[Sampul digambar sendiri] Pengarang, penulis, penggambar : Hana Indy
Jika ada yang menganggap dunia itu penuh dengan surga maka, hanyalah mereka yang menikmatinya.
Jika ada yang menganggap dunia penuh dengan kebencian maka, mereka yang melakukannya.
Seseorang telah mengatakan kepada lelaki dengan keunikan, seorang yang memiliki mata rubah indah, Tian Cleodra Amarilis bahwa 'dunia kita berbeda, walau begitu kita sama'.
Kali ini surai perak seekor kuda tunggangnya akan terus memakan rumput dan berhagia terhadap orang terkasih, Coin Carello. Kisah yang akan membawa kesedihan bercampur suka dalam sebuah cerita singkat. Seseorang yang harus menemukan sebuah arti kebahagiaan sendiri. Bagaimana perjuangan seorang anak yang telah seseorang tinggalkan memaafkan semua perilaku ibundanya. Menuntut bahwa engkay hanyalah keluarga yang dia punya. Pada akhirnya harus berpisah dengan sang ibunda.
-Agar kita tidak saling menyakiti, Coin-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Indy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Taruh
..."Sapaan juga kata salam sudah terlupakan. Bagaimana jika berpindah kepada pundak kecil tanpa permisi? Tubuh terbujur kaku, panjang melintang rentangan tangan. Malam itu, akan saksikan amarah seorang anak yang akan meluap. Tetapi, belum waktunya." Surai....
Pagi menyapa tubuh lemahnya dalam dinginnya sel penjara. Tidak akan dia sapa balik. Hanya dengan dinginnya lantai sudah membuat dirinya berada dalam titik terendah. Sama seprti suhu tubuhnya yang mulai mendingin. Tian tidak pernah merasakan hangatnya kasih semenjak malam itu. Melihat kakaknya mati mengenaskan adalah pemandangan yang akan dia ingat seumur hidupnya.
Berapa jam yang sudah dia lalui?
Berapa menit yang sudah berjalan?
Adakah perayaan festival indah bersama Baron lagi?
Bersama dengan rekan satu penjaranya meronta ketakutan. Setiap detik bagaikan dalam neraka. Rambutnya yang memiliki ciri khas unik kini tidak terurus lagi, matanya sudah tidak menyiratka kebahgiaan lagi. hanya mengingat warna hitam gosong itu, enggan pergi.
Tian melirik lelaki kekar dengan lambang Bendera Mata Satu menatap asing kepada dirinya. "Kita bawa dia!"
Seorang lelaki masuk dan kini mencerngkeram tangan Tian. Dengan mudah dibawa ke hadapan pemimpin mereka. Sepanjang jalan hanya bisa menyaksikan semua anggota sekte yang ternyata jumlahnya ratusan. Mereka berjajar dalam sesaknya udara sempit. Satu-satunya yang tidak dihancurkan adalah pusat kepolisian. Bertujuan untuk merebut semua senjata, rahasia kepulauan, dan aset negara. Dengan begitu, Sekte Uno sudah memiliki kuasa atas Pulau Arash.
"Jadi dia anak yang bernama Tian?"
Para pengikut sekte kini menunduk hormat kepada tuan mereka yang berjalan melewati bahu.
Tian mendongak. Melihat setiap inchi wajah lelaki berengsek yang sudah menghancurkan semua penduduk. Wajah itu sangat menjijikkan bagi Tuan Uno. Ditendangnya keras Tian menggunakan kakinya yang runcing. Darah segar langsung mengalir melewati pelipis Tian. Hanya meringis menahan sakit.
"Menjijikkan! Sungguh mata yang menjijikkan!"
Mengatur nafasnya barang sejenak. Apakah kamu tahu, siapa yang pernah mengalahkanku dalam penyerangan Kerajaan Seberang?" Kini berjalan di depan Tian, berjongkok. "Kedua orang tuamu!"
Tuan Uno berbalik. "Bunuh dia!"
Pedang ditarik dengan mudah dari salah satu pengikut sekte. Hendak menebaskan ke arah leher Tian. Suara pinu didobrak dengan keras."Tuan Uno! Semua harta milik Regen sudah menghilang!"
Dengan cepat Tuan Uno menghampiri Tian. Membuat lelaki itu menatap matanya lekat. "Katakan! Di mana semua harta Regen!"
Tian hanya terdiam. Suara sunyi juga mengisi kekosongan.
"Tian Cleodra Amarillis," panggil Tuan Uno dengan suara yang merendah. Berharap menahan marahnya dengan sangat kuat. "Katakan, di mana letak kekayaan Regen!"
"Seharusnya kamu tidak membunuh kakakku, dengan begitu kamu bisa menguasai semuanya. Aku hanyalah anak berusia 12 tahun. Namaku tidak pernah dikenalkan sebagai keluarga Regen sebelum 17 tahun."
Adalah sebuah fakta yang tidak pernah diketahui oleh Tuan Uno. Mengernyit keningnya menyatu. "Jadi begitu," lirih Tuan Uno.
"Bunuh dia!" perintahnya untuk kedua kalinya.
"Regen menyembunyikan kekayaan yang selama ini dia miliki." Dengan kedua tangan menopang tubuhnya mengaca dalam sebuah singgasana sebelum akhirnya Tian dibawa pergi oleh penjaga.
Lelaki yang membawa Tian kini menyeret kasar. Salah seorag yang cukup berbaik hati karena membawa Tian menuju pusat pemakaan. Tian hanya menyerahkan dirinya. Rasanya hidup juga sudah tidak mungkin terjadi. Dilihatnya lekat lelaki yang akan menjadi algojonya. Terlihat menoleh kesana-kemari sebelum akhirnya melepaskan cengkeram Tian. Tepat berhenti pada lubang yang ada dibelakang Tian adalah tempat kuburnya. Lelaki itu membuka tudungnya, mata hitam dengan sedikit semburat kehijauan yang merupakan ciri khas penduduk Arash.
"Pergilah!" perintahnya dengan nada rendah, takut jika ketahuan penjaga yang lainnya.
"Tunggu, kamu siapa?"
"Apakah penting Tuan Muda Tian. Saat ini pergilah dan buat Anda seolah mati. Saya sudah tidak tahan. Cepat!" Lelaki itu mendorong tubuh Tian agar menjauh darinya. Dilepaskannya jaket yang membungkus Tian lalu mengotori jaket dengan darah dari kantong darah.
"Semoga Tuan Muda mengenaliku," lirihnya sebelum Tian berlari pergi menuju hutan yang sudah menjadi tempatnya selama ini berlindung.
Tian tersenyum, dia adalah penjaga yang sering mengadu mulut dengan Tian. Harapan sudah dipanjatkan oleh Tuan Muda Regen yang kabur sore itu. "Semoga lama hidupmu, agar kamu bisa melihat perjuanganku sampai akhir."
Tian berhenti pada gerbang kehutanan sangat dia hafal. Hendak menepuk tangannya memanggil kuda bersurai perak yang sering dia bawa. Seketika mengurugkan kehendak. Ada yang harus dia lakukan sebagai pewaris Regen selain bersembunyi lalu merebut kembali Kota. Ada sesuatu yang harus selesai.
Diingatkannya kembali sebuah perjuangan yang telah dia lampaui untuk sampai pada titik ini. Melihat dengan matanya. kota yang hancur. Pembunuhan secara besar-besaran itu ternyata sudah dua minggu lamanya.
Tian memantapkan langkahnya menuju sebuah jalan setapak bebeda dengan apa yang dilalui Baron. Terus menguatkan hatinya menuju desiran pantai yang sudah lama tidak dia sapa. Berlomba mengumpulkan ikan dengan pembelajaran dia terima. Membangun gubuk setelah dia tidak lapar, dan menunggu seseorang untuk dia tumpangi pergi meninggalkan Pulau Arash.
...***...
Hujan serapah dan makian. Terus berteriak tanpa henti tentang penatnya hidup yang dijalani oleh perempuan muda. Emosional tidak terkendali ketika melihat anak yang memandang sayu gelap malam. Meringkuk dalam ketakutan sudut ruangan. Bocah lelaki berusia 7 tahun yang menjijikkan sudah membuat rasa wanita ini muak.
Berceloteh sembari memukul meja, sudah bocah ini dengarkan setiap hari. Seakan bertaruh apakah dia akan menjadi sama seperti ibunya kelak. Lelaki mana yang sudah menghamili perempuan desa penjaja. Pada akhirnya, karirnya harus goyah karena melahirkan anak. Buruk sudah tubuhnya banyak yang menolak karena tidak cantik lagi. Namun, apa yang dia hasilkan dari pekerjaan instan dimiliki?
Hanyalah bocah tengil. Bocah yang memiliki rambut perak abu-abu juga mata senada sedikit biru.
Dihampiri bocah lelaki itu. "Apa yang bisa dibuat darimu? Biaya sekolah mahal, biaya perawatan juga mahal. Apa yang bisa kamu perbuat?"
Teriakan yang sudah lama dia temani kini sudah terucap kembali. Membuang anak itu? Sudah berjaga kepolisian atas banyaknya kejahatan.
Pulau Arahis menjijikkan yang dia tinggali. Kota utamanya kebak dengan penjagaan militer hebat. Tahun di mana anak itu lahir bagi perempuan yang kerap dipanggil Airis itu menjadi tahun paling buruk sepanjang masa. Merutuki diri dalam keheningan malam. Menyumpahi dunia ketika melihat wajah putranya.
Apakah semua dengan kasih sayang?
Daging dihadapannya sekarang ini?
Menyebalkan melihat wajah tiada tampan dia kira. Hanya sedikit kecantikan yang terpatri. Dilangkahkan kaki keluar rumah kecil di sudut kota. Berbekal dengan sepersen koin untuk menjaja makanan. Bersumpah serapah dalam diri perempuan ini untuk tidak memberikan makanan malam ini kepada anak tengil.
Memesan satu bungkus mie dengan daging diatasnya. Pedagang itu tampak sedikit khawatir. “Ada apa?” Tanya Airis dengan tatapan kecut.
“Akhir ini sering ada pembunuhan. Nona yakin akan keluar malam-malam?”
Mungkin melihat sepatu juga gaun yang dia sandang. “Tidak, aku sepulang kerja,” jawabnya dengan ramah. Mengingat hanya mempertahankan dirinya diluaran sana.
“Ah begitu ya,” leganya pedagang itu.
Airis segera melajukan langkahnya setelah mendapatkan apa yang dia bungkus. Tanpa sengaja matanya melihat sebuah pamflet seukuran kecil. Menampakkan nama sebuah bar yang terkenal elite, mata Airis terpaku. Mulutnya terbisu.
“Pencarian bintang?” Tanyanya pada diri sendiri untuk meyakinkan.
Setelah memastikan puluhan kali barulah sebuah ide tersangkut diotaknya. Segera berbalik arah dan menghampiri pedagang tadi. Memesan satu untuk dibungkus.
“Seorang penari untuk Tuan. Berusia 10-15 tahun. Laki-laki atau perempuan. Bisa dididik.”
Kalimat yang akan dia ingat sepanjang masa.
Sejenak menikmati pemandangan yang ada di depan matanya. Kilas balik mengenai masa suram enggan mampir. Kini hanya tergantikan dengan sedikit kebahagiaan dan harapan, kepada anak yang dia sisir rambutnya manja.
Tidak berani mengungkapkan kata atau pertanyaan, begitulah yang lelaki kecil rasakan. Mendarah sudah jantungnya ketika malam itu ibundanya mengatakan sebuah pekerjaan kotor.
Namun, kini cerita rumah yang dia tahu sudah berbeda.
Diantarkannya lelaki kecil menuju satu gang kecil. Seraya menggandeng tangan putra kecilnya. “Coin,” panggil ibundanya.
“Iya Ma,” sapanya balik.
“Hari ini aku ingin kamu mempertahankan senyum itu.”
Cantik dan manis, adalah dua kata yang sudah menggambarkan senyum perempuan ini.
“Baiklah Ma.”
Mati lebih baik dari bertahan. Sedangkan, hidup lebih susah.
Dilihatnya sebuah bangunan besar tiada kira. Pagi menjelang siang kala itu membuat gedung tinggi selayaknya cahaya kota kemilau. Sinar mentari yang memancar indah dari pantulan kaca atau pernak-pernik.
Didengar sedikit samar ibundanya berbicara dengan penjaga. Mengatakan jika mengantarkan anaknya mencari audisi bintang. Dengan halus penjaga mempersilakan keduanya masuk.
Beruntungnya Airis pernah membelikan putranya baju yang bagus untuk menghadiri acara. Dan itu akan dia pakai sekarang dan seterusnya. Bertemu dengan sosok yang duduk di kursi malas. Sembari memberikan saran untuk anak seusia dirinya yang juga mendaftar audisi yang sama. Seorang gadis kecil yang cantik menurut Coin. Imut wajahnya juga cantik parasnya.
Namun, mengapa seakan meminta tolong?
Coin telah mengerti apa yang dilakukan ibundanya. Menjual Coin seperti anak haram lainnya. Begitulah Coin menyebutnya.
“Selamat siang Tuan. Ijinkan Airis menyampaikan sebuah pesan juga permintaan.”
Diteguknya teh hangat yang masih mengepul uapnya. Melihat wajah Coin yang merona membuat lelaki itu tertarik. “Apa warna rambut dan matanya asli?”
Lelaki dipanggil Tuan menghampiri Coin. Mendekat secara perlahan memastikan jika Coin tidak takut dengannya. “Siapa namanya?”
“Coin Carello,” jawab ibundanya.
Hanya dengan melihat lelaki itu begitu banyak kepuasan diwajah Airis. Begitu juga dengan Tuan. “Dia sangat unik.”
“Selamat siang Tuan,” sapa Coin hormat.
“Manisnya,” pujinya lagi. “Apa yang bisa kamu tunjukkan?”
Coin sempat meragu, namun melihat ibundanya menyemangati. Dia kemudian melirik sekitar. Ada beberapa alat musik yang terpajang dalam ruangan. “Apakah ada Arkodeon?”
“Ada,” jawab Tuan.
Segera dia mengisyarahatkan pengawalnya untuk memberikan Arkodeon kepada anak lelaki ini. Coin memegang luwes Arkodeon. Memainkannya barang sekilas untuk menciptakan irama yang indah. Senyum puas terpatri di wajah Tuan.
“Aku akan membelinya. Berapa yang akan kamu tawarkan?”
Senyuman di wajah Airis adalah yang paling Coin sukai saat itu. Wajah ibundanya begitu bahagia. Sangat lepas.
Sembari melambaikan tangan sembari menangis. Sembari menitikkan air mata sembari merasa luka. Coin tidak akan pernah berjumpa dengan sosok itu semakin lama waktu memisahkan mereka.
Dalam perjalanan pulang kilas balik memutari otaknya. Lambaian tangan itu mirip dengan dirinya. Mirip dengan saat itu, dikala guyuran salju dingin. Dia dijual oleh orang tuanya kepada paman telah tewas ditikam oleh emosinya.
Sejenak berhenti untuk merutuki diri sendiri. Lalu melambaikan tangan terakhir untuk lelaki berusia 10 tahun yang dibawa oleh dua pengawal.
Koper yang ada ditangannya sedikit melonggar genggaman. Hidup sendirian lagi.
Pada tahun itu, tiga tahun sebelum Kita Arash dibombardir ada seorang lelaki beranjak dewasa sedang menangisi hidup. Dalam ruangan kecil yang dia sebut dengan rumah sekarang, banyaknya teman sepermainan dalam riuhnya bangunan menjulang malam hari.
Bangunan yang disebut dengan Paviliun Surga. Bangunan berlantai dua yang memiliki banyak rumah. Terkesan indah dengan banyak aksen bunga. Motif itu menjelujur memenuhi paviliun.
“Coin, mulai sekarang kamu akan bekerja paviliun itu.” Tunjuk lelaki yang membawanya. “Tugasmu sangat mudah. Sebagai pemegang musik, kamu harus bisa melantunkan lagu indah untuk mereka yang haus akan suara.”
Coin mengangguk.
Dandanan sedikit memoles wajahnya. Hampir menjelang tengah malam, hari pertama Coin bekerja. Dilihatnya semua pelanggan yang sudah terjejer rapi menunggu pelayan menjajakan musik.
Rumah yang memiliki karpet merah menjadi tempat pertama Coin bekerja. Diketuknya perlahan. Lalu seorang gadis berburu membuka pintu. “Ah Coin ya,” suara gadis lembut menyapa.
Dandanan penuh dengan kupu-kupu. Jepit, helaian rambut menjuntai senada dengan gaun malam itu, merah pipinya, juga bibirnya.
“Iya,” jawab Coin dengan senyuman.
“Dia sangat cantik dan tampan,” seorang gadis lainnya dengan gaun biru melambaikan tangan.
Coin dipersilakan masuk. Setelah melihat seluruh ruangan sampai ke sudut. Berpikir tempat yang nyaman untuk tidur walau hanya dilantai. “Memangnya apa pekerjaan yang akan saya lakukan?”
“Ahaha, kamu jangan formal. Kita semua saudara.” Gadis kupu-kupu begitulah Coin menyebutnya berceloteh.
“Mudah,” lanjutnya.
Coin dibawa dalam ruangan. Seperti keindahan hutan yang pernah dia lihat.
“Nah, kamu duduk di sini saja.” Suara lembut itu membuyarkan lamunan. Coin menurutinya, bagaikan anak anjing mulai penasaran dengan alat musik di depannya.
Harpa. Begitulah orang menyebutnya.
Malam hanya akan semakin dingin. Beberapa gelas arak mulai tersedia. Siap memanjakan lidah para pengunjung.
Coin mencoba menyesuaikan dengan satu nada ke nada lainnya. Masih dia amati jika Harpa itu sumbang. “Nona, apakah sudah lama tidak dibenahi?”
“Pemain musik kami meninggal dua bulan yang lalu. Mungkin dia tidak membenahi.”
Coin mengangguk. Menyetel musiknya, seorang lelaki berjalan menuju karpet merah. Terbukanya pintu menyambut seorang Tuan bersama dengan segudang uang. Koper yang berbentuk kotak kebak dengan mata uang.
“Ada hadiah buat kalian,” ucapnya dengan bangga.
Coin menunduk hormat ketika dia melihat lelaki berjenggot tipis. “Selamat datang Tuan.”
“Tuan Bon, perkenalkan dia pemain baru di sini.”
Sedikit menaikkan alisnya. Melihat baju yang terbuka, memperlihatkan kedua bahu. Dengan anting-anting. Dengan sepatu jinjit. Dengan polesan riasan sederhana. Dengan jaket berwarna hitam indah, juga dengan buah dada tidak tampak.
“Kamu cukup mengesankan.”
Gadis kupu-kupu berbisik, “lihat, kamu disukai olehnya. Kami akan membagi uang ini denganmu nanti.”
“Terima kasih,” bisik Coin membalas.
Sebenarnya apa pekerjaan yang ditawarkan tidak lebih bagi mereka yang haus akan suara? Bukan? Setidaknya bukan itu yang Coin pelajari sekarang. Hanya melihat banyaknya gadis merayu memanjakan tubuhnya dengan lelaki kekar itu. Lalu bercumbu diriingi dengan alunan musik. Coin membutakan telinga? Seperi inikah dia akan berakhir selama hidupnya?
Tuan bertengger dalam pinggiran pavilliun. Menyaksikan berbagai barang wanita berserakan, bergidik ngeri bulu romanya. Lalu sembari menyesap rokoknya melambaikan tangan kepada dua pelayan mereka.
"Huwah lelahnya. Hari ini Tuan Bon ternyata datang. Dia berjanji kepada kita dua bulan yang lalu ya."
"Iya, kita juga akan menyerahkan uang ini kepada atasan."
"Ayok Coin," Kakak Kupu-kupu berceloeh kepada Coin.
Coin menelan ludahnya susah payah. Memainkan alat musik sudah lama Coin lakukan. Tetangga Coin menyukai hal seni juga hiburan, sempat beberapa kali dalam seminggu Coin akan datang lalu memainkan semua alat musik yang dia punya. Tidak menyangka jika kemamuannya akan digunakan dalam menghasilkan uang haram.
Mengikuti kedua gadis dengan tatapan tiada senang. Melihat riasan wajah mereka yang sudah sepenhnya berantakan tidak dihiraukan mata memandang. Coin mengenali Tuan yang membawanya. Panggil dengan Tuan Jaza, seorang yang entah dari mana asalnya.
"Oh bintangku," suara Tuan Jaza menyambut.
"Kalian yang paling lama keluar. Peserta yang lainnya sudah keluar 1 jam yang lalu."
"Kami sangat merindukan Tun Bon dia malah bercerita banyak mengenai bisnisnya."
Ah ya, Coin juga mendengarnya beserta desahan dua gadis. Itulah mengapa setiap paviliun memiliki kasur.
"Baiklah, apa yang kalian dapat?" Tuan Jaza mengusap kepala keduanya. Gadis Kupu-kupu juga Gadis Bergaun Biru. "Serahkan dan aku akan membaginya dengan kalian."
"Bagi juga dengan Coin ya, dia sudah memainkan musik dengan sangat bagus. Tuan Bon juga menyukai dirinya," ujar Gadis Kupu-kupu.
"Baiklah," senyuman sudah berada pada titik terbahagia.
Apa yang akan mereka dapat? Tentu saja uang. Pelanggan istmewa yang dinamakan Tuan Bon merupakan lelaki dengan pangkat tertinggi yang Coin tahu. Memiliki lencana- kepolisian.
Keluar ruangan setelah semalaman tidak tidur. Terus menyakiti diri dengan angin juga kunang-kunang tiada tersenyum. Coin baru mengerti, pavilliun yang dia tempati adalah paviliun utama yang kerap dikunjungi banyak orang. Malam hari ini ada dua anggota. Malam berikutnya ada tiga anggota. Malam keempat, hanya ada satu anggota. Seterusnya. Sampai entah kapan rasa bosan sudah mewarnai dirinya.
Coin mengusap wajahnya setelah berpamitan dengan Gadis Kupu-kupu bahwa dia akan ke toilet. Ada yang salah dengan pencernaannya. Ada yang salah dengan perasaannya.
"Mengapa aku mual?"
Coin berlari setelah merasa tidak sanggup untuk menahan rasa mual. Mmjuntahkan isi makanannya yang dia sarap sore ini. Membasuh wajahnya dengan air mengalir. Membuka jaket hitamnya lalu melemparkannya di samping dia terjongkok.
"Hidup dengan mama lebih enak."
Suara langkah kaki berhak tinggi membuyarkan kemurungan. Dilihatnya Gadis Bergaun Biru yang sudah dia hafal lekuk wajah juga tubuhnya. "Apa kamu ingin tahu sebuah cerita?"
Coin mendongak. "Apa?" jawabnya ketus.
Seorang kakak duduk di samping Coin. "Aku juga tidak suka menjajakan diriku. Tetapi, kami butuh uang. Untuk bertahan di dunia yang kejam kami membutuhkan uang. Kamu tahu aku lahir dari seorang ibunda buta yang menusuk matanya sendiri akibat melihat ayahku selingkuh."
"Jika kakak tidak menyukainya mengapa kamu memilih pekerjaan ini?"
"Karena aku ingin menjadi seseorang yang akan menghancurkan keluargaku sendiri."
"Apa yang kamu lakukan? Bukankah itu keterlaluan?"
"Apakah aku lebih kejam daripada ayahku?" Sejenak keheningan diantara mereka. Coin memberanikan dirinya menatap manik gadis yang Coin anggap sudah berusia 17 atau 18 tahun. "Apakah kamu tahu dengan siapa ayahku melakukan perselingkuhan? Dengan kakakku sendiri."
Coin terkejut setengah mati, hampir saja melorot jantungnya.
"Dan apakah kamu tahu siapa gadis yang sering kamu panggil Kakak Kupu-Kupu?"
Coin menggeleng.
"Dia adalah gadis yang lahir dari pasangan bangsawan yang memilih untuk bunuh diri karena terlilit utang dan tidak bisa membayarnya. Sebelumnya mereka menjual putri kesayangannya sendiri sebelum bunuh diri. Dan uang hasil jual itu mereka gunakan untuk hidup mewah. Selanjutnya, anak mereka yang akan menanggung beban.
Apakah kamu tidak melihat jika kita semua yang berada dalam rumah ini adalah anak yang memiliki cerita yang sama, penderitaan yang sama, dan juga rasa sakit yang sama.
Jadi, Coin. Jika kamu menginginkan kebebasan maka, pergilah. Sekalipun kamu tidak berhasil kabur dan hidup menua bersama diri sendiri atau orang terkasih, kamu masih bisa mati."
Gadis Bergaun Biru bangkit, sedikit berkaca membenahi riasan wajahnya.
"Apakah pemain musik sebelumnya juga pergi? Artinya, dia meninggal?"
Gadis Bergaun Biru teringat akan wajah lelaki cukup dewasa yang memainkan seruling. Nampak begitu bahagia keika dia bekerja tetapi begitu sedih ketika dia keluar dari paviliun. Sama seperti orang ini lakukan. "Iya," jawabnya kemudian.
"Dia meninggal bukan karena usia atau takdir Tuhan. Tapi, ada seseorang yang merenggut kebebasan hidupnya," Lanjut kakak Bergaun Biru.
Coin melihat punggung Kakak Bergaun Biru menjauhi dirinya. Sedikit memiliki harapan hidup, Coin mengambil jaketnya lalu membenahi riasannya.
"Di sini mereka seperti memiliki saudara."
...***...
Berapa tahun sudah dalam kungkungan. Pertama kalinya lelaki dengan mata abu-abu perak itu keluar melihat matahari langsung secara bebas. Memiliki kelonggaran dengan lencana yang sudah dia dapatkan sebulan yang lalu. Mereka yang sudah memiliki lencana bintang satu akan memiliki libur barang sebentar seminggu sekali.
Berjalan menggunakan kereta kuda di bawah terik matahari. Kali ini Kakak Gadis Kupu-kupu juga sudah mendapatkan tugas lain diluaran sana. Sepanjang jalan hanya melihat orang-orang berjalan dengan keluarganya. Mengunjungi pusat permainan anak juga hidup bebas. Tanpa sadar air matanya menetes melewati pipinya, diusapnya cepat.
Kali ini berhenti di rumah seorang lelaki yang sudah siap dengan penyambutan. Bersama dengan Tuan Jaza yang berjalan mendahului Coin.
"Kita sudah sampai di Rumah Tuan Bon. Sore nanti kamu akan disewa oleh Tuan Bon untuk mengiringi musik dalam acara ulang tahun pernikahan mereka yang ke 30 tahun. Aku harap kamu tidak mengacaukan segalanya. Tetapi, jika itu kamu pasti akan sangat memuaskan."
Tuan Jaza menoleh barang sejenak, memastikan jika Coin berada dalam jangkauannya. "Tuan Bon sudah menjadi pelanggan setia. Aku juga tidak mengirimkan pelayan murahan untuknya. Kamu memiliki lencana Bintang Satu itu adalah prestasi yang hebat."
Tidak banyak bicara itulah yang setidaknya menjadi ciri khas anak yang dibawa oleh Tuan Jaza. Setelah menemui dayang pribadinya, seorang wanita keluar dari rumah persinggahannya. Sangat bahaga ketika melihat seorang anak yang memiliki lencana bintang satu.
"Astaga, apakah kalian dari Agensi Surga?"
Mengernyit kening Coin. Bukankah dia salah menyebutkan nama paviliun? Namun, tidak bodoh untuk menyadari bahwa semuanya hanya kedok dibalik kedok.
Coin menunduk hormat. "Selamat siang, Nyonya Bon."
"Ah jangan begitu. Mari masuk aku sudah tidak sabar mendengarkan kamu meminkan musik. Salah seorang artis Agensi Surga."
Begitu bahagia ibunda itu melihat Coin. Memang menyukai paras yang lumayan cantik juga tampan. "Sayang, lihatlah siapa yang datang!" Menyerunya wanita itu dari lantai bawah rumah.
"Ah Tuan Jaza." Sambutan ramah sudah didapatkan dari tuan Bon yang kerap Coin lihat. Sangat bahagia ketika melihat anak yang dibawa.
"Apakah sesuai dengan kriteria Anda?" Tuan Jaza seperti menggoda Tuan Bon.
"Sangat! Sangat!" Angguknya dengan antusias.
Setelah meninggalkan banyak kata untuk doa pernikahan mereka. Tuan Jaza meninggalkan Coin dalam rumah Tuan Bon.
Masih dia dingati sebuah nasihat dari kakak yang sudah dia anggap keluarga. Coin sepanjang detik semasa dirinya bekerja sudah tiga tahun lamanya. Masih dia sangat ingin kabur lalu membentuk keluarga yang dia inginkan. Atau bahkan hanya sekedar bebas saja sudah bersyukur paling serius.
Setelah memiliki kamarnya sendiri, Coin berbaring untuk mempersiapkan diri. Dilihat aula utama kediaman Tuan Bon dan Nyonya Bon yang dihias selayaknya pernikahan. Dengan tema 'Kembali Suci', yang membuat Coin tertawa seketika. Menutup mulutnya segera.
"Apanya yang suci? Kelamin itu sudah dipakai bersama Kakak Bergaun Biru dan Kakak Kupu-Kupu."
Menghembuskan nafasnya kasar, beralih memandang jendela semilir angin masuk melalui celah. Sore hari yang akan segera berakhir setelah memberikan arahan kepada beberapa pengiring musik lain yang disewa kini saatnya mengistirahatkan tubuh lelahnya. Bersiap malam nanti akan menjadi pertarungan terakhirnya.
Niatnya.
Bersambung...