Hangga menatap gadis kecil di hadapannya,
" bunda sedang tidak ada dirumah om.. ada pesan? nanti Tiara sampaikan.." ujar gadis kecil itu polos,
Hangga menatapnya tidak seperti biasanya, perasaan sedih dan bersalah menyeruak begitu saja, mendesak desak di dalam dadanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
aku tau
Hangga tidak bisa tidur, sedari tadi ia hanya membolak balikkan tubuhnya di atas tempat tidur.
seperti orang bingung, laki laki itu bangkit dari tempat tidurnya, mengambil rokoknya dan berjalan keluar kamar.
Di bukanya pintu samping, dan duduklah ia di teras.
Angin malam mengurangi kesesakan yang ia rasakan sedari sore.
Entah kenapa ucapan mas Yudi begitu membuatnya was was.
Pak guru di kampung itu bukan ancaman baginya,
tapi laki laki tadi siang, laki laki yang keluar dan mengendong anak kecil itu,
sepertinya kedekatan keduanya sudah tidak main main.
Hangga mengambil satu batang rokoknya, dan membakarnya.
" Kau seperti knalpot, terus menghasilkan asap." suara Papanya mengagetkannya.
" Kok belum tidur pa?" tanya Hangga bergeser, memberi papanya tempat duduk.
" Orang tua mana yang bisa tidur kalau melihat anak anaknya terus saja ribut..
yang satu kurang dewasa, yang satu terlalu acuh.." ujar Papanya duduk disamping Hangga.
" Mas Genta membuat masalah lagi?" tanya Hangga,
" dia membuat membuat masalah, dan kau memendam masalah.."
" Ah, tidak.." Hangga mematikan rokoknya.
" apanya yang tidak? Papa tau apa yang ada di dalam hatimu,"
" ah, papa sok tau.." Hangga mencoba mencairkan suasana, ia mengulas senyum.
" Harusnya tidak kau ceraikan dia kalau kau memang mencintainya..",
kata kata papanya sontak membuat Hangga memandang papanya,
" kenapa? Kau kaget papa tau?" sekarang hermawan yang tersenyum.
" Kau suka padanya semenjak dia masih pacaran dengan kakakmu kan?"
Deg..
Hangga tertunduk, ia malu, bagaimana perasaan yang ia tutup tutupi selama ini bisa di ketahui papanya dengan jelas?.
" Meski kau selalu diam, tapi sorot matamu itu selalu bicara.." ujar Papanya, dan Hangga masih tertunduk, ia benar benar malu.
" Tidak usah malu pada papa, papa ini orang tuamu.. tentu saja sedikit banyak papa tau apa yang kau rasakan,
bagi orang lain, sikap acuhmu itu di artikan sebagai sebuah kesombongan,
tapi di mata papa, sikap acuhmu adalah benteng, agar kau tidak semakin tertarik pada kekasih kakakmu saat itu, bukankah begitu?"
Hangga tertunduk semakin dalam.
" kenapa le, kenapa kau ceraikan dia jika sampai saat ini kau masih belum sanggup untuk melepaskannya dari hatimu?" tanya Hermawan akhirnya.
" Papa menghargai keputusanmu, karena kau bersikeras, hal itu kau lakukan demi kebahagiaan kalian ke depannya,
agar kalian bisa menemukan pasangan yang lebih baik dan tidak saling menyakiti.."
Hangga mengangguk kali ini, dia terlihat sedih mengingat saat saat itu.
" Kukira aku kuat dan sanggup pa..
tapi aku tidak mampu menyadari perasaanku sendiri dan mempertahankannya dengan baik..
aku di hantui oleh mas Genta,
mas Genta selalu berkata bahwa dia bisa kapan saja mengambil kembali Kirani,
karena sesungguhnya di dalam hati Kirani hanyalah mas Genta..
Aku yang marah,
aku yang tak terima,
Suatu malam berbuat kasar pada kirani..
tepatnya setelah enam bulan pernikahan kami,
aku menyentuhnya dengan kasar..
bisa di bilang aku memperkosanya pa..
melihat air matanya aku menyadari, bahwa perasaan ku ini bertepuk sebelah tangan,
sampai kapanpun aku akan di bayang bayangi mas genta,
aku tidak mau memaksa perempuan yang tidak mencintaiku hidup tersiksa denganku,
aku juga tidak ingin emosiku menyakitinya lagi,
jadi keputusan untuk menceraikannya.. saat itu, bagiku itu yang terbaik pa..
papa tau kan aku tidak ingin membuatnya menderita?" suara Hangga bergetar hebat saat mengakui semuanya pada papanya.
Hermawan menghela nafas berat,
ia sungguh tersentuh..
Anak kedua yang sedari kecil pendiam,
tak banyak protes dan banyak mengalah itu,
kini bicara panjang untuk pertama kalinya,
mencurahkan isi hatinya untuk pertama kalinya.
Entah apa yang di rasakan Hermawan sekarang, antara sedih karena beban perasaan Hangga,
dan senang, karena hangga sudah mau terbuka dengan perasaannya yang sesungguhnya.
" Kudengar mamamu bertemu dengan Kirani beberapa waktu yang lalu..
di belum menikah lee.." suara Papanya pelan sembari menyentuh pundak putranya itu.
" Masih ada kesempatan lee.. Kejarlah.. Papa akan membantumu sebisa mungkin.." imbuh Hermawan.
Hangga mengangguk,
" Sedang ada laki laki di sampingnya pah.."
" selama janur kuning belum melengkung kenapa tidak lee.." ujar Hermawan.
Hangga menatap papanya, dengan serius,
" lalu mas Genta pa? Bagaimana kalau dia.."
" papa akan membantumu perkara itu..
sekarang kau fokus saja dengan tujuanmu.." ujar Hermawan mengangguk lalu tersenyum,
" Sudah.. Masuklah dan tidur, hentikan merokokmu itu," Hermawan menepuk pundak putranya lalu bangkit dari tempat duduknya.
.....