kisah ini sekuel dari novel Karma pemilik Ajian Jaran Goyang.
Adjie merasakan tubuhnya menderita sakit yang tidak dapat diprediksi oleh dokter.
Wati sang istri sudah membawanya berobat kesana kemari, tetapi tidak ada perubahannya.
Lalu penyakit apa yang dialami oleh Adjie, dan dosa apa yang diperbuatnya sehingga membuatnya menderita seperti itu?
Ikuti kisah selanjutnya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa itu
Seorang pria duduk disebuah kursi yang terlihat santai dan terdapat disebuah teras rumah yang sangat sederhana.
Lantainya terbuat dari ubin batu berwarna kusam. Pria itu menyesap zat nikotinnya dengan sangat dalam.
Suasana malam yang begitu sepi dan gelap, hanya ditemani suara jangkrik yang terus menyanyikan lagu kesedihan, seolah mengetahui hati sang pria yang saat ini sedang dilanda kepiluan.
Asap mengepul diudara saat ia menghembuskan karbonmonoksida sisa dari pembakaran zat adiktif tersebut.
Sekeliling rumahnya hanya ada pepohonan yang tumbuh dengan subur dan rindang yang menambah kesan angker serta menjadi saksi betapa hancurnya hidupnya saat ini.
Ia dan istrinya harus mengungsi diperbukitan yang jauh dari pemukiman warga. Sebab suara teriakan dan tangisan istrinya mengganggu mereka yang berada didekatnya.
Bahkan sang istri kerap kali mengejar para anak kecil yang ia temui, dan terkadang ia larikan saat lengah dari pengawasan orangtuanya dengan menggendongnya dan membawanya pulang ke rumah, sehingga membuat para ibu-ibu merasa cemas dengan keselamatan anak-anak mereka.
Ditambah lagi dengan peristiwa kelam saat dimana wanita itu memasukkan puterinya yang masih bayi ke dalam bak mandi. Ia mengira jika bayi itu sedang bermain dan berenang hingga membuatnya tewas tenggelam.
Terkadang ia juga membuka pakaiannya dan berjalan tanpa sehelai benangpun diluaran. Hal tersebut membuat warga menjadi jengah dan takut jika hal itu akan membawa dampak buruk terhadap mental anak sekitarnya.
Pria itu kembali menyesap zat nikotinnya. Fikirannya menerawang jauh. Ia mengingat masa silam yang begitu indah, penuh kebahagiaan dan penuh cinta. Ia dan istrinya sedang membangun impian dengan membuka warung makan nasi Padang yang mana mereka rintis dengan keahlian sang istri yang memang pandai memasak.
Namun semuanya harus hancur, saat seseorang yang memanfaatkan istrinya dengan segala tipu daya ajian pelet jaran goyang, dan membuat sang istri harus rela menyerahkan mahkotanya pada pria brengsek tersebut.
Setelah tersadar dari tipu daya sang pria, wanita itu merasa jijik jika mengingat perbuatannya dan juga pria yang telah memanfaatkannya, sehingga membuatnya depresi, ditambah lagi dengan baby blues, sebab ia baru beberapa bulan melahirkan.
Hingga akhirnya kini mereka harus berakhir dipengungsian, sebab warga dan juga keluarganya sudah tak sudi lagi untuk menerima sang istri yang dianggap gila dan membahayakan.
"Kaaaaang...," teriak wanita itu dari dalam kamar. Sepertinya ia sedang buang air. Sang pria melemparkan puntung rokoknya dan beranjak dari tempat duduknya lalu menuju kamar tempat dimana sang istri ia kurung agar tidak kabur. Sebab beberapa kali kabur dan ia temukan dipinggir jurang.
Melihat pintu terbuka, wanita bertubuh kurus itu berlari menyambut kepelukannya. "Mana intan?" tanyanya dengan manja, mempertanyakan keberadaan puteri mereka yang sudah berada disurga.
"Intan dirumah ibu, nanti diantar kemari," jawabnya berbohong, sembari membelai rambut wanita yang dicintainya sama seperti saat mereka baru pertama kali bertemu.
"Bener ya, Kang," ucapnya manja, dengan senyum manis tanpa beban yang kini menghiasi bibirnya.
Rasa perih menjalar direlung hati pria tersebut, sebab sang istri tak kenal lagi siapa dirinya sendiri.
Meskipun depresi, ia tidak kehilangan wajah cantiknya, dan pria bernama Anton itu masih tetap merawatnya dengan baik.
Hembusan angin yang semilir dan suasan sepi, membuat ia inginkan sesuatu saat melihat sang istri yang berpakaian berantakan.
Ia membelai lembut rambut panjang tersebut. Merapatkan tubuhnya dan mulai mengecup bibir sang wanita. Ia masih mencintainya.
Perlahan ia menyingkapkan daster sang istri, inginkan sesuatu disana, dan ketika benda yang sudah mengeras itu mencari sarangnya, tiba-tiba sang istri mendorongnya dengan cepat. Ia selalu ketakutan saat setiap kali suaminya ingin menjamahnya.
Rasa trauma begitu dalam dihidupnya, sehingga kerap kali akan berteriak jika sang suami inginkan anu.
Lagi-lagi pria itu harus menahan kecewanya, meski hasrat sudah berada diujung ubun-ubunnya.
"Jangan, jangan sentuh aku, pergi, pergi," usirnya dengan suara tangisan yang begitu pilu sembari berlari dan duduk sudut ruang kamar.
Pria itu akhirnya memaksa masuk sang perkututnya, dan menatap iba pada sang istri.
"Maaf, Akang tidak akan melakukannya lagi." ia merentangkan tangannya, dan berusaha menenangkan sang istri.
Wanita itu meringkuk dengan wajah ketakutan. Anton menghela nafasnya dengan berat, ada sejuta dendam didalam hatinya, dan ia harus memastikan jika targetnya menderita lebih dalam dari yang dialami oleh sang istri.
*****
Mentari bersinar. Wati membuat sarapan apa adanya. Perutnya yang membuncit, ditambah lagi dengan kondisi suaminya yang memburuk, membuat ia harus kuat dengan mentalnya.
Siang ini ia akan membawa sang suami kembali memeriksakan kondisinya, sebab erangan kesakitan kerap kali mengganggu tidurnya.
Setelah menyelesaikan sarapannya, ia membuka warungnya, dan tiba-tiba teringat akan ular yang ia bunuh malam tadi.
Ia kembali melihat keatas tumpukan karung beras, lagi-lagi bangkai itu sudah menghilang, sama seperti kejadian sebelumnya.
Ia mengedarkan pandangannya dan mencari keberadaan bangkai ular tersebut, namun tak ia temukan.
Wati menghela nafasnya dengan berat. Ia menatap warungnya yang mulai tampak kosong, sebab dagangannya terpaksa ia masak sendiri sebagai kebutuhannya, karena tidak ada perputaran modal disebabkan sepi pembeli.
Sementara itu, Adjie-suaminya masih terdengar merintih menahan sakit. Wati merasakan beban hidupnya cukuplah berat, sebab hidup diperantauan tanpa sanak saudara dan orangtua yang sudah tiada membuat ia harus kuat untuk menjalani hidupnya.
Wanita itu kembali menjenguk sang suami didalam kamar. Ia membersihkan semua belatung yang berada dibagian anu sang suami. Benda yang dulu tegak menegang dan menjadi kebanggan sang pria yang telah mencicipi banyak anu wanita, kini terkulai lemas dan terlihat banyak nanah yang keluar bercampur darah, dengan aroma yang menyengat.
"Apa kamu terkena HIV and aids, Kang?" tanyanya dengan lirih, sembari membersihkan belatung yang menggerogoti luka tersebut.
Adjie hanya menggelengkan kepalanya. Ia masih mengerang kesakitan, dan tiba-tiba dibagian perutnya terasa seperti disayat-sayat dan ia buang angin sembari menyemburkan cairan pekat berbentuk jelly dari liang belakangnya.
Wati tersentak kaget melihat apa yang dialami sang suami. Ia bahkan sampai terjungkal kebelakang. Anehnya darah berbentuk jelly itu berbau sangat busuk, meskipun kondisinya segar.
"Aaaarrrgh... Sakit, sakit..., tolong, Dik... Ini sakit sekali," teriak Adjie dengan wajahnya yang semakin pucat.
Wati merasakan hidupnya benar-benar berantakan. Cobaan terlalu besar baginya.
Ia beranjak bangkit dengan kesusahan, dan memesan taksi online untuk membawa sang suami pergi ke dokter.
Adjie memegang perutnya. Rasanya bagaikan disayat-sayat sembilu, perih, dan terkadang seolah seperti dipelintir.
Wajahnya kian memucat menahan semua penderitaan yang saat ini sedang ia alami.
Wanita itu mencari ponselnya. Saat ini hanya benda pipih tersebut yang dapat ia andalkan untuk mengatasi masalahnya.
ternyata kamu kembang desa tapi kekurangan. sehingga orang semena-mena sama kamu...😥
yang pasti bukan Mande kan... jauh dari kriteria...
tapi masalahnya, kenapa mereka teriak-teriak dirumah Mande . minta pertanggungjawaban...
ada apakah gerangan...???