Auriga tidak menyadari dia sedang terjebak dalam sebuah masalah yang akan berbuntut panjang bersama Abel, gadis 18 tahun, putri temannya yang baru saja lulus SMA.
Obsesi Abel kepada Auriga yang telah terpendam selama beberapa tahun membuat gadis itu nekat menyamar menjadi seorang wanita pemandu lagu di sebuah tempat hiburan malam. Tempat itu disewa oleh Mahendra, ayah Abel, untuk menyambut tamu-tamunya.
“Bel, kalau bokap lo tahu, gue bisa mati!” Kata Ode asisten sang ayah tengah berbisik.
“Ssst...tenang! Semuanya aman terkendali!” Abel berkata penuh percaya diri.
“Tenang-tenang gimana? Ini tempat bukan buat bocah ingusan kayak elo!”
“Dua hari lagi aku 18 tahun! Oh my God, gatel ya,Mahen!Lo ya, ganjen banget! Katanya nggak mau nikah lagi tapi ani-aninya seabrek!" Umpat Abel pada sang papa.
***
Di satu sisi lain sebuah kebahagiaan untuk Auriga saat mengetahui hubungan rumah tangga mantannya tidak baik-baik saja dan tidak bahagia dia pun kembali terhubung dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tris rahmawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14 Membuat Masalah
Setelah dua jam menghilang, Abel akhirnya muncul dari pintu lobby rumah sakit dengan santainya seakan tidak membuat hal apapun.
Tangan kirinya menenteng bungkusan makanan, sementara tangan kanannya memegang tangkai permen lolipop yang masih dia masukan ke dalam mulut.
Langkahnya santai sekali seperti anak kecil yang baru selesai bermain dan pulang membawa jajanan. Permen lolipop memang salah satu kesukaannya, meskipun dulu saat kecil sang papa melarang karena giginya pernah rusak akibat terlalu banyak memakan permen. Kini, meskipun jarang, ia pasti menikmatinya di saat-saat ia merasa galau atau banyak pikiran.
"Itu dia! Itu Ana!" Teriak Cecil tiba-tiba, menunjuk ke arah Abel.
Auriga yang berdiri tidak jauh dari area pintu gerbang segera menoleh, matanya membelalak lega sekaligus marah. Napasnya berat, seperti seseorang yang baru saja melewati ujian panjang. Gadis itu akhirnya muncul, setelah dua jam Auriga sudah lelah mencarinya ke segala penjuru.
Namun, Abel sama sekali tidak menyadari situasi tersebut. Dengan tatapan kosong, ia terus berjalan menuju mobil, sesekali mengulum lolipopnya tanpa memperhatikan sekeliling. Baru beberapa langkah, Auriga berjalan cepat menghampirinya, tangannya langsung mencengkeram lengan Abel dengan kuat, membuat langkah gadis itu terhenti mendadak.
"Darimana saja, kamu?!" Auriga bertanya tajam. Tatapannya dingin, penuh kemarahan yang terpendam.
Abel tersentak. Permennya jatuh ke lantai, dan ia hanya bisa menatap Auriga dengan ekspresi bingung bercampur takut. "A-a..." gumamnya, tak mampu menjawab.
"Dari mana saja?!" ulang Auriga dengan nada lebih tinggi. "Semua orang di sini sibuk mencarimu! Apa kamu tahu betapa paniknya mereka betapa paniknya saya!"
Abel akhirnya menundukkan kepala, merasa kecil di bawah tatapan tajam pria itu. Dengan suara pelan, ia menjawab, "Dari toilet."
Auriga mengerutkan dahi, tidak puas dengan jawaban itu. "Toilet? Semua toilet sudah diperiksa! Jangan bohong!"
"Ya, dari toilet," balas Abel datar. Matanya sedikit menyipit, mengintip ke arah Auriga.
"Untuk apa berbohong? Kenapa m berharap aku di tempat lain ya... atau mungkin menghilang saja?"
Kalimat itu seperti sindiran. Auriga terdiam sesaat, lalu rahangnya mengeras. Nada Abel yang dingin dan penuh sindiran itu benar-benar menusuk, seolah menuduhnya berharap Abel tidak kembali.
"Ya, menghilang! Menghilanglah terserah!" bentak Auriga dengan nada tajam. "Tapi jangan saat kamu bersama saya, dan jangan saat kamu menjadi tanggung jawab di keluargaku!"
Abel hanya menatapnya sekilas, matanya mulai terlihat lelah. "Okay segera." jawabnya singkat, udah lelah, sebelum melepaskan cengkeraman Auriga dari lengannya dan berjalan pergi begitu saja meninggalkan pria yang masih marah itu.
Namun Auriga tidak membiarkannya begitu saja. Langkahnya segera mengejar Abel, tangannya terulur, memegang bahu gadis itu untuk menghentikannya. "Tunggu!" katanya, suaranya lebih tenang tapi tetap penuh tekanan.
Abel berbalik dengan malas, tatapannya kosong.
"Lihat sekelilingmu," kata Auriga, menunjuk ke arah para satpam, perawat, dan beberapa orang lain yang akhirnya lega melihat Ana kembali. "Semua orang di sini membantu mencarimu. Ini bukan tempat yang kamu kenal, ini kota asing. Apa kamu pikir orang lain bisa tenang kamu hilang gitu aja?”
Abel menatap Auriga, matanya berkaca-kaca. Namun, ia hanya mengangguk kecil, tidak mengatakan sepatah kata pun. Ada sesuatu dalam suara Auriga yang membuatnya merasa bersalah, tapi juga terlalu lelah untuk melawan.
Auriga menarik napas panjang, menatap gadis itu sekali lagi sebelum akhirnya melepas tangannya dari bahu Abel. "Jangan lakukan itu lagi," ucapnya pelan.
Abel hanya mengangguk sekali lagi, lalu berjalan menuju mobil tanpa sepatah kata. Tapi kali ini, ia merasakan sesuatu yang berbeda sesuatu yang hangat namun juga menusuk, menyadarkannya bahwa di balik sikap Auriga, ada kekhawatiran yang dia rasakan.
Abel benar-benar membuat Cecil muak dan kesal. Setelah drama menghilangnya Abel yang menyebabkan kepanikan besar di rumah sakit, Cecil harus menghadapi kemarahan Auriga, yang meluapkan frustrasinya pada semua orang, termasuk dirinya.
Kini,Auriga, tiba-tiba memutuskan untuk membatalkan semua rencana perjalanan kerja mereka di kota itu. Hotel mewah yang sudah Cecil pesan, restoran-restoran terbaik yang ia siapkan untuk menjamu bos-bos besar, dan kunjungan penting semuanya dibatalkan. Auriga memutuskan untuk melanjutkan semua urusan di Jakarta saja.
Cecil yang awalnya berharap bisa menikmati sedikit waktu bersantai sambil memanfaatkan fasilitas mewah perjalanan kerja, kini hanya bisa merutuki Abel. Saking kesalnya, Cecil memutuskan untuk “menghukum” gadis itu secara diam-diam.
Saat mereka tiba di bandara, Cecil mengatur jadwal penerbangan mereka berbeda. Ia dan Auriga akan berangkat pukul lima sore sesuai rencana awal, sementara Abel, dengan alasan “kesalahan pemesanan tiket,” dibuatkan jadwal penerbangan terakhir malam itu.
Auriga, yang sibuk dengan ponselnya untuk mengurus pekerjaan, sama sekali tidak menyadari apa yang dilakukan Cecil.
Sepanjang waktu di bandara, pria itu hanya fokus pada email dan panggilan telepon, bahkan tidak memerhatikan bahwa jadwal Abel berbeda.
Cecil mendekati Abel di terminal keberangkatan dengan wajah dibuat-buat, menampilkan ekspresi menyesal. “Ana, maaf ya,” katanya dengan nada yang terdengar lembut. “Tadi ada kesalahan pas booking tiket. Tiket kamu jadinya di penerbangan terakhir malam ini. Aku nggak bisa apa-apa, sistemnya error.”
Abel, yang sejak tadi hanya duduk diam, menatap Cecil sejenak, lalu mengangguk kecil. “Nggak apa-apa, Mbak. Saya tunggu saja.”
Cecil tersenyum tipis, puas dengan respons Abel yang tidak banyak tanya. Dalam hatinya, ia merasa puas karena berhasil memberikan “pelajaran kecil” pada gadis itu tanpa terlihat terlalu mencolok.
Kini, Abel duduk sendirian di terminal keberangkatan yang mulai lengang. Ia memandangi layar informasi penerbangan sambil memegang tiketnya dengan pasrah.
Sesaat, ia berpikir bahwa mungkin Cecil benar-benar tidak sengaja membuat kesalahan. Namun, jauh di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang janggal. Tetap saja, ia memilih untuk diam, tidak ingin memperpanjang masalah yang sudah cukup melelahkan.
Sementara itu, Cecil berjalan kembali ke ruang tunggu tempat Auriga berada, dengan ekspresi lega. Ia tahu Abel akan diam dan menerima apa pun tanpa protes, dan itu membuat rencananya berjalan lancar. Tetapi, Cecil tidak tahu bahwa Abel, meskipun terlihat pasrah, diam-diam mencatat setiap perlakuan yang ia terima sebuah catatan dalam ingatan yang mungkin akan terungkap di waktu yang tepat atau dia balas.
Saat pesawat mulai bersiap untuk lepas landas, Auriga yang duduk di kelas bisnis berdampingan dengan Cecil akhirnya menyelesaikan pekerjaannya. Ia menutup laptopnya, melepas kacamata, lalu menoleh ke arah Cecil.
“Duduk di mana Ana?” tanyanya sambil meluruskan punggungnya.
Cecil menoleh pelan, lalu memasang ekspresi yang dibuat-buat seperti seseorang yang baru teringat sesuatu. “Loh, Ana nggak bilang ya, Pak? Tadi dia tanya ke saya soal penerbangan sore ini. Katanya kalau penerbangannya ramai, dia sebaiknya terbang yang berikutnya aja karena takut naik pesawat kalau terlalu banyak orang. Jadi, ya, saya bilang nggak masalah asal izin ke Bapak. Dan... katanya Bapak setuju,” ujar Cecil dengan nada tenang, seperti menyampaikan sesuatu yang sepele.
Auriga menatap Cecil dengan pandangan tak percaya,“Kamu bercanda, Cecil?” Suaranya tegas, membuat Cecil sedikit terperanjat.
“Pak, tadi dia—“
Auriga sudah tidak mendengarkan. Dia bangkit dengan cepat dari kursinya, membuat Cecil terdiam. “Saya berusaha selesaikan masalah ini, kamu malah nambah-nambahin masalah. Membiarkan dia terbang sendiri? Are you okay?” katanya dengan nada penuh frustrasi.
“Pak, tapi dia sendiri yang bilang—“
Auriga berjalan cepat di sepanjang lorong pesawat, langkahnya terburu-buru. Para pramugari yang tengah bersiap untuk menutup pintu menatapnya dengan shock. Salah satu dari mereka segera menghampiri, mencoba menghentikannya.
“Maaf, Pak, Anda tidak bisa keluar sekarang. Pintu akan segera ditutup, dan kami harus terbang tepat waktu. Ini sudah aturannya,” ujar pramugari dengan nada sopan namun tegas.
Auriga menatapnya sekilas, menarik napas panjang untuk menahan emosinya. “Ya, saya tahu,” jawabnya sambil melanjutkan langkah.
“Pak, jika Anda turun, kami harus mengurus dokumen ulang. Ini akan menyebabkan delay, dan—“
“Saya akan tanggung semuanya,” potong Auriga tegas, lalu menggenggam erat ponselnya. “Atau tinggal saja saya. Saya terbang dengan yang berikutnya.”
Para pramugari saling pandang, bingung dan sedikit panik. Seorang supervisor kabin dengan cepat menghampiri, mencoba menangani situasi. “Pak, ini akan memakan waktu—“
Auriga tidak menjawab lagi. Ia melangkah keluar dari pesawat sampai berlarian kecil meninggalkan pramugari yang mulai panik dengan situasi penumpang yang memutuskan turun di menit terakhir.
Sementara itu, Cecil duduk diam di kursinya, ekspresinya bingung. Dia memaki dalam hati, “Ana sialan!” ia kesal sekali dan semakin muak sekali dengan Ana, semuanya tidak sesuai rencananya.
Auriga berjalan jauh, langkahnya tergesa-gesa menyusuri setiap sudut bandara mencari keberadaan Ana. Wajahnya penuh kecemasan, matanya terus mengamati kerumunan, berharap menemukan sosok yang dicarinya.
Di benaknya, bayangan Ana tidak mau pergi. Tatapan kosong, tubuh lemah tak berdaya, dan ekspresi penuh kelelahan itu seakan terpatri di pikirannya. Ia tidak bisa mengabaikan perasaan bersalah yang semakin menghantui.
Auriga berhenti sejenak, menghela napas panjang sambil menyapu pandangannya ke seluruh area terminal. Namun, tak ada tanda-tanda gadis itu. Rasa frustrasi mulai menghampiri, tapi ia menolak menyerah.
Dia terus melanjutkan pencariannya, bertanya pada petugas keamanan, staf bandara, bahkan penumpang yang lewat, “Apakah Anda melihat seorang gadis muda, rambut sebahu, membawa tas kecil?”
“Banyak orang di sini, bagaimana bisa tau itu yang anda cari.”
Namun, jawaban yang ia terima hanya gelengan kepala atau jawaban samar. Auriga mengusap wajahnya, “Tidak bisakah sekali saja tidak membuat masalah.” Katanya kesal namun masih penuh kekhawatiran.
next akak tris 🙏
💪💪
Padahal masalah sepele “Cintq…
Huhuhu jadi ga sabar up kak 🥰🥰
serem
timakasi tris rahma 😘
km ketauan....