Rahasia Sang Wanita Besi
Sebagai sekretaris pribadi, Evelyn dikenal sempurna—tepat waktu, efisien, dan tanpa cela. Ia bekerja tanpa lelah, nyaris seperti robot tanpa emosi. Namun, di balik ketenangannya, bosnya, Adrian Lancaster, mulai menyadari sesuatu yang aneh. Semakin ia mendekat, semakin banyak rahasia yang terungkap.
Siapa sebenarnya Evelyn? Mengapa ia tidak pernah terlihat lelah atau melakukan kesalahan? Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, misteri di balik sosok "Wanita Besi" ini pun perlahan terkuak—dan jawabannya jauh lebih mengejutkan dari yang pernah dibayangkan Adrian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Teka-Teki yang Terungkap
Evelyn berdiri di tengah reruntuhan, napasnya tersengal, tubuhnya terasa lelah, dan pikirannya berputar-putar, mencoba mencerna segala yang baru saja terjadi. Tiranos, makhluk yang begitu besar dan kuat, akhirnya berhasil mereka kalahkan, meski dengan usaha yang sangat berat. Namun, kemenangannya terasa semu. Di balik pertempuran itu, ada sesuatu yang lebih besar yang mengancam mereka semua.
Zayne berdiri di sampingnya, mengamati tubuh Tiranos yang kini tergeletak tanpa kehidupan, seolah-olah ia merenung. Keheningan setelah pertempuran terasa begitu mencekam, meskipun mereka baru saja mengalahkan makhluk mengerikan itu.
"Apakah kamu yakin kita aman sekarang?" tanya Evelyn, suaranya sedikit bergetar meskipun dia berusaha untuk tetap tegar.
Zayne menggelengkan kepala, wajahnya serius. "Tidak. Ini baru permulaan, Evelyn. Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang bergerak. Tiranos hanya pion dalam permainan ini."
Evelyn menatap Zayne, merasa ada sesuatu yang tak terucapkan dalam kata-katanya. Namun, dia juga merasa bahwa dirinya sendiri telah berubah. Kekuatan yang ia rasakan saat pertempuran melawan Tiranos masih berdenyut dalam dirinya. Itu adalah sebuah kekuatan yang lebih besar daripada yang ia bayangkan, dan saat ini, ia tidak merasa takut.
"Jika memang begitu, kita harus siap menghadapi apa pun yang datang," jawab Evelyn dengan keyakinan yang lebih dalam dari sebelumnya.
Zayne mengangguk, tetapi ada kelelahan yang jelas tergambar di wajahnya. "Kita harus mencari tahu lebih banyak tentang siapa yang ada di balik semua ini. Siapa sebenarnya Marcus, dan apa tujuannya? Dan bagaimana kita bisa menghentikan mereka?"
Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di udara, tak ada jawaban yang jelas, namun Evelyn merasa bahwa jawaban itu mungkin ada di depan mata mereka. Mereka hanya perlu menggali lebih dalam.
Evelyn menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Mereka baru saja mengalahkan Tiranos, tapi itu bukanlah akhir. Seluruh perjalanan ini, yang dimulai dari pencariannya untuk memahami kekuatan dalam dirinya, kini semakin rumit. Ada rencana yang lebih besar di balik semua ini, dan ia tahu, tanpa keraguan, bahwa dia terjebak di tengah permainan yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah ia bayangkan.
“Ada sesuatu yang aneh tentang semua ini, Zayne,” kata Evelyn, berbalik menghadap Zayne, suaranya kini lebih lembut, lebih introspektif. “Aku merasa ada bagian dari diriku yang hilang. Sebelum aku terjebak dalam permainan ini, hidupku berbeda. Aku tidak tahu apa yang terjadi, dan ini semakin membingungkan.”
Zayne memandangnya, seolah mencoba mencari tahu apa yang Evelyn rasakan. "Aku tahu apa yang kamu maksud. Kita semua merasa seperti ada potongan puzzle yang hilang. Aku merasa semakin dekat untuk menemukan jawaban, tapi ada sesuatu yang menyembunyikan kebenaran ini dari kita."
Evelyn mengangguk, memandang reruntuhan yang ada di sekitar mereka. “Aku tidak tahu bagaimana cara melanjutkan ini. Setiap langkah kita semakin dekat dengan bahaya yang lebih besar. Kita berdua sudah melihat betapa kejamnya mereka yang berkuasa di balik layar ini, tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih jahat lagi yang belum kita temui.”
Zayne tampaknya berpikir keras, sebelum akhirnya ia mengangkat kepala dan melihat ke arah pintu besar di ujung ruangan. “Ada satu tempat yang harus kita periksa,” katanya dengan keyakinan. “Aku pernah mendengar tentang sebuah ruangan di kedalaman benteng ini. Tempat yang tak terjamah oleh siapa pun.”
Evelyn merasa dorongan nalurinya berkata bahwa inilah jalan yang harus mereka ambil. Mereka harus menemukan apa yang tersembunyi di dalam ruangan itu. Meskipun mereka tahu bahwa perjalanan ini bisa sangat berbahaya, mereka tidak bisa mundur. Mereka tidak bisa berhenti sekarang.
Tanpa banyak bicara, mereka berdua melangkah ke pintu besar tersebut. Zayne bergerak dengan sigap, menunjukkan ketangkasan dan kecepatan yang luar biasa. Evelyn mengikuti di belakangnya, rasa ingin tahu yang mendalam meresap dalam dirinya. Mereka harus mengungkap teka-teki ini, tak peduli betapa berbahayanya.
Pintu besar itu terbuka perlahan, menampakkan jalan panjang yang gelap dan berliku. Udara di sekitar mereka terasa berat, seperti ada sesuatu yang mendalam dan menakutkan yang sedang menunggu mereka. Evelyn menggenggam erat pedangnya, merasa ada ketegangan yang tak terungkapkan.
Mereka melangkah lebih jauh ke dalam, menuju kedalaman ruangan yang belum pernah mereka jelajahi sebelumnya. Suara langkah kaki mereka bergema di dinding batu yang dingin. Evelyn merasa perasaan aneh menjalari tubuhnya. Ada sesuatu yang mengamati mereka.
“Zayne, hati-hati,” kata Evelyn, suaranya berbisik.
Zayne meliriknya sejenak, sebelum kembali menatap jalan di depan mereka. “Aku merasakannya juga, Evelyn. Tapi kita harus terus maju. Jika ada sesuatu di sini, kita harus menemukannya.”
Saat mereka terus berjalan, mereka tiba di sebuah ruangan yang lebih besar. Ruangan itu dipenuhi dengan berbagai artefak yang terlihat sangat tua. Ada meja-meja besar yang dipenuhi dengan gulungan kertas dan simbol-simbol yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Di tengah ruangan, ada sebuah altar yang tampaknya menjadi pusat dari semua benda ini.
Evelyn mendekat ke altar itu, merasakan energi yang sangat kuat mengalir dari sana. Matanya tertuju pada sebuah buku tua yang tergeletak di atas altar. Buku itu tampak sangat kuno, dengan sampul kulit yang berdebu. Tanpa berpikir panjang, Evelyn membuka buku itu.
Begitu ia membuka halaman pertama, sebuah cahaya terang menyinari ruangan, dan suara gemuruh terdengar menggelegar, membuat tanah di bawah kaki mereka bergetar. Evelyn terkejut, tetapi tidak mundur. Ia membaca tulisan yang ada di buku itu, meskipun kata-katanya terasa asing.
“Ini... Ini adalah naskah kuno,” gumamnya, “tentang ramalan yang melibatkan darah suci dan kekuatan besar yang bisa mengubah takdir dunia.”
Zayne mendekat, memperhatikan dengan cermat apa yang dibaca Evelyn. “Kita harus segera keluar dari sini,” katanya dengan suara yang lebih gelisah. “Jika ini benar-benar tentang ramalan yang mengarah pada kehancuran, kita mungkin sudah terlalu terlambat.”
Namun, Evelyn tidak bisa menutup buku itu begitu saja. Informasi yang ada di dalamnya adalah kunci untuk memahami semuanya. Jika ini adalah jawaban yang mereka cari, mereka harus memahaminya sepenuhnya.
“Jangan khawatir, Zayne,” kata Evelyn dengan suara penuh tekad. “Ini hanya permulaan. Kita harus tahu lebih banyak.”
---
Evelyn berdiri di tengah reruntuhan, napasnya masih terengah-engah, dan tubuhnya terasa lelah setelah pertempuran dengan Tiranos. Meski tubuhnya terasa terbakar oleh kelelahan, ada sesuatu yang membara di dalam dirinya—sebuah kekuatan baru yang ia tidak pernah kenali sebelumnya. Kemenangan atas Tiranos bukan hanya soal pertempuran fisik, tetapi juga soal menemukan bagian dari dirinya yang tersembunyi selama ini. Namun, meskipun monster itu sudah tumbang, ada perasaan cemas yang menggelayuti hatinya. Ini bukanlah akhir.
Zayne berdiri di sampingnya, pandangannya tajam dan penuh perhitungan, matanya tidak lepas dari mayat Tiranos yang tergeletak tak berdaya. Tiranos mungkin telah mati, tetapi Zayne tahu itu hanya sebuah episode kecil dari permainan yang jauh lebih besar. "Kita tidak aman," kata Zayne dengan nada rendah. "Ini baru dimulai. Mereka masih menunggu."
"Siapa mereka?" tanya Evelyn, suaranya terdengar penuh keraguan, meskipun ia berusaha untuk tidak tampak lemah. "Tiranos hanya penghalang, bukan ancaman yang sebenarnya."
Zayne menatapnya, matanya berkilat tajam. "Aku merasa ada seseorang yang lebih berbahaya dari Tiranos. Seseorang yang berada di belakang semua ini. Kita perlu mencari tahu siapa mereka."
Evelyn mengangguk, tetapi perasaan gelisah yang mengalir di tubuhnya tidak bisa ia hilangkan. Mereka telah menghadapi makhluk yang hampir mustahil dikalahkan, dan meskipun ia merasa lebih kuat dari sebelumnya, pertanyaan tentang siapa yang mengendalikan semuanya masih menggantung di udara.
"Apakah kamu yakin kita bisa menghadapinya?" Evelyn bertanya, suaranya sedikit cemas. Ia merasa ada sesuatu yang besar, jauh lebih besar dari dirinya, yang akan mereka hadapi ke depannya.
Zayne menatapnya dengan penuh keyakinan, meskipun ada kelelahan yang terlihat jelas di wajahnya. "Tidak ada pilihan lain, Evelyn. Jika kita tidak melawan sekarang, mereka akan menghancurkan semuanya."
Evelyn menggenggam pedangnya dengan erat, perasaan perangnya bangkit kembali. Mereka telah melewati banyak hal, namun ini adalah ujian terbesar mereka. Mereka harus mengungkap siapa yang berada di balik semua ini dan mengapa mereka harus menghadapi kekuatan yang begitu besar.
Dengan langkah-langkah mantap, mereka melangkah menjauh dari mayat Tiranos dan menuju kedalaman benteng yang lebih jauh. Jalan itu semakin sempit, diliputi kegelapan yang menekan, seolah-olah ruang ini memiliki hidupnya sendiri. Di setiap sudut, Evelyn merasa ada mata yang mengawasi mereka, tapi tidak bisa ia lihat siapa yang melakukannya.
"Zayne," Evelyn memulai, suaranya rendah, penuh keraguan. "Apakah kamu merasa... ini semua terasa seperti perangkap? Sepertinya kita hanya mengikuti sebuah pola yang sudah ditentukan."
Zayne menatapnya dengan serius. "Kamu benar. Ada sesuatu yang aneh di sini. Tapi kita harus terus maju, kita harus mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi."
Evelyn menyadari bahwa ia tidak bisa mundur. Ia tidak bisa berhenti sekarang. Mereka sudah terlalu dekat. Dan meskipun ada rasa takut yang menggigit, dia tahu bahwa mereka harus melangkah lebih jauh. Semua yang mereka hadapi, semua yang mereka hadapi, adalah bagian dari takdir yang harus mereka jalani.
Akhirnya, mereka tiba di sebuah ruang besar yang sepertinya telah lama terlupakan. Lampu-lampu redup yang tergantung di langit-langit berdesing pelan, memantulkan bayangan-bayangan aneh di dinding batu. Di tengah ruangan, ada sebuah altar batu besar yang dipenuhi dengan simbol-simbol kuno dan lambang-lambang yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Pemandangan ini memberikan perasaan dingin yang menusuk. Seolah-olah mereka telah memasuki tempat yang tidak seharusnya mereka masuki.
"Ini..." Evelyn berbisik, langkahnya terhenti di depan altar. "Tempat ini... aku merasakannya. Ada sesuatu yang sangat kuat di sini."
Zayne mengangguk, mengamati setiap detil ruangan itu dengan cermat. "Ini bukan hanya tempat biasa, Evelyn. Ini adalah pusat dari semuanya. Di sinilah semuanya dimulai."
Di atas altar, ada sebuah buku tua dengan sampul yang terbuat dari kulit, sudah usang dan berdebu. Tanpa banyak berpikir, Evelyn mendekat dan membuka buku itu. Begitu halaman pertama terbuka, cahaya terang tiba-tiba menyinari ruangan itu, dan suara gemuruh terdengar dari dalam tanah, membuat dinding-dinding batu bergetar.
"Ini... ini bukan buku biasa," Evelyn berbisik, matanya tak bisa lepas dari tulisan di halaman-halaman yang tampaknya bercahaya. "Ini adalah naskah kuno. Sebuah ramalan."
Zayne mendekat, menatap tulisan itu. "Ramalan? Apa maksudnya?"
Evelyn mulai membaca dengan cepat, dan apa yang dia temukan membuat darahnya terasa dingin. "Ramalan ini berbicara tentang seorang pemimpin yang akan muncul dengan kekuatan yang tak terhingga. Seseorang yang akan menghancurkan dunia, jika tidak dihentikan. Itu adalah bagian pertama, tetapi bagian kedua... bagian keduanya mengatakan bahwa pemimpin ini tidak akan pernah tahu bahwa dia adalah kunci bagi kehancuran dunia."
Zayne terdiam, terkejut dengan apa yang didengar. "Pemimpin ini... apakah itu aku?"
Evelyn menggelengkan kepalanya, masih membaca lebih lanjut. "Tidak. Pemimpin itu... adalah aku."
Rasa dingin mengalir ke seluruh tubuhnya. Seperti petir yang membelah langit, kata-kata itu menggema di dalam pikiran Evelyn. Dia adalah kunci bagi kehancuran dunia. Meskipun ia tak tahu pasti apa arti semua itu, dia merasakan getaran yang mengerikan dalam setiap kata yang tercatat di buku itu. Dia adalah seseorang yang dipilih untuk kekuatan yang sangat besar, tetapi apakah dia juga menjadi ancaman yang harus dihentikan?
Zayne melihat Evelyn dengan cemas, menggenggam bahunya dengan erat. "Evelyn... kita harus mencari tahu lebih banyak tentang ramalan ini. Mungkin ada cara untuk mengubahnya."
Evelyn menutup buku itu dengan perlahan, tetapi hatinya masih berdebar kencang. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan dengan semua ini, Zayne. Bagaimana jika aku benar-benar menjadi ancaman?"
Zayne memandangnya dengan penuh keyakinan, menggenggam tangannya. "Kita akan mencari jalan keluar bersama. Tidak ada yang akan kita biarkan menghancurkanmu, Evelyn. Tidak peduli seberapa besar ancaman yang kita hadapi."
Evelyn hanya bisa mengangguk, meskipun ada perasaan yang mengganggu di dalam dirinya. Mereka berdua tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang pasti: petualangan mereka baru saja dimulai, dan teka-teki yang mereka ungkapkan kali ini jauh lebih dalam dari yang mereka bayangkan.