Alena adalah seorang gadis ceria yang selalu berbicara keras dan mencari cinta di setiap sudut kehidupan. Dia tidak memiliki teman di sekolah karena semua orang menganggapnya berisik. Alena bertekad untuk menemukan cinta sejati, meski sering kali menjadi sasaran cemoohan karena sering terlibat dalam hubungan singkat dengan pacar orang lain.
Kael adalah ketua geng yang dikenal badboy. Tapi siapa sangka pentolan sekolah ini termasuk dari jajaran orang terpintar disekolah. Kael adalah tipe orang yang jarang menunjukkan perasaan, bahkan kepada mereka yang dekat dengannya. Dia selalu berpura-pura tidak peduli dan terlihat tidak tertarik pada masalah orang lain. Namun, dalam hati, Kael sebenarnya sangat melindungi orang yang dia pedulikan, termasuk gadis itu.
Pertemuan tak terduga itu membuatnya penasaran dengan gadis berisik yang hampir dia tabrak itu.
"cewek imut kayak lo, ga cocok marah-marah."
"minggir lo!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Addinia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di labrak lagi
Bel istirahat telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Siswa-siswi berlalu lalang, sebagian menuju kantin, sebagian lainnya memilih beristirahat di taman. Alena dengan senyumnya yang cerah, berjalan santai di taman sambil menempelkan ponselnya di telinga. Percakapannya dengan Ricard, pacar barunya, membuat langkahnya melambat.
"Banyak kok, aku udah dapet temen 5." Bohong Alena.
Suara serak di telfon itu terdengar di pendengaran Alena. "Bagus sayang, kamu harus punya banyak temen lagi."
Dengan berat hati Alena berkata, "Iya."
Alena berjalan sambil sedikit menendang-nendang kerikil di jalan. "Ricard, aku tuh kesel tau. Coba aja kalo kita satu sekolah, pasti kita udah pacaran di taman sekarang."
"Iya Alena, aku juga maunya begitu."
"Kalo kamu disini, pasti lebih seru. Aku ga perlu nunggu weekend buat ketemu kamu."
"Tapi kamu tau ga. Walaupun kita nggak satu sekolah, aku selalu mikirin kamu? Bahkan pas jam istirahat kayak gini, aku kadang berharap kamu tiba-tiba muncul di depan kantin sekolah aku." Suara Ricard terdengar sangat lembut, membuat gadis itu salting sendiri.
"Ngarep banget, ya? Aku nggak mungkin tiba-tiba muncul di sana. Jauh, tahu."
Ricard tertawa kecil, "Iya, makanya aku suka mikir aja. Lagian aku seneng kok tiap kali kamu cerita soal hari-hari kamu di sekolah."
"Iya, tapi tetap aja aku maunya kamu di sini. Aku tuh suka iri liat temen-temen yang pacarnya satu sekolah. Kalau aku sedih atau lagi bete, mereka bisa langsung ketemu. Aku cuma bisa telepon kayak gini."
"Sayang, justru ini bukti kalo kita hebat. Kita bisa tetap deket walaupun jaraknya jauh. Nggak semua orang bisa kayak kita, loh."
Alena mentap langit, senyumnya mulai muncul perlahan. "Iya sih. Tapi aku masih pengen kamu di sini. Biar kamu tahu susahnya ngantri di kantin sekolah ini pas jam istirahat."
"Hahaha, ya udah, aku janji deh kalau nanti libur, aku datengin sekolah kamu. Mau?"
"Janji, ya? Jangan cuma ngomong doang."
"Janji. Kamu tunggu aja." Ucap Ricard yang terdengar yakin.
"Oke deh. Aku tutup dulu, ya. Jangan lupa jaga janji kamu!"
"Pasti. Bye, aku sayang kamu."
"Iya, aku juga."
Alena mematikan telepon. Gadis itu melanjutkan jalannya dengan santai menuju ke kantin. Senyum cerah menghiasi wajahnya, tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti ketika seorang gadis mendekat dengan ekspresi tidak bersahabat.
Gadis bernama Bianca itu berdiri dihadapan Alena dengan tangan di pinggang dan tatapan tajam. "Lo Alena, kan?"
Alena terkejut, "iya, gue Alena. Ada apa ya?"
"Oh jadi lo selingkuhannya Ricard." Ejek Bianca dengan nada sinis.
"WHATT!" Jerit Alena dalam hati.
Gadis itu mencoba tetap terlihat tenang. "Ricard? Selingkuhan? maksud lo apa ya? gue nggak ngerti."
Bianca menyilangkan tangannya, nada semakin tajam. "Lo nggak ngerti? Gue pacarnya Ricard. Dan gue tau kalo dia selingkuh."
Alena terdiam sejenak, matanya membulat karena kaget. Bahkan suaranya sedikit gemetar.
"Pacar? Lo pacarnya Ricard? Tapi... Dia nggak pernah bilang apa-apa soal lo."
Bianca tertawa sinis, mendekat lebih dekat ke Alena. "Ya iyalah dia ga bilang, mana ada orang selingkuh bilang-bilang."
"Alena, Alena.. Lo bodoh banget sih, cowok brengsek itu cuma mau mainin lo. Dan lo bodohnya malah percaya kayak nggak punya otak."
Wajah Alena memerah, setengah karena marah, setengah karena malu. "Gue nggak tau kalo dia udah punya pacar. Kalo gue tau, gue nggak bakal deket sama dia."
Bianca mendengus, "lo pikir gue percaya? Lo cuma alesan aja kan biar keliatan suci. Sekarang gue bilang sama lo, putusin Ricard!"
Alena mulai kehilangan kesabarannya. Ia mencoba menjelaskan, tapi Bianca tidak berhenti menyudutkannya.
"Gue bilang gue nggak pernah tau soal lo! Dan lo nggak punya hak buat nyalahin gue atas kelakuan pacar lo sendiri!"
Bianca mendorong Alena dengan kasar. "Jangan sok berani lo, ya! Gue pacarnya. Jadi gue berhak nyuruh lo mutusin dia!"
Dorongan itu membuat Alena hampir terjatuh. Tapi ia berhasil berdiri lagi, napasnya memburu. Wajahnya penuh emosi.
"Gue nggak salah apa-apa! Kalau lo punya masalah, selesain sama Ricard, bukan sama gue!"
Bianca melangkah lagi kedepan, tapi sebelum dia bisa bicara, Alena tiba-tiba menarik napas dalam-dalam. Lalu..
"AaaaAAAHHHHHHHH!!!" Alena mengeluarkan suara melengking yang sangat keras.
Jeritan melengking Alena menggema di seluruh taman. Bianca langsung menutup telinganya, wajahnya meringis kesakitan. Orang-orang disekitar mereka yang sebelumnya hanya menonton dari jauh, sekarang benar-benar memperhatikan dengan ekspresi terkejut.
Dari kejauhan, geng Ghost Riders yang sudah menyaksikan dari awal, langsung heboh.
Bayu melepaskan tangan dari telinganya, matanya membulat. "Gila! Itu suara apa sirine ambulans? kuping gue kayak mau pecah!"
Ronan tertawa keras, setelah pulih dari keterkejutannya. "Tuh cewek lebih gila dari yang gue kira!"
Ezra menyikut Kael, "Lo masih mau coba berurusan sama dia? sekali lagi dia teriak, tamat kuping lo."
"Gue nggak peduli suaranya. Tapi dia beda." Ucap Kael datar tanpa mengalihkan pandangannya dari Alena.
Luka tertawa kecil, "beda? beda gimana? Tuh cewek lagi dimaki-maki, el. Lo mau masuk ke medan perang?"
"Tapi dia nggak takut lawan siapa pun, bahkan si bianca. Gue akuin dia berani." Leo menyeringai.
Ezra berdiri santai sambil menatap ke arah Alena. "Kalo Kael beneran tertarik, kita bakalan nonton drama episode berikutnya."
"Lo lagi cari tantangan baru? jangan sampe lo malah jadi korban berikutnya." Ronan tertawa kecil.
Bayu Tertawa keras sambil menunjuk Kael. "Gue udah bisa bayangin, Kael jatuh cinta gara-gara kupingnya hampir pecah."
Kael tetap tenang, tidak terganggu dengan ledekan mereka.
"Lo semua terlalu banyak omong."
Sementara disana. Bianca mundur beberapa langkah, wajahnya merah karena malu dan marah. Sementara itu, Alena berdiri dengan wajah penuh emosi, tapi dia terlihat lebih percaya diri. Tatapan semua orang kini tertuju padanya.
Bianca menatap Alena dengan marah. "Lo... lo gila, ya?"
Alena melipat tangan di dadanya, "Gue nggak peduli lo bilang apa. Tapi lo nggak punya hak buat nginjek harga diri gue. Jadi kalau lo nggak mau denger teriakan gue lagi, pergi dari sini."
Bianca mengatupkan rahangnya, menatap Alena sekali lagi, lalu berbalik pergi dengan kesal. Kerumunan mulai berbisik-bisik.
Alena berdiri di tempatnya, napasnya sedikit terengah. Meski semua perhatian tertuju padanya, dia tetap tegak, menatap punggung Bianca yang menjauh.
"Gila lo, Alena!" jeritnya dalam hati.
Jeritan Alena tidak hanya menghentikan Bianca, tapi juga menarik perhatian seluruh taman—termasuk seseorang yang kini tidak bisa mengalihkan pandangannya darinya. Gadis itu baru saja menunjukkan sisi unik yang membuat Kael semakin penasaran.
...----------------...
Langit sore mulai memerah saat Kael mengendarai motornya perlahan di belakang Alena yang berjalan santai sendirian. Tidak ada raut sedih di wajah Alena setelah kejadian dramatis di taman tadi. Justru dia terlihat tenang, menikmati angin sore.
Kael menyipitkan mata, memandang gadis itu dengan rasa penasaran yang terus tumbuh sejak pagi. Dia akhirnya memutuskan untuk menghampiri.
"Mau ikut nggak? Gue janji nggan bakal ngebut."
Alena melirik sekilas tanpa memperlambat langkah. "Nggak."
Kael tersenyum usil, mempercepat laju motornya sedikit untuk sejajar dengannya. "Yakin? jalan ke rumah lo pasti jauh kan, bisa pegel tuh kaki."
Berhenti sejenak, menatap Kael dengan ekspresi datar. "Gue bilang nggak, berarti nggak."
Kael mengangkat bahu, memasang wajah polos. "Gue cuma mau bantu, kalo berubah pikiran bilang ya."
Alena memutar bola matanya, lalu melanjutkan langkahnya tanpa berkata apa-apa lagi. Tapi Kael, dengan motor yang masih dimatikan, terus mengikuti di belakangnya.
Suara roda motor Kael yang bergerak pelan di atas aspal mulai membuat Alena kesal. Dia akhirnya berhenti dan berbalik, menatap Kael dengan tajam.
"Lo kenapa sih? Gue udah bilang nggak mau, kenapa lo masih ngikutin gue?" Ketus Alena.
Kael menyengir, matanya penuh canda. "Gue nggak ngikutin lo. Kebetulan searah."
Alena mendekat ke Kael, menunjuk motornya. "Lo pikir gue bodoh? Motor lo aja mati. Lo sengaja, kan?"
Kael tertawa kecil, memasang ekspresi tidak bersalah. "Gue lagi hemat bensin. Lo nggak mau naik, jadi gue sekalian jalan santai."
Alena melipat tangan di dada, napasnya mulai berat karena kesal. "Lo beneran nyebelin, ya. Gue nggak ngerti apa tujuan lo."
"Tujuan gue cuma satu. Gue nggak mau lo capek jalan jauh. Itu doang." Ucap Kael dengan nada tenang.
Alena berdiri tegak dengan tangan di pinggang, nadanya tegas. "Gue nggak mau naik motor lo. Lo bisa pergi sekarang?"
Kael bukannya pergi, malah tersenyum lebih lebar. Dia turun dari motor, mendorong motornya perlahan mengikuti Alena yang kembali berjalan.
Alena berhenti lagi, menatap Kael penuh emosi. "Lo tuh bener-bener keras kepala, ya?"
Kael mengangguk dengan senyum penuh canda. "Gue? Bukan keras kepala. Gue cuma konsisten."
Alena mendesah kesal, mulai kehilangan kesabaran. "Gue nggak ngerti sama lo. Udah jelas gue nggak mau ngomong sama lo, tapi lo malah terus ngikutin gue."
Kael berdiri santai, menyandarkan tubuhnya pada motornya. "Karena gue tahu, di balik semua ketus lo, sebenernya lo ga keberatan gue ada di sini."
Alena tertawa sinis. "Oh ya? Lo pikir lo kenal gue?"
Kael mengangkat bahu. "Gue emang belum kenal lo. Tapi gue mau kenal lo. Itu salah?"
Alena menatapnya tajam. "Salah kalo caranya kayak gini. Lo malah bikin gue tambah kesel."
Kael tertawa kecil, lalu memasang wajah serius tapi masih dengan nada bercanda. "Oke, oke. Maaf, gue salah. Jadi, mau gue pergi?"
Alena menghela napas panjang. "Iya. Gue mau jalan sendiri tanpa lo ganggu."
"Oke. Gue pergi."
Kael menyalakan motornya, tapi tidak langsung pergi. Dia menatap Alena sejenak, lalu tersenyum tipis.
"Kalau berubah pikiran, gue masih ada di belakang lo."
Tanpa menunggu jawaban, Kael pergi perlahan, meninggalkan Alena yang masih berdiri di tempat dengan wajah bingung antara marah dan takjub.
Saat motor Kael mulai menjauh, Alena mendesah pelan, lalu melanjutkan langkahnya. Tapi, di dalam hatinya, ada sedikit rasa penasaran yang mulai muncul tentang cowok aneh yang barusan mengganggunya.
Sementara itu, Kael, yang melaju pelan di kejauhan, tersenyum sendiri. Dia tahu Alena bukan gadis biasa, dan itu membuatnya semakin tertarik.
...----------------...
bagaimana dengan part kali ini?