Menikah secara tiba-tiba dengan Dean membuat Ara memasuki babak baru kehidupannya.
Pernikahan yang awalnya ia kira akan membawanya keluar dari neraka penderitaan, namun, tak disangka ia malah memasuki neraka baru. Neraka yang diciptakan oleh Dean, suaminya yang ternyata sangat membencinya.
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? apakah Ara dapat menyelamatkan pernikahannya atau menyerah dengan perlakuan Dean?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalu Unaiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 21
Setelah kejadian pemindahan kepemilikan saham, Dean semakin sensitif terhadap Ara, ia lebih sering marah dan meledak bahkan pad hal yang sama sekali tak berkaitan dengan Ara.
Ara menjadi tempat laki-laki itu melampiaskan emosinya. Tidak hanya kata-kata kasar, kekerasan fisik juga kerap ia lakukan.
Seperti sekarang ini, hari weekend di mana biasanya Ara akan bersih-bersih.
Hari ini ia membersihkan. Perpustakaan mini yang terletak di lantai dua, merapikan buku-buku dan menatanya sesuai abjad dan tahun terbit. Menurut Ara akan mudah mencari buku jika tersusun seperti itu.
"apa aku menyuruhmu melakukannya!" teriak Dean pada Ara yang berdiri sambil memegang kemoceng di samping rak buku yang tingginya sekitar dua meter setengah.
"aku hanya merapikannya," jawab Ara, ia menunduk kembali.
Dean terlihat memperhatikan satu persatu rak yang sudah selesai Ara susun.
"aku sudah pernah bilang, jangan menyentuh barang-barang pribadiku!" hardik Dean.
Tangannya bergerak menjatuhkan semua buku-buku yang sudah disusun rapi oleh Ara.
Ia kemudian mengambil sebuah buku lalu menbaca judulnya, kemudian ia menatap tajam ke arah Ara.
Bugh
Buku itu menghantam kepala Ara. Ara meringis.
"susun kembali buku-buku itu seperti semula, kalau tidak jangan harap kau bisa keluar dari ruangan ini," ucap Dean lalu beranjak keluar, suara pintu yang ditutup dengan keras membuat Ara terlonjak kaget, badannya merosot ke lantai.
Ini memang kesalahannya, ia yang lancang menyentuh barang-barang pribadi laki-laki itu.
Ara kemudian berjongkok, memunguti buku-buku yang berserakan di lantai, sekarang sudah sore ia harus segera menyelesaikan ini atau Dean akan mengurungnya sampai malam di sini.
***
Sore itu Dean kedatangan tamu tak terduga, Bimo dan Egi. Sangat tak terduga, karna sejak ia menempati rumah itu, teman-temannya tak pernah datang berkunjung.
"aku bawa minuman, hitung-hitung syukuran rumah baru yang terlambat dilakasanakan" ucap Egi menjelaskan maksud kedatangan mereka kepada sang tuan rumah.
Egi dan Bimo terlihat meneliti rumah Dean, mereka sama-sama memutar kepala, mengagumi interior rumah yang minimalis namun terlihat mewah itu.
Mereka kini duduk di mini bar dekat ruang makan, terjejer beberapa minuman keras koleksi Dean di sana. Dean mengambil gelas dan menuangkan minuman yang tadi dibawa oleh Egi.
"David kemana?" tanya Dean menyadari personil mereka berkurang satu.
"Hari ini jadwal Mentari kemotrapi, jadi dia tidak bisa datang." Bimo memberitahu sambil terus memperhatikan seisi rumah, Dean mengangguk.
Mentari adalah pacar David, wanita itu sedang berjuang melawan kanker yang dideritanya. Mereka bertiga tau betapa David sangat mencintai wanita itu, sudah sejak mereka masih mengenakan seragam putih abu-abu. Mungkin saja jika lamarannya diterima oleh Mentari, Mereka sudah menikah sekarang ini, namun wanita itu menolak lantaran mengetahui tentang kanker yang tengah menggerogoti tubuhnya. Walau begitu David masih setia menunggu, setiap saat selalu siap siaga saat Mentari membutuhkannya, seperti sekarang ini.
"di mana dia?" pertanyaan dari Egi membuat Dean yang tengah sibuk memainkan ponselnya mendongak.
"perempuan itu, istrimu." Egi memperjelas.
Bimo juga mengedarkan pandangannya, mencari tau keberadaan perempuan yang dimaksud. Sejak mereka datang Ara memang tidak terlihat.
"dia di dalam perpustakaan di lantai dua," jawab Dean sambil meneguk minumannya.
"ohhh"
"jangan bilang kau mengurungnya di sana," sahut Bimo, ia memperhatikan ekspresi wajah Dean yang terlihat dingin.
"aku hanya menyuruhnya untuk tetap di sana sampai tugasnya selesai." Bimo terlihat sangsi mendengar jawaban Dean.
Tidak ingin memperpanjang, Bimo memilih meneguk minumannya, tatapan tajam Dean sudah cukup menjadi peringatan baginya.
***
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul Enam lewat, Ara baru selesai menyusun kembali buku-buku yang sudah ia rapikan tadi, Ia mengembalikan buku-buku tersebut sesuai dengan tempatnya semua. Mungkin tidak semua sesuai ada beberapa yang Ara lupa, tapi tidak masalah yang penting ia sudah berusaha, selebihnya biarkan Dean yang menilai apa sudah sesuai atau belum.
Ara berbalik melihat ke arah pintu di belakangnya, Ara memutar kenop pintu, ia bersyukur Dean tidak menguncinya dari luar.
Kemudian Ara keluar dari ruangan tersebut, sekarang ia harus membuat makan malam, sebentar lagi sudah waktunya makan malam.
Ketika melewati mini bar yang berada dekat meja makan, Ara melihat Bimo, yang sedang duduk menikmati minumannya, laki-laki itu tak melihatnya karna posisinya membelakangi Ara, di sampingnya terdapat Egi yang terlihat sudah teler, kepalanya bersandar di atas meja. Sedang Dean tidak ada di sana.
Tanpa menghiraukan mereka Ara melanjutkan langkahnya ke dapur, sepertinya ia harus membuat makan malam dengan porsi yng lebih banyak.
Beberapa saat kemudian makan malam pun tersaji di atas meja makan, Ara merasa bingung haruskah ia memanggil Dean untuk mengajak teman-temannya makan atau ia biarkan saja.
Dua orang yang sedang duduk di mini bar itu sepertinya sudah sama-sama mabuk.
Lalu Ara mendekat memastikan, Bimo terlihat tertidur sambil bertopang dagu, sedangkan Egi bersandar pada meja dengan tangan masih memegang gelas.
Ara memutuskan untuk memanggil Dean, kedua temannya itu harus dipindahkan. Bahaya jika mereka oleng dan jatuh dari kursi tinggi itu.
***
Byurr
Suara itu seketika membuat Bimo membuka mata, ia memijat pelipisnya, sedikit pusing, mabuk sore hari ternyata ide yang buruk.
Bimo tersadar lagi dari mana asalnya suara itu, ia melihat sekeliling, memeriksa apakah ada kolam renang di luar melalui jendela, tidak ada, lalu di mana asal suara benda tercebur itu.
Bimo kemudian bangkit berdiri, ia mendekat ke arah meja makan, makan malam ternyata sudah tersaji, berarti Ara sudah keluar dari perpustakaan.
Dari arah luar Bimo mendengar suara air, ia kemudian mengintip melalui jendela.
Pada detik ia melihat Ara di dalam kolam renang dengan tangan berusaha menggapai udara, kepala perempuan itu hilang timbul di permukaan kolam, detik itu juga Bima langsung berlari, seolah kesadarannya kembali sepenuhnya.
Saat mencapai bibir kolam ia langsung meloncat ke dalam berusaha menggapai Ara di tengah kolam yang terlihat hampir kehabisan nafas.
Bimo berusaha secepat mungkin, namun saat tangannya sudah mencapai Ara, perempuan itu sudah tak sadarkan diri.
Bimo membawanya ke bibir kolam, mengeluarkannya dari kolam dan membaringkannya di tempat yang kering di tepi kolam.
"Ara... Ara...."
Panggil Bimo sambil menepuk pelan pipi Ara. Ara tak bergeming, kemudian Bimo memutuskan melakukan RJP, ia memposisikan tangannya di depan dada Ara lalu menekan dengan kecepatan 1–2 tekanan per detik, sambil terus memanggil nama Ara.
Bimo mendekatkan telinganya pada wajah Ara memeriksa apakah ia sudah mulai bernafas, tapi nihil.
"Ara!...."
Kepanikan menyerang Bimo, ia masih berusaha melakukan RJP, kemudian ia berhenti, tangannya kini berpindah menjepit hidung Ara, lalu menempatkan wajahnya di depat wajah Ara, tangan satunya membuka bibir Ara, Wajah Bima mendekat menempelkan bibirnya pada bibir Ara untuk memberikan nafas buatan.
Bimo perlahan meniupkan udara ke dalam mulut Ara, tiupan pertama masih tak ada respon.
Tidak ingin menyerah Bimo kembali memberikan tiupan kedua, rasa-rasanya nafasnya juga ikut menghilang seiring Ara yang masih belum merespon
"uhuk... Uhuk... Uhukk.."
Ara terbatuk, mengeluarkan air yang menyumbat saluran pernafasannya.
"Araa.... Syukurlah...."
Bimo mengembuskan nafas lega, seluruh tubuhnya bergetar, beberapa detik yang lalu itu begitu menakutkan. Ia memeluk Ara dengan erat, menyalurkan rasa khawatirnya beberapa saat lalu.
"bagaimana kamu bisa terjatuh ke dalam kolam itu?" tanya Bimo setelah Ara sudah sedikit tenang.
"kau tidak bisa berenang?"
Ara menggeleng, Bimo berdecak lalu membantu Ara berdiri dan mendudukkannya di kursi malas dekat kolam.
"Tunggu di sini aku ambilkan handuk," ujar Bimo lalu melangkahkan kakinya.
"di mana aku bisa menemukannya?" Bimo kembali, ia lupa bertanya letak handuk pada Ara.
"kau bisa menemukannya di kamar mandi dekat dapur," jawab Ara, Bimo kemudian mengangguk sambil beranjak.
Sepeninggalan Bimo, Ara menatap kosong pada kolam di depannya ia duduk sambil memeluk lututnya sendiri, air matanya menetes, ia menangis menenggelamkan wajahnya di atas lutut.
Sebagian dari dirinya berharap ia tak selamat tadi, sebagian lagi ia merasa bersyukur, artinya Tuhan masih memberinya kesempatan.
Ara mengangkat wajahnya kembali, buru-buru menghapus air matanya, ia tak ingin Bimo melihatnya menangis, Ara kembali menoleh ke samping kanan, di sana berdiri seseorang yang sejak tadi hanya diam memperhatikannya.
Dean masih di situ, Berdiri di samping beton yang memisahkan area taman belakang dan kolam renang, setelah membuat Ara jatuh ke dalam kolam, laki-laki itu hanya diam.
Ia kini menatap Ara tajam, Ara membalas dengan tatapan sayu, sedih dan amarah kini bercampur.
Sebegitu bencikah Dean kepadanya hingga laki-laki itu berniat membunuhnya? Ara kembali menangis, dadanya terasa sakit, apa sedikit saja Dean tidak merasa kasihan terhadapnya.
Mereka masih bertatapan, hingga Ara mendengar suara langkah kaki mendekat, lalu Dean pun meninggalkan tempat itu.
"ini, aku membawa dua, keringkan badan dan rambutmu," kata Bimo sambil menyerahkan dua handuk tersebut kepada Ara.
"terima kasih, maaf sudah merepotkan kamu."
Bimo membalas dengan tersenyum sambil membantu Ara mengeringkan rambut. Padahal ia pun basah kuyup.