NovelToon NovelToon
Bintang Hatiku

Bintang Hatiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:894
Nilai: 5
Nama Author: lautt_

Di antara pertemuan yang tidak disengaja dan percakapan yang tampak sepele, terselip rasa yang perlahan tumbuh. Arpani Zahra Ramadhani dan Fathir Alfarizi Mahendra dipertemukan dalam takdir yang rumit. Dalam balutan nilai-nilai Islami, keduanya harus menavigasi perasaan yang muncul tanpa melanggar batasan agama. Bersama konflik batin, rahasia yang tersembunyi, dan perbedaan pandangan hidup, mereka belajar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang kesabaran, keikhlasan, dan keimanan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lautt_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Antara Ragu dan Keyakinan

"Takdir tak selalu berjalan lurus. Kadang ia berputar, menguji seberapa kuat hati bertahan di tengah keraguan."

---

Kebersamaan yang Tak Pernah Terbayang

Pertemuan antara Arpa dan Fathir di acara kampus menjadi awal dari babak baru dalam hidup mereka. Setelah dua tahun dipisahkan oleh jarak dan waktu, kini mereka kembali berada di kota yang sama. Namun, bukan berarti segalanya menjadi mudah. Justru, kini ada lebih banyak pertanyaan dalam hati mereka tentang masa depan yang masih samar.

Hari itu, Arpa dan Fathir duduk di sebuah taman kota yang tenang. Mereka memilih tempat yang jauh dari keramaian, hanya ditemani oleh gemerisik daun dan suara burung yang berkicau.

“Aku masih nggak percaya kalau kamu di sini,” kata Arpa sambil memandangi kolam kecil di depannya.

Fathir tersenyum tipis. “Aku juga. Aku bahkan masih merasa ini semua kayak mimpi.”

Arpa menunduk, bermain-main dengan ujung jilbabnya. “Kenapa kamu memutuskan buat ikut program pertukaran pelajar ini?”

Fathir menghela napas panjang. “Awalnya aku ikut program ini karena alasan akademik. Tapi setelah aku tahu kalau kampusnya di kota tempat kamu kuliah… aku ngerasa ini mungkin kesempatan dari Allah.”

Arpa terdiam. Kata-kata Fathir membuat hatinya berdebar. Tapi di saat yang sama, ada rasa takut yang perlahan muncul — takut kalau semua ini hanya harapan kosong.

“Kamu tahu, Fath… selama ini aku berusaha ikhlas, berusaha melepaskan. Tapi kamu datang lagi. Dan sekarang aku bingung harus gimana,” ucap Arpa pelan.

Fathir menatapnya dengan serius. “Aku ngerti, Arpa. Aku juga ngerasain hal yang sama. Tapi aku nggak mau kita terus hidup dalam ketidakpastian. Makanya aku di sini. Aku pengen kita punya kejelasan.”

---

Percakapan Batin Yang Membingungkan

Setelah pertemuannya dengan Fathir, Arpa berjalan sendirian di taman kota. Langkahnya pelan, menyusuri jalur setapak yang dipenuhi dedaunan kering. Perasaan di hatinya campur aduk — bahagia, bingung, dan cemas bercampur menjadi satu. Ia butuh waktu untuk berdialog dengan dirinya sendiri, untuk memahami apa yang sebenarnya dirasakannya.

Arpa duduk di bangku taman, menarik napas panjang sambil memeluk tasnya. Ia memejamkan mata, membiarkan pikirannya berbicara.

"Kenapa hati ini masih ragu?" batinnya bertanya.

Ia menunduk, meremas kedua tangannya.

"Aku udah ketemu Fathir. Dia ada di sini. Dia jelas-jelas datang untuk memperjuangkan ini. Bukankah ini yang selama ini aku tunggu?"

Namun, ada suara kecil lain di dalam dirinya yang berkata,

"Tapi kenapa masih ada ketakutan? Kenapa hati ini belum sepenuhnya yakin?"

Air mata mulai mengalir perlahan di pipinya.

"Aku takut. Takut berharap terlalu tinggi. Takut semua ini cuma ilusi yang pada akhirnya bakal hilang lagi. Aku udah terlalu lama menjaga hati ini. Kalau aku salah langkah sekarang… aku nggak tahu apakah aku bisa kuat lagi."

Dia menghela napas, menatap langit sore yang mulai menguning.

"Tapi aku juga capek terus hidup dalam ketidakpastian. Sampai kapan aku mau menunggu jawaban dari perasaan ini?"

Tiba-tiba kenangan masa lalu terlintas — saat ia berdoa dalam sujud panjang, meminta petunjuk kepada Allah, memohon agar hatinya dipandu untuk mengambil keputusan yang benar.

"Aku udah istikharah. Aku udah berdoa. Bukankah Allah nggak akan membiarkan hamba-Nya tersesat?"

Tapi suara keraguannya masih ada.

"Lalu kenapa aku masih ragu? Kenapa aku nggak bisa langsung yakin?"

Air matanya jatuh semakin deras. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba menenangkan hati yang bergemuruh.

"Arpa… kamu harus jujur sama dirimu sendiri. Bukan soal takut atau nggak, tapi soal percaya. Percaya sama Allah. Kalau Fathir emang takdirmu, nggak ada yang bisa menghalangi. Tapi kalau bukan… Allah pasti punya alasan kenapa Dia mempertemukan kalian lagi sekarang."

Ia tersenyum samar di tengah air matanya.

"Aku harus berani. Aku harus memilih. Apapun hasilnya nanti, aku tahu Allah udah menuntunku sampai di titik ini."

Dia menghapus air matanya, merasa sedikit lebih ringan.

"Terima kasih ya, Arpa. Karena kamu masih kuat sampai sekarang. Karena kamu berani menghadapi semua ini, meski rasanya berat."

----------------------------------------------------------------------------------

Beberapa saat kemudian, Arpa berdiri dan melangkah keluar dari taman. Namun, langkahnya kini lebih ringan, seolah ia baru saja melewati dinding ketakutan dalam dirinya.

Ia sadar, bukan Fathir atau perasaan masa lalu yang menjadi musuhnya selama ini. Tapi dirinya sendiri — rasa takut dan ragu yang selama ini mengikatnya.

Malam itu, di kamarnya, Arpa kembali mengambil wudhu dan menunaikan shalat Tahajjud. Dalam sujudnya yang panjang, ia berdoa,

"Ya Allah, aku udah jujur sama hatiku. Aku serahkan semuanya kepada-Mu. Jika dia adalah takdirku, maka mudahkanlah jalannya. Jika bukan, jangan biarkan aku terjebak dalam harapan yang sia-sia. Aku percaya pada-Mu, lebih dari apapun."

---

Di sisi lain kota, Fathir duduk di sebuah kafe kecil bersama Irwansyah, yang kebetulan datang ke Indonesia untuk kunjungan singkat. Mereka duduk sambil menikmati kopi hangat, membicarakan banyak hal, terutama tentang Arpa.

“Jadi, lo udah ketemu Arpa?” tanya Irwansyah sambil menyeruput kopinya.

Fathir mengangguk. “Iya, Yah. Dan jujur, gue makin bingung sekarang.”

Irwansyah tertawa kecil. “Bingung gimana?”

Fathir menunduk. “Gue pikir, setelah kita ketemu lagi, semuanya bakal lebih jelas. Tapi ternyata nggak semudah itu. Arpa keliatan ragu. Dan gue juga ngerasa, mungkin ini bukan waktu yang tepat.”

Irwansyah menepuk pundaknya. “Fath, lo udah jauh-jauh datang ke sini buat cari kejelasan. Tapi inget, kadang jawaban nggak selalu datang secepat yang kita mau. Mungkin ini saatnya lo nunggu Arpa buat nemuin jawabannya sendiri.”

Fathir tersenyum tipis. “Iya, mungkin lo bener. Gue bakal sabar. Gue cuma nggak pengen ngebebanin dia dengan perasaan ini.”

Irwansyah tersenyum. “Kalau emang ini jalan dari Allah, nggak ada yang bakal menghalangi. Lo udah sejauh ini, Fath. Jangan nyerah sekarang.”

---

Sebuah Momen yang Membuka Mata

Beberapa hari kemudian, Arpa mendapat undangan dari komunitas dakwah kampus untuk menghadiri kajian tentang “Istikharah dan Pilihan Hati”. Tema itu terasa pas dengan kegelisahan yang ia rasakan.

Saat kajian berlangsung, sang ustadz berkata,

"Dalam hidup, kita sering dihadapkan pada pilihan yang membingungkan. Namun, Allah memberikan kita jalan untuk meminta petunjuk-Nya, yaitu dengan shalat istikharah. Istikharah bukan hanya soal memilih jodoh, tapi tentang meminta Allah menunjukkan mana yang terbaik untuk kita."

Arpa merasa seolah-olah ustadz itu sedang berbicara langsung kepadanya.

Sepulang dari kajian, ia mengambil air wudhu dan menunaikan shalat istikharah. Dalam sujudnya yang panjang, ia berdoa,

"Ya Allah, Engkau tahu apa yang ada di dalam hatiku. Aku bingung, aku ragu. Jika Fathir memang jalan terbaikku, maka tenangkan hatiku dan mudahkan jalannya. Tapi jika bukan, maka kuatkan aku untuk merelakannya."

---

Beberapa hari berlalu sejak istikharah itu, dan perlahan-lahan Arpa mulai merasakan ketenangan dalam hatinya. Ia sadar, jawaban dari Allah tak selalu datang lewat mimpi atau tanda besar, tapi kadang melalui perasaan damai yang tiba-tiba muncul.

Suatu sore, Arpa menghubungi Fathir dan mengajaknya bertemu di taman kota — tempat mereka dulu berbicara dari hati ke hati.

Saat mereka duduk di bangku taman yang sama, Arpa memulai pembicaraan.

“Fath, aku udah lama mikirin ini semua. Dan aku udah istikharah juga,” kata Arpa dengan suara pelan.

Fathir menelan ludah, merasa gugup. “Dan… apa jawaban dari Allah?”

Arpa tersenyum lembut. “Aku nggak dapet mimpi atau tanda apa-apa. Tapi aku ngerasain ketenangan dalam hati. Aku sadar, selama ini aku takut buat melangkah karena ragu sama perasaanku sendiri. Tapi sekarang aku yakin…”

Fathir menatapnya dalam-dalam, menunggu kelanjutan kalimat itu.

“Aku yakin kalau kamu adalah bagian dari jalan hidupku yang Allah ridhai,” lanjut Arpa dengan air mata yang mulai menggenang.

Fathir tertegun, lalu tersenyum dengan mata berkaca-kaca. “Arpa… makasih. Aku janji, aku akan menjaga perasaan ini dengan sebaik mungkin. Aku nggak akan sia-siakan kesempatan ini.”

---

Malam harinya, Arpa duduk di balkon rumah sambil memandangi langit malam yang penuh bintang. Ia mengingat semua perjalanan yang sudah ia lalui — dari harapan, penantian, hingga akhirnya menemukan ketenangan.

Di kamarnya, Fathir juga merenung. Ia sadar bahwa perjalanan ini bukan akhir dari cerita, tapi awal dari babak baru yang akan mereka jalani bersama.

---

“Kadang, jawaban yang kita tunggu bukan datang dalam bentuk tanda besar, tapi lewat ketenangan yang Allah berikan di hati kita.

1
Uryū Ishida
Gemesin banget! 😍
✨♡vane♡✨
Baca cerita ini adalah cara terbaik untuk menghabiskan waktu luangku
Dandelion: Jangan bosan ya bacanya
total 1 replies
KnuckleBreaker
Bagus banget! Aku jadi kangen sama tokoh-tokohnya 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!