Sepeninggal suami, Nani terpaksa harus bekerja sebagai seorang TKW dan menitipkan anak semata wayangnya Rima pada ayah dan ibu tirinya.
Nani tak tau kalau sepeninggalnya, Rima sering sekali mengalami kekerasan, hingga tubuhnya kurus kering tak terawat.
Mampukah Nani membalas perlakuan kejam keluarganya pada sang putri?
Ikuti kisah perjuangan Nani sebagai seorang ibu tunggal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dita jadi pencopet
Ziva menangis dalam kamarnya. Tubuh kecilnya harus menerima serangan mengerikan dari laki-laki dewasa yang lebih pantas dia panggil kakek.
Dia usap kasar matanya, lalu membuka tasnya. Di sana ada uang yang di berikan oleh Dini usai dirinya melayani Baron.
Ingin sekali Ziva memaki temannya yang justru dengan tega menjualnya kepada lelaki hidung belang.
Ziva ketakutan bagaimana kalau orang tua dan keluarganya tau, bisa mati dia di bunuh oleh mereka.
Lalu dia mengambil ponsel canggih yang jadi impiannya. Senyum indah terukir di bibirnya, melupakan rasa sakit hati dan ketakutannya.
Dia bergegas menyalakan ponselnya dan memasukkan kartu providernya. Ziva tersenyum saat semua yang dia korbankan berbuah manis.
Bahkan saat ini dia memiliki uang yang sangat besar yang sengaja dia titipkan kepada Dini.
Rencananya dia akan membuat buku tabungan sesuai perintah Dini agar keluargaku tak curiga mengapa aku memiliki uang yang banyak.
Di dompetnya hanya ada uang sebesar lima ratus ribu.
Dia segera menutup tasnya dan menyimpan ponselnya karena harus segera membersihkan diri.
Ada juga sekantung obat yang di berikan oleh Dini untuk mengobati luka bagian intinya. Meski kesal tapi dia berterima kasih juga pada temannya yang masih memperhatikan dirinya.
Ziva masih kesusahan berjalan, gesekan membuatnya intinya perih. Namun ia tak punya pilihan, ia harus segera membersihkan diri.
Hatinya mencelos saat Dita mengagetkannya. "Kamu kenapa Va? Kok jalannya begitu?" tanyanya heran.
"Ya Allah tante! Ngagetin aja sih!" gerutu Ziva kesal
"Dih kenapa marah, tante cuma tanya kamu kenapa? Lagi dapet?"
Di pikiran Dita Ziva mungkin sedang menstruasi oleh sebab itu ia seperti kesusahan berjalan sebab pembalut yang mengganjal.
Mengapa dia berpikir seperti itu sebab dia sendiri merasakan tidak enaknya mengenakan pembalut.
"Kenapa kalian?" sergah Tyas yang baru keluar dari kamarnya.
"Itu Ziva kena mens kali jalannya kesusahan. Kamu pake pembalut murahan ya Va?" tanya Dita.
Ziva merasa lega karena keluarganya tak mencurigai ada yang berbeda dengan dirinya.
Tyas sendiri menyadari sejak putrinya pulang ada yang berbeda. Saat itu dia mengingat cara berjalan Ziva seperti saat dirinya mengalami percintaan pertama dengan suaminya.
Namun pikiran itu segera di tepis saat ucapan Dita yang menyinggung tentang pembalut murah.
"Ya mau gimana lagi Va, meskipun ngga nyaman kamu harus pake kan?" sambar Tyas acuh.
Ziva memilih meninggalkan ibu dan tantenya dan bergegas mandi.
Usai mandi dia menuju meja makan karena perutnya terasa keroncongan. Lagi-lagi hanya telur ceplok lauk yang ada di meja makan.
"Mah, apa ngga ada lauk lain? Kenapa telur ceplok terus sih! Bosan tau!" gerutunya.
"Ziva! Untung masih bisa makan, kamu ini kerjanya protes aja!" kesal Tyas.
Bahkan makan malam itu juga hasil dari kerja Titik sebagai buruh cuci.
"Untung kamu di kasih makan Va, kamu pikir lauk ini uang dari mamahmu?" cibir Dita.
Merasa harga dirinya di injak-injak, Tyas melempar sendoknya dengan kasar.
"Maksud kamu apa Dit! Udah sewajarnya kalian membantu kebutuhan kami! Untung masih bisa tinggal di sini, kamu ngga mau kan di usir? Mau tinggal di mana kamu!" sungut Tyas.
"Sudah-sudah, bisa ngga sih kalian ngga ribut, pusing tau aku, cape kerja, pulang-pulang malah denger kalian ribut terus!" sela Yanto kesal.
"Kamu juga Pah! Ngeluh cape tapi ngga pernah bawa duit banyak, mana duit setoran!" paksa Tyas sambil menengadahkan tangannya.
Tyas memberengut kala Yanto hanya memberinya uang sebesar lima puluh ribu rupiah.
"Apa ini Pah, kok cuma segini? Aku harus bayar cicilan sofa. Aku udah janji sama Bu Sri kalau besok aku mau bayar! Belum lagi tagihan listrik," cecarnya tak terima.
Yanto menggebrak meja kesal, jerih payahnya tak pernah di hargai sama sekali oleh sang istri.
"Kamu itu taunya cuma minta aja! Dari dulu juga aku sanggupnya segitu, dulu kamu ngga ngeluh kenapa sekarang ngeluh!" balas Yanto sengit.
Titik, Ziva dan Dita yang malas mendengarkan keributan keduanya memilih segera meninggalkan meja makan dan istirahat d kamar masing-masing.
"Aku dulu ngga peduli sama berapa penghasilan kamu kan karena masih bisa morotin si Nina! Sekarang udah ngga ada lagi yang bisa di andelin selain kamu pah! Makanya papah yang bener cari duitnya!" bentak Tyas.
Yanto menyugar rambutnya kasar, lalu bangkit hendak meninggalkan Tyas.
Dirinya pusing selalu mendengar omelan Tyas, rumahnya seperti di neraka semenjak tak mendapatkan sokongan uang dari Nina lagi.
"Pah! Kamu mau ke mana? Kebiasaan kalau aku lagi ngomong maen pergi aja!" ketusnya.
Tyas mencekal tangan sang suami tapi segera di tepis kasar oleh Yanto.
"Kamu itu marah-marah bukannya ngomong! Kalau ngomong itu baik-baik!" balas Yanto dengan ketus juga.
"Papah tau kan aku tu pusing—"
"Ah udahlah papah cape, mending keluar dari pada di rumah dengerin kamu nyerocos terus!" potong Yanto lalu pergi.
Tyas mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu. Dadanya kembang kempis, entah harus bagaimana lagi bicara dengan suaminya.
Kebutuhan rumahnya membengkak, tapi seolah suaminya tutup mata dan telinga.
Beruntung sang ibu memiliki penghasilan, jadi untuk mengisi perutnya masih bisa di andalkan.
Namun kebutuhan yang lain? Hutang yang sudah tanggung dia ambil tanpa memikirkan risikonya?
"Gara-gara si Nina balik, hidupku jadi sengsara begini! Udah gitu pelit banget ngga mau berbagi!" gerutunya.
Paginya, suasana di kediaman Tyas tampak damai. Mereka makan tanpa bicara atau pun protes.
Lauk yang sama setiap pagi, nasi goreng. Ziva tampak semangat pagi ini karena dia bisa membungkam mulut Clarisa dengan ponsel barunya.
Dia belum menunjukkan pada keluarganya sebab bingung akan beralasan apa, dia berpikir akan meminta bantuan Dini nanti.
"Kamu udah rapi mau ke mana Dit?" tanya Titik sambil melihat penampilan putri bungsunya yang sudah mandi.
"Cari kerjalah Bu! Katanya kemarin suruh kerja!" jawabnya ketus.
"Alhamdulillah," Titik lega kalau nasehatnya akhirnya di dengar.
"Nah gitu dong! Jangan lupa ngasih mbak, itung-itung biaya ngontrak kamu!" sambar Tyas.
Titik memberikan uang pada Ziva dan Dita. Ingin Ziva tolak tapi nanti keluarganya curiga, akhirnya dia terpaksa mengambilnya tanpa mengucapkan terima kasih.
Dita memilih pergi ke area pasar, di sana banyak toko-toko, siapa tau ada yang membuka lowongan pikir Dita.
Di sepanjang jalan pusat pasar tak ada yang membuka lowongan, akhirnya Dita memilih masuk ke pasar, siapa tau di dalam ada yang mau menerimanya.
Imannya di uji kala melihat seorang pembeli menggunakan tas terbuka dan terlihat dompetnya menyembul.
Pikiran jahat Dita seketika muncul melihat penampilan ibu paruh baya yang tampak kaya.
Kedua tangan ibu itu memakai gelang besar, jadi Dita berpikir dompetnya pasti banyak uangnya.
Dita memepet ibu itu, aksinya di dukung karena pasar yang juga masih ramai.
Sang ibu juga tidak curiga kala ada orang yang mepet ke arahnya.
Tiba-tiba sret ...
Dita berhasil mengambil dompet si ibu lalu segera menaruhnya ke dalam tas.
Sayangnya, aksinya kepergok seseorang di sebelah sang ibu tadi.
"Bu-Bu dompet ibu di copet!" ujarnya memberi tahu.
Si ibu yang dompetnya di curi lantas mengeceknya, setelah itu langsung berteriak.
"Maling ... Maling. Copet ... Tolong dompet saya!" teriaknya histeris.
Para pengunjung sontak menoleh ke arah si ibu dan melihat arah yang di tunjuknya.
"Mana copetnya Bu?"
"Itu mas yang pake kaos biru tas cokelat, perempuan itu," jawab ibu yang tadi melihat aksi Dita.
Dita yang mendengar terikan dari arah belakang, bergegas lari tunggang langgang.
Dia berlari sampai ke depan pasar dan melewati Toko Nina.
Nina yang mendengar ada keributan di pasar lalu ke depan.
"Ada apa Las?" tanyanya penasaran.
"Itu bu ada copet. Dasar pemalas, perempuan kok maling," gerutu Lastri.
"Hah perempuan?" tanya Nina tak percaya. Lastri hanya mengangguk.
Sayangnya Dita yang sudah panik tak melihat langkahnya, hingga dia terperosok jatuh ke selokan pasar.
Dahinya berdarah karena terkena pinggiran got, bahkan gigi depannya tanggal satu.
.
.
.
Tbc.