Sayangi aku.. Dua kata yang tidak bisa Aurora ucapkan selama ini.. Ia hanya memilih diam saat mendapatkan perlakuan tidak adil dari orang- orang di sekitarnya bahkan keluarganya. Jika dulu dia selalu berfikir bahwa kedua orang tuanya itu sangat menyayangi dirinya karena mereka yang tidak pernah memarahi bahkan menuntut dirinya untuk melakukan apapun dan sangat berbanding terbalik dengan perlakuan ke dua orang tuanya pada kakak dan adiknya.. Tapi semakin dewasa Aurora menyadari bahwa selama ini ia salah.. Justru keluarganya itu sedang mengabaikan dirinya.. Keluarganya tidak peduli dengan apapun yang ia lakukan ...
INGAT !!! Ini hanya cerita fiksi dimana yang mungkin menjadi tidak mungkin dan yang tidak mungkin menjadi mungkin..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#3
Happy Reading..
.
.
.
Pagi ini Rora memilih untuk tidak keluar dari kamarnya, ia merasa hidupnya semakin menyedihkan. Rora melipat kedua kakinya lalu memeluknya erat. Ia menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya. Air matanya kembali menetes saat mengingat kembali percakapan antara papa, mama, kakak dan sepasang suami istri yang kemarin malam datang ke rumahnya.
Aurora semakin terisak. Ia takut. Sangat takut.
FLASH BACK ON
Setelah kepergian Ezra, Rora masih setia berdiri di tempatnya. Sayup- sayup Rora mendengar suara perdebatan yang sedang terjadi karena Ezra yang tanpa sengaja tidak menutup rapat pintu. Ia berjalan mendekat ke arah pintu lalu melangkahkan kakinya menuju tangga yang berada tidak jauh dari kamarnya.
"Aku sudah mengingatkan mas dan mbak berulang kali. Aku sudah mengingatkan kepada kalian untuk tidak berhubungan lagi dengan Alex. Tapi apa? Lagi- lagi kalian mengabaikan ucapan ku." Ucap Elina.
Laura menatap tajam ke arah Elina. "Jadi Apa ini berarti kalian sudah tidak mau membantu kami lagi?" Tanya Laura. "Lalu untuk apa kalian kesini? Atau kalian kesini hanya untuk menghina kami?"
Elina menghela nafasnya.
"Jadi berapa?" Tanya Devano. "Berapa uang yang kalian butuhkan?"
"Seratus empat puluh tujuh itu sudah dengan bunganya." Jawab Evan.
"Juta?"
Evan menatap Elina lalu menggelengkan kepalanya. "Milyar." Jawabnya lirih.
Elina dan Devano membulatkan kedua matanya. "Uang sebanyak itu kamu gunakan untuk apa?"
"Proyek yang sedang aku dan papa lakukan mendapatkan musibah om, tante. Kami ditipu.. Ternyata bahan- bahan yang di gunakan tidak sesuai. Mereka menggunakan material- material yang kualitanya di bawah standart."
"Jika kalian tidak bisa membantu kami tidak apa- apa. Terpaksa kami akan menyerahkan Rora untuk menjadi jaminan pada Alex." Ucap Laura saat melihat Devano dan Elina yang terdiam.
"Mbak."
"Hanya itu satu- satu jalan yang tersisa." Ucap Laura.
"Kenapa Rora?"
Laura menatap Elina. "Riska masih sekolah. Dia masih anak- anak."
"Anak- anak? Mereka hanya berbeda tiga tahun mbak." Tegur Elina yang tentu saja di abaikan oleh Laura. Elina menarik nafasnya lalu menghembuskannya perlahan. "Ini terakhir kali kami akan membantu kalian. Tapi aku ingin kalian memberikan kami jaminan.."
Rora yang tidak tahan lagi mendengar perdebatan itu akhirnya memutuskan untuk kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tahu pasti lagi- lagi dirinya yang akan di jadikan jaminan.
FLASH BACK OFF
Pintu kamarnya terbuka secara perlahan. Kasur yang bergerak menandakan bahwa baru saja ada yang mendudukkinya. Rora merasakan usapan lembut pada rambutnya, ia pun mendongakkan kepalanya dan langsung berhadapan dengan wajah sang kakak.
Ezra menghapus air mata sang adik. "Kamu kenapa?" Tanya Ezra. Rora menggelengkan kepalanya. "Lalu kenapa tidak turun?" Lagi- lagi gelengan kepala yang Rora berikan.
"Mau ikut kakak pergi jalan- jalan tidak."Tanya Ezra lagi, tapi untuk kali ini Rora menganggukkan kepalanya. "Jangan menangis lagi. Berhenti menangis.. Oke.." Ia menatap kedua mata Rora yang terlihat membengkak. "Sekarang kamu mandi lalu kita turun, sarapan baru kakak akan mengajak kamu jalan- jalan." Ucap Ezra sambil menyisihkan anak rambut Rora.
Ezra menghela nafasnya saambil menatap punggung sang adik sampai menghilang dari balik pintu kamar mandi. Ia tahu.. Sangat tahu alasan di balik mata bengkak sang adik. Perdebatan yang terjadi semalam tidak mungkin sampai tidak terdengar dari kamar Rora.
"Jangan terlalu memanjakannya. Ingat kita sekarang harus bisa berhemat." Ucap Laura sebelum Ezra dan Rora pergi.
Ezra meraih tangan Rora untuk ia genggam. Sepanjang perjalanan Ezra benar- benar tidak melepaskan genggaman tangannya pada Rora. "Jangan dengarkan ucapan mama."
.
.
.
Aurora menghela nafasnya lega. Apa yang menjadi ketakutannya selama beberapa hari ini tidak terjadi bahkan ini sudah lewat satu minggu dari perdebatan yang terjadi dirumahnya malam itu.
Senyuman manis tak pernah luntur dari bibir mungilnya selama sarapan pagi ini yang membuat seluruh keluarganya menatap dirinya heran.
"Kakak kenapa?" Tanya Riska sambil menautkan kedua alisnya.
Rora menggelengkan kepalanya. "Kakak tidak apa- apa. Memangnya kakak kenapa?" Rora balik bertanya.
"Kakak perhatikan dari tadi kamu tersenyum terus." Saut Ezra. Sejujurnya Ezra senang melihat adiknya yang beberapa hari ini terlihat murung kini tersenyum.
Suara ketukan mengalihkan atensi mereka semua. Laura segera bangun dari duduknya lalu berjalan ke arah pintu. Setelah membuka pintu ia di kejutkan dengan keberadaan Devano dan Elina.
"Apa mbak tidak akan menyuruh kami untuk masuk?" Tanya Elina yang melihat keterdiaman Laura. Laura pun menyingkir memberikan jalan untuk Elina dan Devano.
"Bagaimana kabar mbak dan mas Evan?"
"Kami baik.. sangat baik.. dan sekali lagi aku ingin mengucapkan terima kasih untuk bantuan kalian. Jika tidak ada kalian aku tidak tahu lagi keluargaku akan seperti apa." Ucap Laura.
"Sama- sama mbak.. Mbak tahu kan bahwa kami tidak akan mungkin membiarkan keluarga dari Lilyana sampai kesusahan." Jawab Elina.
Laura mendengus saat Elina menyebut nama Lilyana.
"Jadi langsung saja, tujuanku dan mas Devan kesini untuk mengambil jaminan.. "
"Bukan kah aku sudah mengatakan Riska masih kecil. Dia masih sekolah." Potong Laura.
Elina tersenyum. "Mungkin mbak sudah salah paham. Jaminan yang kami maksud adalah Rora bukan Riska." Ucap Elina.
"Rora?" Tanya Laura sambil mengerutkan keningnya.
Elina menganggukkan kepalanya. "Hmm.. Rora." Ulang Elina.
"Kenapa?" Tanya Laura lagi. "Dia buta. Dia nanti hanya akan merepotkan kalian saja."
"Mungkin menurut mbak Rora anak yang merepotkan tapi tidak denganku." Ucap Elina. "Kenapa? Apa mbak keberatan?" Tanya Elina saat melihat Laura yang terdiam. "Bukankah seharusnya mbak bersyukur karena aku akan mengambil anak yang menurut mbak merepotkan?"
"Tante jadi ucapan tante yang ingin meminta jaminan itu serius." Ucap Ezra.
"Tentu saja tante serius."
Runtuh sudah air mata Rora saat mendengar bahwa dirinya benar- benar akan menjadi jaminan hutang kedua orang tuanya. Ia harus bagaimana sekarang?
Rora berusaha mencari dimana keberadaan mamanya dengan meraba- raba. "Ma.." Panggil Rora. "Mama." Panggilnya lagi sambil bersimpuh.
"Riska, antar kakak kamu untuk mengemasi barang- barangnya." Titah Laura pada anak bungsunya.
Rora menggelengkan kepalanya berulang. "Ma.. Rora mohon.. Tidak bisakah untuk kali ini saja pertahankan Rora.. Jangan biarkan Rora pergi ma.. Rora masih ingin tinggal disini dengan mama, papa, kakak dan Riska.. Rora berjanji.. Rora akan berusaha menjadi anak yang baik.. Rora janji rora akan berusaha menjadi anak yang mandiri.. Rora berjanji Rora akan berusaha untuk tidak merepotkan kalian." Mohon Rora sambil menangis.
"Riska kemasi barang- barang kakakmu dan bawa kesini. Ezra bantu adikmu." Ucap Laura mengabaikan Rora.
Rora semakin tertunduk dan menangis sambil meremat kedua lututnya.
Elina berdiri dari duduknya lalu berjalan mendekat ke arah Rora yang masih bersimpuh. "Jangan menangis." Ucap Elina sambil mengusap air mata yang mengalir di kedua pipi Rora.
"Tante.. Rora tidak tahu siapa tante.. Tapi Rora yakin tante orang yang baik." Ucap Rora. "Rora mohon.. Jangan bawa Rora.. Jangan pisahkan Rora dengan keluarga Rora tante... Rora mohon." Ucapnya lagi sambil menyatukan kedua tangannya sambil memohon.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak...