Marsha Calloway terjebak dalam pernikahan yang seharusnya bukan miliknya—menggantikan kakaknya yang kabur demi menyelamatkan keluarga. Sean Harris, suaminya, pria kaya penuh misteri, memilihnya tanpa alasan yang jelas.
Namun, saat benih cinta mulai tumbuh, rahasia kelam terungkap. Dendam masa lalu, persaingan bisnis yang brutal, dan ancaman yang mengintai di setiap sudut menjadikan pernikahan mereka lebih berbahaya dari dugaan.
Siapa sebenarnya Sean? Dan apakah cinta cukup untuk bertahan ketika nyawa menjadi taruhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayyun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayang-Bayang Ancaman
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk melalui jendela besar ruang makan, menerangi meja sarapan yang telah tertata rapi. Namun, di tengah suasana yang seharusnya tenang, Marsha masih belum bisa menghilangkan kekhawatiran dari benaknya.
Tangannya dengan enggan mengaduk teh di cangkirnya, sementara pikirannya terus berputar pada percakapan semalam. Ia masih belum bisa mempercayai bahwa kecelakaan Sean bukanlah suatu kebetulan.
"Sean," panggilnya pelan, mencoba memulai pembicaraan yang sejak tadi menggelayuti pikirannya.
"Hm?" Sean meletakkan koran yang sedang dibacanya dan mengalihkan perhatian penuh pada istrinya.
"Aku masih kepikiran tentang sabotase itu," ujarnya dengan suara sedikit ragu.
Sean menghela napas pelan, seakan sudah menduga bahwa topik ini akan kembali dibahas. "Marsha, aku kan sudah bilang akan menyelidikinya dan memastikan semuanya aman. Kamu nggak perlu terlalu khawatirkan masalah ini."
"Bagaimana mungkin aku nggak khawatir?" nada suara Marsha meninggi sedikit. "Nyawa kamu hampir terancam, Sean. Dan kita belum tahu siapa yang pelakunya."
Sean terdiam sejenak sebelum menjawab dengan nada lebih tenang, "Aku sudah tugaskan orang-orang terbaik untuk menyelidikinya. Mereka akan segera temukan jawabannya."
Marsha menggigit bibirnya. "Aku juga mengalami sesuatu yang aneh di kampus."
Sean menegang. "Apa maksud kamu?"
"Aku belum sempat cerita," ujar Marsha, meletakkan sendok teh di atas piring kecil. "Beberapa hari lalu, aku lihat seseorang yang mencurigakan saat menunggu kamu menjemput, aku melihat seseorang yang mencurigakan. Orang itu terus memperhatikanku dari kejauhan, tatapannya tajam dan mencurigakan. Aku merasa nggak nyaman, tapi saat aku coba memperhatikannya lagi, orang itu sudah menghilang."
Sean langsung meletakkan garpunya dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya.
"Kenapa kamu baru kasih tau sekarang, Marsha?" suaranya terdengar lebih tegas dari biasanya.
Marsha menatap suaminya, sedikit terkejut dengan reaksinya. "Aku baru ingat tadi. Dan saat itu, aku nggak mau buat kamu semakin khawatir."
"Marsha, aku akan lebih khawatir kalau sesuatu terjadi sama kamu!" Sean menatapnya tajam, ekspresi serius tergambar jelas di wajahnya.
Marsha terdiam, merasa sedikit bersalah.
Sean menghela napas panjang, lalu meraih tangan Marsha, menggenggamnya erat. "Mulai hari ini, aku akan mengirimkan pengawal untuk temani kamu di kampus dan setiap kegiatan kamu."
Marsha membuka mulutnya, ingin membantah, tetapi kemudian mengurungkan niatnya. Bukan karena ia merasa dirinya terlalu lemah atau butuh perlindungan, tetapi karena yang lebih ia khawatirkan adalah Sean sendiri.
"Terserah kamu," akhirnya ia berkata dengan nada pasrah. "Tapi aku lebih mengkhawatirkan kamu, Sean. Bagaimana jika orang yang mencoba celakai kamu kembali menyerang?"
Sean tersenyum tipis, meskipun matanya masih menyiratkan kekhawatiran yang sama. "Dalam dunia bisnis, ancaman seperti ini bukan hal baru untukku, Marsha. Tapi aku tidak akan membiarkan ini menyentuhmu."
Marsha mengerutkan kening. "Maksud kamu apa?"
Sean menatapnya beberapa saat, lalu berkata, "Aku nghak mau kamu terlibat terlalu jauh dalam masalah ini. Aku cuma mau kamu tetap aman."
Marsha menarik napas dalam. "Sean, aku istri kamu. Kalau kayu dalam bahaya, aku juga dalam bahaya. Aku berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Sean terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata, "Aku akan cati tahu lebih banyak dulu. Setelah itu, aku akan beri tau kamu segalanya."
Marsha tidak puas dengan jawaban itu, tetapi ia tahu Sean adalah pria yang keras kepala. Akhirnya, ia hanya mengangguk pelan.
Siang itu, setelah selesai dengan kuliahnya, Marsha berjalan keluar gedung dengan perasaan sedikit gelisah.
Seperti yang dikatakan Sean, dua orang pria berbadan tegap berpakaian hitam sudah menunggunya di dekat mobil. Salah satunya membuka pintu untuknya dengan sopan. Marsha masuk tanpa berkata-kata.
Selama perjalanan pulang, pikirannya masih diselimuti kecemasan. Siapa yang sebenarnya mengincar Sean? Apakah mereka juga akan mencoba menyakiti dirinya? Dan lebih penting lagi, apakah ini ada kaitannya dengan sosok yang mengawasinya di kampus?
Setelah sampai di rumah, Marsha langsung menuju kamar dan mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih nyaman. Namun, pikirannya tidak bisa tenang. Ia harus tahu lebih banyak. Tanpa pikir panjang, ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
Jarinya berhenti di satu nama—Vano. Sebenarnya, ini pertama kalinya ia benar-benar menghubungi pria itu. Ia bahkan tidak yakin apakah Vano akan menerima panggilannya atau tidak.
Marsha teringat bagaimana ia mendapatkan nomor itu.
"Jika suatu saat kamu butuh bantuan, aku ada." Ia menyerahkan kartu namanya pada Marsha.
Marsha tidak berpikir akan pernah membutuhkannya, tapi sekarang—di tengah semua ketidakpastian yang mengelilinginya—ia merasa bahwa ini saatnya. Tanpa ragu lagi, ia menekan tombol panggil.
"Vano, ini Aku Marsha. Bisa kita bertemu? Aku perlu bicara."
Ada jeda sejenak sebelum suara sahabatnya terdengar di seberang telepon.
"Marsha?" ia terdengar tidak percaya, bahwa Marsha akan menghubunginya. "Tentu, Ada apa, Marsha?"
"Aku ingin membahas sesuatu… tentang seseorang yang mencurigakan di kampus."
Vano terdengar ragu. "Oke. Kita bisa bertemu besok di tempat biasa?"
"Ya, terima kasih, Vano."
Setelah menutup telepon, Marsha menghela napas. Ia tahu Sean pasti tidak akan menyukai keputusannya untuk menyelidiki ini sendiri. Tapi ia tidak bisa hanya berdiam diri. Ia harus mencari tahu siapa yang mengawasinya—dan apakah ada hubungannya dengan ancaman terhadap Sean.
Satu hal yang pasti… Ini belum berakhir. Bahaya masih mengintai, dan Marsha tahu ia tidak bisa hanya menunggu tanpa melakukan apa pun.
...***...