Seorang penulis pemula yang terjebak di dalam cerita buatannya sendiri. Dia terseret oleh alur cerita yang dibuatnya, bahkan plot twist yang sama sekali tak terpikirkan sebelumnya. Penasaran kelanjutan cerita ini? Ikuti lah kisah selengkapnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shan_Neen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
“Bu, aku pulang,” seru Marlin saat masuk ke dalam rumah.
“Kau sudah pulang? Makanlah. Kau pasti lapar,” ucap sang Ibu.
Gadis tersebut menanggalkan tas yang dia bawa dan meletakkan map binder yang juga ia tenteng sedari pagi ke sana kemari di atas sofa ruang tamu.
Ibu Marlin menyodorkan semangkuk penuh nasi hangat, dan beberapa lauk di atas meja makan.
Dia pun lalu ikut duduk berhadapan dengan sang putri yang baru saja pulang wawancara.
“Bagaimana tesnya? Kau tidak membuat kesalahan saat menjawab bukan?” tanya Nyonya Yang penasaran.
Marlin nampak kesulitan menelan karena ibunya terus bertanya. Dia cepat-cepat meraih segelas air yang sudah tersedia dan meneguknya hingga tandas.
“Ah... Leganya,” gumamnya.
Dia pun meletakkan lagi gelasnya ke atas meja.
“Bu, aku sedang makan. Pertanyaan mu itu banyak sekali,” lanjut Marlin mengeluh.
“Ish... Anak ini. Ibu kan hanya penasaran saja. Dasar pelit,” keluh Nyonya Yang balik.
“Belum ada pengumuman, Bu. Katanya nanti akan diinformasikan melalui E-mail masing-masing,” jawab Marlin.
Dia kembali mengambil lauk yang ada, dan menyuapkannya ke mulut sendiri.
Ibu Marlin tidak lagi bertanya dan membiarkan anak gadisnya menghabiskan makan malamnya.
Namun, saat Ibunya hendak bangun dari tempat makan, Marlin teringat akan sesuatu dan membuat Ibunya kembali duduk.
“Bu, sejak kapan La' Grande ada?” tanya Marlin.
“Maksudmu berdiri?” tanya Ibu Marlin balik.
“Ehm... Itu maksudku,” sahut Marlin.
“Entahlah. Setahu ibu, sudah sejak dulu. Bahkan saat ibu masih kecil, perusahaan itu sudah ada, walaupun belum sebesar sekarang. Memang ada apa? Bukannya kau yang sangat tertarik dengan perusahaan itu. Harusnya kau yang lebih tahu dari pada ibu. Aneh sekali,” jawab sang Ibu.
“Benarkah? Hehehe... Sepertinya memang seharusnya begitu,” sahut Marlin yang justru membuat ibunya semakin bingung.
“Sudahlah. Kau makan saja, nanti keburu dingin,” seru sang Ibu.
...🐟🐟🐟🐟🐟
...
Sementara di tempat lain, di dalam sebuah kantor dengan dinding sekat kaca, tampak seorang pria dengan kemeja merah Maroon dan rambut ber-layer pirang, tengah duduk di kursinya sambil memandangi sebuah kertas berisi profil calon pegawai.
Disamping profil calon pegawai itu, ada juga sebuah gambar desain tiga dimensi yang dibuat manual dengan pensil.
Tiba-tiba, suara pintu terbuka membuat dia menoleh dan mengalihkan perhatian dari atas meja.
“Br*ngsek! Tua b*ngka itu selalu saja ingin membuatku tinggal. Jelas-jelas aku sudah mu*k dengan semua yang ada di sini!” keluh seorang pria yang langsung membanting tubuhnya ke atas sofa, begitu dia datang.
Pria dengan abu-abu dengan celana jeans biru, serta rambut hitam legam nampak begitu kesal akan sesuatu.
“Ada apa lagi memangnya? Apa rencana kakek kali ini? Apa kau akan dijodohkan?” tanya si pria kemeja Maroon iseng.
“Benar-benar si*l! Alasan yang sangat klise hanya agar anak-anak mau tetap tinggal,” sahut pria tadi.
“Really? Dengan siapa? Siapa yang akan menjadi wanita paling beruntung itu, hah? Hahaha...,” kelakar si pria Maroon.
“F*ck you, Daanish!” umpat si pria tadi.
“Hahahaha....,” Daanish justru semakin terbahak mendengar umpatan pria itu.
Dia berjalan menuju sofa dan duduk di hadapan si pria berkaus abu-abu tadi.
“Camilla,” ucap pria tadi.
Hal itu sontak membuat Daanish terdiam, dengan wajah terkejut. Dia bahkan sampai mencondongkan tubuhnya ke arah pria tersebut, seolah menuntut penjelasan.
“Dominic yang memberi tahu ku. Dia selalu menjadi orang yang menyebalkan setelah kakek,” lanjut pria tadi.
“Tunggu dulu, Aiden. Setahuku Camilla itu dekat dengan Ethan. Apa kakekmu tau hal itu?” tanya Daanish.
Pria tadi yang ternyata bernama Aiden, tidak lagi menjawab dan hanya diam sembari merebahkan punggungnya di sandaran sofa, dengan mata yang rapat terpejam.
Sementara Daanish, dia kembali bersandar di sofa, dengan kedua tangannya terentang di atas sandaran.
“Tapi, sepertinya tak ada ruginya jika dengan Camilla. Dia tipe wanita idaman semua pria. Aku rasa itu mungkin jadi pertimbangan kakekmu juga,” Lanjut Daanish.
“Heh... Wanita idaman,” ucap Aiden dengan senyum mengejek.
Dari ekspresinya, nampak ketidak tertariknya pada wanita yang tengah mereka bicarakan.
Tiba-tiba, Aiden membuka mata dan bangun dari duduknya, membuat Daanish ikut menegakkan badan yang sedari tadi bersandar.
"Aku kemari ingin menitipkan ini padamu," ucap Aiden yang meletakkan sebuah amplop coklat di atas meja.
"Apa ini?" tanya Daanish.
"Lihat saja sendiri. aku pergi," sahut Aiden yang melangkah hendak pergi.
“Mau kemana kau?” tanya Daanish.
“Mencari badut,” sahut Aiden asal.
Dia pun pergi meninggalkan Daanish yang hanya bisa geleng kepala dengan sikap pria itu.
...🐟🐟🐟🐟🐟
...
Tiga hari telah berlalu, dan kehidupan terus berjalan. Marlin yang saat ini tengah berada di kamarnya, nampak mencoret-coret buku catatan miliknya.
“Hah....,” helaan nafas yang terdengar begitu berat ke luar dari mulut gadis tersebut.
Dia merasa frustasi dengan kondisinya.
“Sampai kapan aku harus ada di sini? Ini memang Metropolis, tapi La' Gande... itu hanya khayalan ku. Sama sekali tidak nyata,” ucapnya sembari mengusap wajah hingga rambutnya ke belakang tengkuk.
Marlin mengangkat kedua kakinya naik ke atas kursi, lalu memeluk kedua lututnya erat.
Tatapannya tertuju pada buku catatan yang baru saja ia tinggalkan.
Rupanya, sudah beberapa saat lalu dia kembali mengingat hal-hal apa saja yang ia tulis dalam ceritanya.
Dia ingin memastikan apakah kondisi aneh ini benar-benar adalah cerita yang dia buat sendiri.
Terlebih, Marlin tak ingin ikut campur dalam jalan utama cerita ini. Bahkan dia sampai berdoa kebalikan dari harapan sang ibu.
Gadis itu tak ingin dirinya diterima di La' Grande, tapi sang Ibu justru sebaliknya.
Tiap hari, bahkan tiap mereka bertemu, Ibu Marlin selalu menanyakan soal pengumuman tes itu.
Di tengah lamunannya, terdengar denting pemberitahuan dari ponsel Marlin.
Gadis itu pun dengan malas meraih benda pipih tersebut, lalu melihat apa yang tertera di layar.
Matanya seketika membola dan dia nyaris terjungkal jatuh dari kursi.
“A... Apa... Tidak mungkin... Ini... Bu.... Ibu...,” ucap Marlin tergagap.
Dia pun bergegas keluar kamar dan mencari keberadaan ibunya.
“Bu... Ibu... Kau dimana?” panggil Marlin keras.
Terlihat ibunya baru saja keluar dari ruang laundry sambil mengelap kedua tangannya yang tampak basah.
“Apa? Ada apa?” tanya sang ibu menghampiri.
“Bu, coba kau baca. Apa ini sungguhan?” tanya Marlin.
Dia pun memberikan ponselnya kepada sang ibu. Wanita paruh baya itu pun lalu memeriksa hal apa yang membuat sang putri bertingkah aneh sampai berteriak.
“Selamat, Anda diterima di La' Grande... Ini berita bagus, Nak,” ucapnya sambil terus membaca keseluruhan e-mail yang dikirimkan perusahaan.
Wajahnya nampak bahagia, karena akhirnya sang anak tidak lagi menjadi pengangguran, yang kesana kemari membawa sketsa desainnya.
Berbeda dengan Marlin yang nampak kurang senang dengan berita ini.
“Kita harus cari pakaian yang bagus untukmu berangkat ke kantor senin depan,” ucap sang Ibu antusias.
“Tidak usah berlebihan, Bu. Dari pada pakaian baru, sepertinya yang aku perlukan saat ini adalah udara segar,” sahut Marlin.
Gadis itu berbalik dan berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan sang ibu yang masih terus memperhatikan isi e-mail tadi.
Bersambung▶️▶️▶️▶️▶️
Jangan lupa like, komen, rate dan dukungan ke cerita ini 😄🥰