Lintang Anastasya, gadis yang bekerja sebagai karyawan itu terpaksa menikah dengan Yudha Anggara atas desakan anak Yudha yang bernama Lion Anggara.
Yudha yang berstatus duda sangat mencintai Lintang yang mengurus anaknya dengan baik dan mau menjadi istrinya. Meskipun gadis itu terus mengutarakan kebenciannya pada sang suami, tak menyurutkan cinta Yudha yang sangat besar.
Kenapa Lintang sangat membenci Yudha?
Ada apa di masa lalu mereka?
Apakah Yudha mampu meluluhkan hati Lintang yang sekeras batu dengan cinta tulus yang ia miliki?
Simak selengkapnya hanya di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21. Terluka
Lintang membawa Lion ke kamarnya. Mendudukkan bocah itu di tepi ranjang. Berjalan miring menuju lemari lalu melepas jas milik Yudha. Meletakkannya di keranjang kotor. Setelah mengambil baju ganti, Lintang mendekati Lion yang terlihat anteng.
"Lion di sini dulu, ya. Tante mau mandi, setelah itu kita main," pesan Lintang pada Lion.
Bocah itu mengangguk mengerti. Menatap punggung Lintang yang keluar dari kamar tanpa menutup pintu.
"Tante cantik mau ke mana?" gumam Lion bingung.
Jika di rumahnya terdapat kamar mandi di setiap kamar. Beda dengan rumah Lintang, yang hanya ada satu kamar mandi, itu pun di belakang dekat dapur.
Lion turun, melangkah kecil melewati pintu kamar. Celingukan ke sana kemari mencari keberadaan Lintang yang tak nampak. Suara orang batuk membuat Lion berjalan ke arah sumber suara.
"Apa ini kamar mandinya tante cantik?" Berhenti di depan pintu ruangan yang sedikit terbuka. Saking penasarannya, Lion maranggeh knop dan membuka pintunya perlahan.
Pandangannya langsung berhenti pada sosok wanita tua yang berbaring di atas ranjang. Dia adalah Bu Fatimah, ibu Lintang. Tidak ada rasa takut sedikitpun. Lion mendekati wanita itu yang masih memegang leher lalu mengambil segelas air putih yang ada di meja samping pembaringan.
"Oma haus?" tanya Lion polos. Menyodorkan gelas yang diambilnya di depan Bu Fatimah.
Bu Fatimah menatap Lion dengan tatapan curiga. Napasnya memburu, menepis gelas yang ada di tangan Lion hingga jatuh dan pecah.
"Pergi kamu dari sini!" teriak Bu Fatimah mendorong tubuh kecil Lion.
Sekujur tubuh Lion gemetar dan lemas. Kakinya terasa berat dan tak bisa melangkah. Wajahnya menciut saat melihat mata bu Fatimah melotot ke arahnya.
Menahan tangis hingga dadanya terasa sesak.
"Tante cantik, aku takut," ucapnya dengan bibir bergetar. Matanya mulai mengeluarkan cairan bening dan membasahi pipi. Mendekap kedua tangannya di dada dan menunduk menatap serpihan gelas yang berserakan di dekat kakinya.
Bu Fatimah meraih bantal dan melempar ke arah Lion hingga bocah itu jatuh tersungkur. Kepalanya terbentur dinding dan terluka. Bertepatan dengan itu, Lintang melintas di depan kamar. Matanya langsung menangkap tubuh mungil Lion yang terkapar di atas Lantai.
"Lion," jerit Lintang membuang handuk nya. Membiarkan rambut basahnya acak-acakan.
"Lion bangun!" Menyandarkan kepala Lion di pangkuannya, dan betapa terkejutnya saat melihat darah mengalir dari balik rambut tebal bocah itu.
"Lion bamgun! Sayang, kamu kenapa?" ucap Lintang diiringi air mata. Terus menggoyang-goyangkan tubuh Lion yang tak bergerak.
Ia menatap sang ibu yang merangkul kedua lututnya di atas ranjang. Tampak ketakutan dan terus menggeleng.
"Ibu, Lion kenapa?" tanya Lintang pada sang ibu.
Tak ada jawaban, Bu Fatimah menggigit sepuluh jarinya lalu tertawa. Kembali melempar bantal ke arah Lintang yang bersimpuh.
"Ada dua bantal di sini, ada pecahan gelas juga. Ya Allah jangan-jangan ibu yang sudah __"
Lintang tak meneruskan ucapannya, ia mengangkat tubuh Lion dan membawanya keluar. Berteriak sambil berlari menghampiri Andreas yang bersandar di mobil.
"Pak, tolongin Lion," ucap Lintang terbata. Tangannya menyangga kepala Lion yang masih mengeluarkan darah segar.
"Lion kenapa?" tanya Andreas tak kalah terkejut. Ia membuka pintu mobil bagian belakang.
"Cepat, ke rumah sakit, nanti saya ceritakan,'' ucap Lintang tersengal menahan tangis.
"Pak, berhenti sebentar!"
Lintang membuka kaca saat melihat Luna duduk di teras.
"Mbak Luna, tolong kunci pintu rumah saya, tadi ada pecahan gelas di kamar Ibu, tolong di bersihkan. Maaf merepotkan," pinta Lintang tanpa keluar dari mobil.
"Iya, aku ke rumah kamu sekarang."
Tanpa banyak tanya, Luna langsung berlari ke rumah Lintang.
Hanya Luna, satu-satunya orang yang bisa menolong Lintang disaat keadaan ibunya kumat. Hanya wanita itulah yang menjadi dewi pelindungnya.
Lintang terisak. Matanya tak teralihkan dari wajah Lion yang semakin pucat. Bibirnya mulai membiru membuatnya semakin takut.
Ya Allah, selamatkan Lion, jangan sampai terjadi apa-apa padanya.
"Pak, cepetan sedikit!" Lintang terus menciumi tangan mungil Lion.
"Sayang, bangun! Jangan membuat tante takut."
Sebenarnya ada apa dengan Lion? Kenapa kepalanya sampai berdarah, apa dia jatuh?
Andreas hanya bergumam dalam hati.
Selang dua puluh menit, mobil Andreas berhenti di depan rumah sakit. Sang asisten memanggil dokter dan mendorong brankar ke arah mobilnya.
Membuka pintu mobil, mengangkat tubuh Lion yang dipenuhi dengan cairan merah pekat.
Lintang terus menangis mengikuti ke mana dokter pergi.
"Lion kenapa, Pak Andreas?'' tanya Dokter Hana, salah satu dokter yang sudah mengenal keluarga Anggara.
"Lion jatuh," jawab Andreas singkat. Tak mau memberatkan Lintang yang pasti saat ini merasa bersalah.
Setelah dokter membawa Lion ke ruangan khusus, Andreas langsung menghubungi Yudha. Tanpa basa-basi, ia menceritakan keadaan bocah itu.
Andreas menatap Lintang yang masih terisak sambil bersandar di dinding. Bajunya kusut dan dipenuhi dengan noda merah. Terlihat jelas jika wanita itu pun sangat kacau.
"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Lion sampai terluka?" tanya Andreas. Sebagai asisten yang bertugas menjaga Lion, ia juga perlu tahu.
Lintang menggeleng, ia masih belum bisa menceritakan semuanya pada Andreas.
Hening
Bagaimana ini, pasti pak Yudha marah padaku. Bagaimana kalau sampai dia melapor ke polisi, kasihan ibu.
Ini pertama kalinya Lintang takut pada Yudha, bukan apa-apa, ia hanya memikirkan nasib sang ibu setelah kejadian ini.
Lintang menghampiri Andreas yang duduk di kursi. Ia tampak ragu, namun juga tak ingin diam saja. Andreas harus tahu semuanya.
Andreas mendongak, menatap Lintang yang berdiri di depannya. meskipun ingin tahu kronologinya, ia tak mau memaksa Lintang untuk bercerita.
"Saya tidak tahu apa yang terjadi. Waktu saya keluar dari kamar mandi, tiba-tiba saja Lion sudah pingsan di kamar ibu. Di sana ada gelas pecah dan juga bantal berserakan di lantai.''
Berhenti sejenak untuk menghela napas.
''Tapi saya yakin ibu tidak sengaja melakukan itu," lanjutnya.
Lintang menceritakan apa yang ia lihat. Tak ingin menutupi semuanya dari Andreas yang terlihat khawatir.
"Apa?" pekik Yudha dengan tiba-tiba. Entah dari kapan datangnya pria itu, Andreas maupun Lintang tidak menyadari kedatangannya.
Yudha melangkah lebar menghampiri Lintang dan Andreas yang saling berhadapan. Menatap Lintang dengan tatapan intimidasi.
"Jadi Lion pingsan gara-gara ibu kamu. Apa ibu kamu sudah gila, berani menyakiti Lion sampai pingsan."
Plak
Lintang mendaratkan sebuah tamparan di pipi kokoh Yudha. Ia sudah tak tahan dengan ucapan Yudha yang mengatakan ibunya gila, meskipun itu fakta, tetap saja seperti sebuah penghinaan baginya.
Yudha mengelus pipinya yang terasa perih, kedua tangannya mengepal sempurna dengan gigi mengerat. Menatap Lintang semakin tajam bak musuh dalam peperangan.
"Ibuku memang gila karena dia tidak sanggup mengemban beban berat dalam hidupnya. Jiwanya terguncang saat seseorang berani merendahkan dan menghina nya. Dia kehilangan akal sehat karena ditinggalkan orang tercinta. Apa Bapak mau melaporkan dia ke polisi? Silahkan! Saya yang akan bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Lion. Saya yang akan menanggung semuanya."
🤡 lawak kali kau thor