Kusuma Pawening, gadis remaja yang masih duduk di bangku SMA itu tiba-tiba harus menjadi seorang istri pria dewasa yang dingin dan arogan. Seno Ardiguna.
Semua itu terjadi lantaran harus menggantikan kakanya yang gagal menikah akibat sudah berbadan dua.
"Om, yakin tidak tertarik padaku?"
"Jangan coba-coba menggodaku, dasar bocah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Gadis itu menelan saliva gugup. Pemandangan macam apa ini? Kenapa harus membuka keseluruhan. Membuat anak gadis orang gagal fokus saja.
"Memunggung Om," ujar gadis itu mununduk kikuk.
Seno menurut, berbalik badan hingga gadis itu tepat di belakangnya. Lekas mengoles perlahan pada luka punggung suaminya yang sudah mulai membiru.
"Sakit?" tanya gadis itu membayangkan perih jika obat itu menempel pada kulit yang sedikit lecet.
"Ada dikit, nggak pa-pa, olesi saja hingga rata," ujar pria itu antara sakit sedikit banyak senangnya.
Entahlah, sepertinya sudah mulai eror, saat gadis itu mulai memberi perhatian kenapa justru pria yang kemarin-kemarin begitu anti itu terasa senang.
"Udah," kata gadis itu memberi jarak. Mengemas kembali obat itu ke dalam wadahnya.
"Makasih," ucap pria itu memutar tubuhnya hingga membuat netra itu bertemu.
Gadis itu mengangguk sebagai respon. Beranjak ke kamar mandi untuk mencuci tangannya.
"Wening balik ke kamar ya, Om, selamat beristirahat!" ucap perempuan itu melangkah keluar.
Eh, eh, kenapa malah Seno gemas sendiri. Ingin membuka mulutnya mengatakan sesuatu, tetapi begitu sulit nada itu keluar.
"Ning!" panggil pria itu menghentikan langkah gadis itu yang hampir menghilang diambang pintu.
Spontan perempuan itu mengerem langkahnya, memutar tubuh itu dengan raut tanda tanya.
"Kenapa, Om?"
"Emm ...." Seno mendadak kikuk sendiri. Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Ada apa, Om?" ulang gadis itu belum beranjak. Menatap suaminya yang mendadak seperti bingung sendiri.
"Besok jangan lupa bangunin aku ya, sebelum pukul enam, sekalian siapin pakaian ganti aku buat ke kantor," pesan pria itu cukup lancar.
"Owh ... harus ya?" tanya Wening dengan polosnya.
"Iya lah, kenapa? Keberatan?" balas Seno kembali kesal.
"Enggak kok, oke deh, semoga nggak kesiangan, soalnya nggak punya alarm," kilah gadis itu benar adanya.
"Maaf soal tadi siang nggak sengaja, itu handphone yang baru pakai aja, biar gampang juga buat komunikasi."
Wening tersenyum, sungguh gadis itu manis sekali. Tapi kenapa senyuman itu mirip sekali dengan Rara, merusak mood saja.
"Makasih Om, besok Wening benerin dulu, kalau nggak bisa ya mau gimana lagi."
"Ya udah, bawa aja dulu, kalau nggak bisa diservis langsung pakai yang baru aja. Nomor aku ada di kontak pertama," ujar pria itu terdengar begitu lembut.
Tidak seperti biasanya yang ketus dan galak. Ada apa dengan pria itu?
"Baiklah kalau Om maksa, boleh juga, Wening bawa dulu," ujar gadis itu kembali masuk.
Meraih paper bag di atas meja kerja. Lalu membawanya keluar dengan perasaan biasa saja. Tidak lebih senang dari pertama membeli handphone yang rusak karena jerih payah menabung. Padahal jelas, ponsel dari suaminya itu lebih bagus.
Wening langsung masuk ke kamarnya, menuju ranjang dan langsung tertidur. Sementara Seno tidak bisa menemukan kantuknya barang sejenak pun. Ini adalah malam pertama mereka tinggal di rumah baru, dan malam pertama pula mereka pisah ranjang. Kenapa seperti ada yang hilang.
Seno gelisah sendiri, mencoba memejamkan matanya tapi tak kunjung menemukan kantuk.
"Aku kenapa sih," gerutu Seno kesal sendiri. Kembali terbangun, keluar kamar tak tenang. Langkahnya menuruni anak tangga, menuju dapur tak ada yang harus dikerjakan. Mengambil minum air putih, lalu duduk sejenak di sana.
Setelah beberapa saat berlalu, Seno belum juga ngantuk. Hatinya gamang gelisah galau merana. Langkah kakinya bukan menuju ke lantai atas, melainkan ke kamar tamu yang saat ini di tempati istrinya. Pria itu berdiri tepat di depan pintu dengan perasaan aneh.
"Kenapa aku ke sini. Wening udah tidur belum ya?" tanya pria itu pada diri sendiri.
Tangan kanan pria itu menekan handle pintu. Ada perasaan ragu tapi cukup penasaran. Akhirnya memutuskan untuk membuka sedikit, lalu melongok ke dalam. Gadis itu sudah tertidur, membuatnya penuh keberanian untuk masuk dan mendekat.
"Dasar istri kecil nggak pekaan, disuruh tidur sekamar malah minta pisah ranjang. Mana tidurnya nyenyak banget lagi, nggak fair nih, aku aja nggak bisa tidur," gumam Seno gemas sendiri sembari menatap istrinya yang sudah terlelap damai.
Pria itu mendekat, duduk di bibir ranjang. Menatap tanpa jeda, ada perasaan kesal, kasihan, dan juga apalah. Sungguh pria itu membenci keadaan di mana ia harus gagal menikah dengan Rara dengan semua pengkhianatan yang telah didapat. Terkadang wajahnya yang mirip membuatnya semakin kesal saja, tapi ada hal lainnya yang tidak bisa Seno sendiri definisikan.
Lama-lama netra itu berat juga, malas beranjak membuat pria itu memilih menaiki ranjang yang sama. Ikut masuk ke dalam selimut dalam pelukan. Kenapa ngantuk sekali, pria itu berinisiatif merebah sejenak lalu akan berpindah pagi-pagi. Terlelap begitu damai malam itu di kamar yang sama, di ranjang yang senada, di bawah gelungan satu selimut berdua.