Nadira Ghautiah hanyalah seorang gadis berhijab yang kesehariannya bekerja sebagai akuntan. Ia tak menyangka hidupnya akan berubah 180 derajat saat bertemu seorang pria yang dikejar-kejar pembunuh.
Situasi itu membawanya pada posisi rumit nan mencekam. Kejadian demi kejadian yang berbahaya terus mengikutinya. Demi keselamatan hidupnya, ia terjebak dalam pernikahan paksa dengan Arsenio Harrington, Sang Pewaris tunggal kerajaan bisnis Harrington.
Mampukah Nadira menerima kenyataan pernikahan yang jauh dari bayangannya dan menerima fakta bahwa suaminya adalah seorang pewaris yang dingin dengan masa lalu kelam.
Bagaimana kisah selanjutnya? Nantikan hanya di novel Cinta Sejati Sang Pewaris.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CSSP Ep. 21
Keesokan hari, lelap Nadira terusik oleh suara gemericik air dari kamar mandi. Ia mengerjapkan matanya perlahan. Pandangan pertamanya adalah Arsen yang berdiri di samping tempat tidurnya, masih dengan mengenakan bathrobe mandi.
"Good Morning My Wife," sapanya lembut seraya mengusak rambutnya yang basah, membuat tetes-tetes air jatuh tepat mengenai wajah Nadira.
"Pak Arsen! Kok, kok Pak Arsen ada di kamar saya?" gagap Nadira. Matanya mengelilingi kamar. Bukan, ini bukan kamarnya.
Gemas, Arsen mencubit hidung mancung Nadira. "Mimpi? Cepat mandi! Saya tidak mau menunggu kamu berdandan." Setelah mengucapkan itu, Arsen pergi ke walk in closet untuk berpakaian.
Sedangkan Nadira masih tercengang di tempat tidurnya. Masih tak percaya. "Ini di mana? Kayaknya semalam Gue bukan tidur di sini, deh? Ini serius gak, sih? Pak Arsen beneran jadi suami Gue ... ?" tanyanya pada diri sendiri.
Demi menghilangkan kebingungannya, ia beranjak meraih jendela. Suasana Ibukota terpampang di depan matanya, bahkan dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat gedung di mana tempatnya bekerja.
"Masih belum siap-siap juga?" tanya Arsen yang ternyata sudah rapi berpakaian.
"Eh? Pak Arsen, kita sudah di Ibukota? Kok bisa? Bukannya semalam masih di Pulau?" Nadira bertanya heran.
"Tidak perlu banyak tanya, cepat bersiap!" perintah Arsen yang dibalas cebikan dari Nadira.
"Iya, iya. Gak perlu tanda seru juga dong. Hamba kan cuma bertanya Yang Mulia tidak perlu marah-marah juga, nanti cepat tua kasihan hamba jadi janda," gerutu Nadira sambil berjalan menuju kamar mandi.
Arsen menggeleng lemah. Pagi-pagi sudah dibuat kesal!
"Sekarang sepertinya aku mulai menyesali keputusanku. Sabar, Arsen, sabar."
30 menit kemudian Nadira pun sudah siap. "Pak Arsen, yuk berangkat!" ajaknya pada Arsen yang sibuk menelepon. Arsen meliriknya sekilas.
"Nanti kita lanjut. Istriku memanggil." Arsen menutup panggilan tersebut lalu mendekati Nadira.
"Not so bad, ini kunci mobilmu," puji Arsen lalu memberikan kunci mobil itu kepada Nadira.
"Saya yang bawa mobilnya?"
"Tentu saja kamu bawa mobilmu sendiri."
"Ha?"
"Apa? Kamu pikir kita akan berbagi kursi? Jangan lupa Nadira, kamu yang minta pernikahan ini dirahasiakan," Arsen mengingatkan.
"Oh, iya juga! Maaf saya lupa, Pak. Ya sudah kalau begitu saya berangkat duluan, ya, Pak Arsen. Sampai jumpa di kantor, see you." Nadira berjalan keluar sesekali menoleh ke belakang, mengedipkan sebelah matanya genit kepada Arsen, yang sukses membuat pria dingin itu melotot tajam.
Sekali lagi, Arsen menahan kesal. Niat hati ingin membalas dendam dan membuat Nadira kesal tapi malah dirinya sendiri yang kesal. Ia memijit pelipisnya pelan.
"Apakah dia bersikap begitu pada semua lelaki?" Arsen berubah pening saat membayangkan istri yang baru dinikahinya itu berani flirting kepada semua pria yang ditemuinya. Ia berdecak sebal.
***
Sesampainya Nadira di kantor, ia langsung disambut peluk hangat Laluna. Gadis itu memerhatikan Nadira dari atas sampai bawah.
"Ini benar Nadira, kan? Lo tinggal di mana sekarang? Lo ke mana aja kemarin? Kok gak kasih Gue kabar? Ponsel Lo juga gak aktif. Lo sehat kan, Nad? Lo tuh ish! Bikin Gue khawatir 7 hari 7 malam tahu?" tanya Luna memberondong Nadira.
"Eh, satu-satu dong Lun kalau tanya. Gue sehat aman dan baik, kok. Maaf Gue gak kasih kabar ke Lo. Soalnya itu, my phone is lost, hehe. Peace," ucapnya sambil menunjukkan dua jarinya.
Luna menarik napas lega. "Syukur kalau Lo baik-baik aja, Gue sampai mengira Lo diculik tahu gak?"
"Ah? Haha! Mana ada, sih orang yang mau culik Gue?" Nadira menjawab dengan gurauan, tak ingin Luna tahu kalau ia benar-benar diculik, bonus menikah dengan Pewaris pula!
Nadira menyembunyikan fakta sebesar itu bukan karena ia tak percaya pada Luna. Tapi takut orang-orang akan mencemoohnya, seperti yang dialaminya dulu.
Luna memang sahabat baiknya dan pasti akan mendukung apapun kondisi dan keputusannya. Hanya saja sisi Nadira yang lain memilih untuk menyembunyikan fakta itu demi menjaga hubungannya dengan Luna. Lagipula, hubungan pernikahannya hanyalah sebatas kesepakatan. Jadi, Nadira merasa tak perlu mengumbarnya.
"Kalau dipikir-pikir iya juga sih, mana ada yang mau culik cewek sinis kayak Lo."
"Makasih banyak, lho atas pujiannya. Gue merasa tersanjung," Nadira tersenyum.
"Gue lagi menghina Lo ya, Nad. Lo kok gak ada sedih-sedihnya jadi manusia?" Luna tercengang dengan sikap sahabatnya itu.
"Aih, siapa bilang Gue gak ada sedihnya? Banyak, Lun. Tapi dibanding Gue terus-terusan sedih sama hidup yang gak sesuai ekspektasi ini, menurut Gue lebih baik menjalani hidup dengan sedikit bahagia," ujar Nadira serius.
"Gue sedih banget malah waktu apartemen Gue terbakar, tapi apa dengan nangis sedih, apartemen Gue bakal balik kayak semula? Atau semuanya bakal baik-baik aja? Enggak, Luna. Menangis sedih gak bisa menyelesaikan masalah."
"Tapi, apa Lo harus dengan pura-pura bahagia kayak gini, Nad? Gak apa-apa kok kalau Lo menunjukkan kesedihan Lo," sanggah Luna. Ia merasa Nadira terlalu keras pada dirinya sendiri.
"Sekali dua kali tentu boleh, Luna. Tapi yang terjadi ya terjadi dan kita gak bisa menyangkal itu. Bukannya hidup dan waktu terlalu berharga? Sedih boleh, tapi jangan lama-lama, nanti mata Lo bengkak," Nadira tertawa di akhir kata.
"Oh, ya, dibanding terus terpaku dalam kesedihan dan masalah itu, masih lebih baik melangkah ke depan. Masalah dan kesedihan akan tetap ada tapi masa depan juga harus
diusahakan. Ya, kan?"
Setelah berkata-kata. Nadira berlari kecil usai menepuk pundak Luna dan ijin pergi menemui rekan satu tim yang tadi memanggilnya.
"Siapa yang tahu dibalik tawa seseorang tersembunyi kesedihan yang mendalam?" lirih Luna sambil menatap Nadira yang sedang tertawa dengan rekan kerja lainnya.
salam kenal untuk author nya