, kami tidur bareng Mbak aja,” protes Riski.
“Ya sudah, tidak apa-apa. Kamar ini muat kok untuk kalian berenam,” jawab Kakek Bayan.
“Rapikanlah barang-barang kalian di dalam, kakek mau ke ruang tengah ngobrol-ngobrol sama ayah dan nenek kalian,” lanjutnya.
Berbeda dengan Mak Erot, Kakek Bayan bersikap baik kepada Sumi dan cucu-cucunya. Ia tidak mempermasalahkannya. Sedangkan Mak Erot, sejak awal, tidak merestui Burhan, putra sulungnya, menikah dengan Sumi yang merupakan anak sebatang kara tanpa harta. Itulah sebabnya Mak Erot tidak suka kepada Sumi, dan bukan hanya Sumi, bahkan anak-anak yang lahir dari rahim Sumi pun tidak disukai oleh Mak Erot.
Santi masuk ke dalam kamar berukuran tiga kali tiga meter itu. Menurutnya, itu lebih dari cukup untuk ia dan adik-adiknya, toh barang mereka tidak banyak. Adik-adiknya juga masih kecil, jadi ruang tersebut sangat cukup.
Setelah Santi membersihkan dan merapikan kamar, ia pun menyuruh adiknya untuk beristirahat.
“Heii, ngapain tidur-tiduran di situ? Cepat keluar, masak dan bereskan dapur!” perintah Mak Erot kepada Santi dan adik-adiknya.
“Iya, Nek, Santi akan bereskan,” jawab Santi.
“Bukan hanya kamu, adik-adikmu juga harus kerja. Enak aja mau makan gratisan,” tambah Mak Erot.
“Iya, Nek, tapi untuk saat ini biarkanlah mereka beristirahat. Kasihan mereka lelah setelah empat jam perjalanan, belum lagi naik becak. Biar Santi saja yang ngerjain semuanya,” ujar Santi, berharap Mak Erot memahami.
“Enggak, anak enggak mamaknya sama saja keras kepala, susah diatur,” celetuk Mak Erot sambil meninggalkan kamar.
Santi menghela napas. “Riski, jaga adik-adik, Kakak mau masak dulu,” ujar Santi kemudian menarik pintu kamar.
Santi langsung beraktivitas di dapur meski tubuhnya sangat lelah sekali.
Riski keluar dari dalam kamar dan membantu kakaknya membereskan semuanya.
“Mbak, kenapa Mbak mau aja pindah ke sini?” tanya Riski.
“Lalu kita mau ke mana lagi, Dek, selain ikut ayah ke sini? Sudah ya, kamu sabar aja, nanti ada jalan keluarnya kok,” jawab Santi sembari sibuk menyiangi bawang dan bumbu lainnya.
Sedangkan Riski menyiangi sayur-mayur yang hendak mereka masak. Adapun Mak Erot, Pak Bayan, dan Burhan berbincang-bincang santai di depan sambil cekikikan. Tidak ada raut wajah duka di wajah Burhan, padahal baru beberapa hari ia ditinggal oleh Sumi untuk selama-lamanya.
“Mbak, kenapa ya Allah kasih kita ayah seperti ayah kita?” ujar Riski.
“Entahlah, Dek, Mbak juga enggak tahu,” jawab Santi.
Tepat pukul 20.00, Santi dan sekeluarga makan malam.
“Jangan makan banyak-banyak, beras mahal,” tegur Mak Erot memberi peringatan kepada keenam cucunya untuk tidak makan banyak.
Burhan yang mendengar itu hanya diam saja, baginya ucapan ibunya adalah ucapan dewa, tanpa perduli bahwa urusan perut keenam anaknya adalah mutlak tanggung jawab dirinya sebagai seorang ayah kandung.
“Sudahlah, Mak, biarlah mereka makan banyak, yang penting kan habis. Siapa tahu mereka lapar. Yang tidak bisa itu mubazir,” Pak Bayan tidak setuju dengan istrinya yang meminta keenam cucunya untuk makan sedikit.
“Bapak ini tahu apa mengenai urusan dapur? Yang Bapak tahu hanya mengurus kebun. Emak yang tahu berapa pengeluaran dapur kita,” celetuk Mak Erot.
“Iya, Nek, kami makan sedikit kok, Nek,” jawab Santi.
“Emm, bagus kalau sadar diri,” ujar Mak Erot sambil lanjut makan.
Setelah makan, Santi dan Riski langsung membereskan piring kotor, mencuci piring, dan membersihkan dapur. Setelah itu barulah mereka beristirahat. Sedangkan adik-adik mereka yang lain sudah tidur di dalam kamar.
“Mbak, Sisil rindu ibu, kenapa kita ninggalin ibu, Mbak? Kenapa ibu enggak ikut sama kita ke sini?” rengek Sisil.
“Ibu… ibu…” Lili mulai menangis memanggil-manggil nama ibunya.
“Heiii, buka pintunya! Kalian berisik sekali! Santi, bisa tidak kamu suruh diamkan adik-adikmu itu? Saya mau istirahat!” Mak Erot menggedor-gedor pintu kamar Santi dan adik-adiknya.
Ia sangat marah mendengar Sisil dan Lili yang menangis.
“Dengar itu, nenek marah! Kalian berdua diam, jangan nangis! Katanya janji enggak nakal!” ujar Santi. Kedua adiknya itu pun terdiam.
“Maafkan Sisil, Mbak,” Sisil melap air matanya, begitu juga air mata Lili adiknya.
Hati Santi begitu teriris melihat pemandangan itu. Kembali ia merengkuh kedua adiknya itu, ia tarik dalam dekapannya.
“Tidak, kalian tidak bersalah. Mbak yang bersalah, Mbak enggak bisa jaga ibu, Mbak enggak bisa kasih tempat yang nyaman untuk kalian,” ujar Santi.
Riski yang melihat hal itu diam-diam menitiskan air matanya.
“Sudah, kalian tidur ya, doakan ibu biar tenang di alam sana,” ujar Santi.
Mereka pun tidur berjejer. Mereka tidur hanya beralaskan sehelai tikar yang dilipat menjadi dua lapis agar tidak dingin. Bantal juga hanya ada tiga, sedangkan mereka berenam. Jadilah Sisil dan Lili satu bantal bagi dua, Ujang dan Ridho satu bantal bagi dua, dan satu lagi Santi berikan kepada Riski. Sedangkan dirinya menggunakan tumpukan kain mereka sebagai bantal.
“Mbak…” panggil Riski.
“Tidur Ki, nanti nenek marah,” ucap Santi lirih dengan mata sudah terpejam.
Riski pun memutar tubuhnya memunggungi Ridho, ia tidur paling pinggir di sebelah kiri, sedangkan Santi tidur paling pinggir di sebelah kanan. Jadi posisi tidur mereka, jika dilihat dari Santi, ada Santi, Lili, Sisil, Ujang, Ridho, dan Riski.
Santi pun memutar badannya, membelakangi Sisil. Kemudian Santi menangis dalam diam. Diam-diam ia sangat merindukan ibunya, ia sangat lelah dengan semua dunia. Ia merasa tidak sanggup tinggal di rumah neneknya, padahal ia belum ada sehari tinggal di rumah ini.