NovelToon NovelToon
After Happy Ending

After Happy Ending

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Kaya Raya / TKP / Romansa / Pembaca Pikiran
Popularitas:374
Nilai: 5
Nama Author: Yola Varka

Kehidupannya telah menjadi impian semua wanita, namun Beta justru mengacaukannya.

Bukannya menikmati hidup bahagia, ia malah membunuh sang suami yang kaya raya???

Dari sinilah, kisah kehidupan Beta mulai diceritakan. Kelamnya masa lalu, hingga bagaimana ia bisa keluar dari lingkar kemiskinan yang membelenggu dirinya.

Kisah 'klasik'? Tidak! Kehidupan Beta bukanlah 'Template'!

Flashback kehidupan Beta dimulai sejak ia masih sekolah dan harus berkerja menghidupi keluarganya. Hingga akhirnya, takdir membawakan ia seorang pria yang akan mengubah gaya hidup dan juga finansialnya.

Seperti kisah 'cinderella' yang bahagia. Bertemu pangeran, dan menikah.
Lalu apa? Tentu saja kehidupan setelah pernikahan itu terus berlanjut.

Inilah yang disebut dengan,

'After Happy Ending'

Selamat membaca~

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yola Varka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kisah Seorang Gadis Pejuang (2)

"Eh, sorry. Nggak sengaja. Btw, tugas kelompok nanti, kamu bisa ikut ngerjain di rumahku, nggak?" tanya Sofia_teman sekelasku_setelah tadi menyenggol mejaku dengan sengaja. 

Aku duduk di bangku sendirian tanpa ada seorang teman. Aku bahkan berada di barisan pojok paling belakang dan terlihat menyedihkan. 

Aku menatap Sofia sekilas, sebelum menjawab pertanyaannya. "Sorry, nggak bisa. Kejauhan. Kalau ngerjainnya di sekolah, aku masih bisa," jawabku dengan nada datar, tanpa memandang ke arah lawan bicaraku. 

"Elah, tinggal naek angkot aja kalau jauh. Banyak alesan! Emang rumah kamu ada di mana, sih?" Hal yang paling aku benci adalah ketika seseorang bertanya tentang letak rumahku. 

Aku malu. Selain karena rumahku jelek, letaknya pun juga cukup jauh dari SMA tempat aku bersekolah. 

Aku sedikit merasa tenang karena teman-temanku jadi tidak bisa mengetahui aib rumah keluargaku. Dari pada rumah, tempat itu lebih pantas disebut gubuk. 

Sebenarnya, siapa orang yang telah menciptakan kata-kata 'Rumahku Adalah Istanaku'? Dia pasti orang yang tumbuh di tempat yang nyaman, sehingga bisa terpikir kalimat seindah itu. 

Aku mengembuskan napas lelah, setelah melirik ke arah Sofia sejenak. "Nggak di mana-mana!" Dan aku hanya menjawab asal atas pertanyaan darinya dengan nada sedikit kesal. 

"Wah, asli ni bocah! Yaudah, kalau nggak mau dapet nilai, kamu nggak usah dateng!" ujar Sofia lalu meninggalkan bangkuku sambil bersungut-sungut. 

Aku juga kesal. Andai Sofia tahu kalau aku harus menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki selama setengah jam lebih, demi bisa menimba ilmu di sekolah. 

Aku dan adikku tidak punya sepeda ataupun kendaraan lainnya. Jadi, terpaksa kami berjalan kaki. 

Dan karena SMP tempat sekolah adikku berjarak lebih dekat dari rumah, dia bisa berangkat lebih siang dariku, tanpa khawatir akan terlambat. Kami berdua juga tidak sarapan sebelum berangkat dan harus menempuh perjalanan jauh menuju sekolah. 

Rasanya benar-benar melelahkan. Tapi, apa boleh buat? Kami tetap harus bertahan.

Akhir-akhir ini, aku mulai sedikit berusaha. Aku membuatkan bekal seadanya untuk diriku dan adikku sebelum berangkat sekolah. Juga agar ibuku bisa sarapan tentunya. 

Sebelumnya, keluarga kami hanya mengandalkan pemberian dari para tentangga sekitar. Namun, lama-kelamaan mereka juga pasti merasa lelah dan bosan jika terus memberikan bantuan makanan kepada kami. Lagi pula, mereka pasti berpikir kalau aku sudah cukup besar untuk bisa memasak sendiri. Sayang sekali. Padahal aku masih sangat mengharapkan bantuan dari mereka. Ya, sudahlah.

Teng teng teng! 

Suara bel menandakan jam istirahat telah dimulai. Para siswa dan siswi berbondong-bondong menyerbu kantin. 

Di sekolah ini, terdapat dua kantin dan satu ruang koperasi. Tetapi tetap saja, setiap titik berisi makanan itu, selalu penuh dengan lautan manusia kelaparan.

Dulu, aku memilih untuk menjadi petugas kantin agar nanti bisa mendapat gratisan dari gorengan yang tersisa. Namun, lama-kelamaan aku jadi malu. Aku berhenti jadi petugas kantin sejak guru SKI (Sejarah Kebudayaan Islam) pernah menyampaikan bahwa seseorang yang terlalu sering meminta-minta itu, kelak di akhirat jadi tak punya wajah. 

Ih, horor. Entah kenapa, aku jadi merasa tersindir. Dan sejak saat itu, aku mulai menghentikan kebiasaan burukku tersebut.

"Bet, nggak ke kantin?" Aku sedikit terkejut ketika seseorang tiba-tiba bertanya sambil menepuk bahuku pelan. Hampir saja, aku menumpahkan bekal yang sudah kubuat dengan susah payah, bahkan sejak sebelum subuh. 

Karena kemarin sore aku kelelahan, aku jadi lupa mencari daun ketela untuk dimasak esoknya. Alhasil, aku harus keluyuran di gelapnya malam. Jam tiga pagi masih terasa sangat gelap dan begitu dingin. Tapi, demi makanan aku rela! 

"Nggak. Aku dah lama berhenti jadi petugas," jawabku singkat.

"Oh, gitu? Kamu puasa?" Yanti_ketua kelasku__kembali bertanya. 

"Nggak. Aku udah bawa bekal." Aku lalu menunjukan sebuah kotak bekalku padanya. 

"Wah, sekarang jadi rajin bawa bekal. Kemaren juga," ujar Yanti sambil sedikit menyentuh kotak bekalku. 

Aku refleks menjauhkan kotak bekal itu dari tangan usil Anti, karena aku tidak ingin ia mengetahui menu sarapanku. 

"Yah, karna udah kelas tiga, jadi biar makin fokus belajar," ucapku berusaha mencari-cari alasan agar bisa diterima dan tidak terdengar seperti cerita yang menyedihkan. 

Yanti tampak menganggukkan kepalanya setelah mendengar jawabanku. "Oke. Kalo gitu, aku ke kantin dulu. Bye." Yanti, sang ketua kelas akhirnya pergi juga. 

Aku hanya ingin segera menyantap bekalku dengan tenang, sambil belajar pelajaran untuk les nanti sore setelah sholat dzuhur di sekolah. Jadi, aku kurang suka jika menghabiskan waktuku yang berharga dengan banyak ngobrol hal yang tidak penting. 

Dan sebab itulah, aku jadi tidak punya teman di sekolah. Ha ha, yay~

Aku orang yang terlalu pendiam dan kaku. Tapi aku bukan pemalu. Aku hanya seseorang yang memiliki ambisi.

Ada cita-cita yang ingin kucapai. Apalagi kalau bukan menjadi orang kaya? Dokter, Guru, Pilot dan lain sebagainya. Semua itu adalah gelar. Dan semakin tinggi jabatan seseorang, maka semakin besar pula bayarannya. Ini semua tentang sesuatu yang disebut dengan 'gaji'. Dan gaji itu adalah uang. Begitulah. 

Namun, tetap tak bisa dipungkiri bahwa jasa para orang-orang hebat itu juga sepadan dengan gaji yang diterima oleh mereka. Maka dari itu, aku lebih memilih untuk tidak terlalu berhubungan dekat dengan teman yang sifatnya semu itu.

Aku yakin. Ketika sudah lulus sekolah, pasti teman dekat sekalipun, akan semakin menjauh. Itu karena setiap orang, nantinya akan memiliki prioritas masing-masing. Yah, meski hal itu adalah pilihan. Aku juga tidak menyalahkan orang yang ingin bersenang-senang untuk mengisi masa sekolah mereka yang indah.

"Loh, kamu cuma makan sayur doang? Nggak pake nasi?!" Lagi-lagi, aku dibuat terkejut oleh ketua kelasku yang tiba-tiba muncul entah dari mana ini. 

Aku hampir selesai menyantap bekalku. Dan Yanti yang telah kembali dari kantin, langsung menghampiriku dan menanyakan hal yang sensitif.

"Kamu kebiasaan suka ngagetin, ya?" ucapku sambil mengusap dada.

"Padahal, aku mau ikut makan bareng. Tapi kenapa nggak pake nasi? Mana bisa kenyang kalo gitu?" Yanti kembali mengulang pertanyaannya. Ia mendudukkan dirinya di kursi yang berada di bangku sebelahku. 

"Hah? Siapa orang yang makan nggak pake nasi?!" Sofia ikut menimpali obrolanku dengan Yanti. 

Murid-murid di kelasku sudah mulai kembali dari kantin. Dan suasana kelas pun, jadi ramai bak hutan. 

Padahal, aku berniat segera menghabiskan bekalku sebelum dilihat oleh anak-anak di kelas. 'Gagal, deh.' Aku hanya bisa menggerutu dalam hati. 

Aku berpikir keras, kira-kira jawaban apa yang hendak aku berikan. Mana mungkin, aku jujur bilang kalau beras di rumahku habis dan aku tidak punya uang untuk beli. 

"Diet!" Setelah dapat ide, aku refleks segera mengatakannya dengan lantang sambil membuka mataku lebar-lebar. 

"Hah?!" Yanti terkejut dengan mulut terbuka. 

"What?!" Sofia juga tampak membulatkan kedua bola matanya sembari menatapku dari atas ke bawah dengan intens. 

'Memang agak kurang ajar bocah ini.'  Batinku

"Aku diet. Jadi, nggak pake nasi dan cuma makan sayur aja," jawabku dengan santai sambil menatap kuku-kuku tanganku yang cantik.

"Wah, serius kamu diet? Badan cungkring gini, apa lagi yang mau dikecilin?!" Mampus. Ucapan Sofia tepat sasaran. 

Sofia benar. Aku sudah kurus, jadi lemak mana lagi yang hendak kubuang? Dasar, si Sofia memang selalu suka bicara blak-blakan. Aku jadi kebingungan berkat perkataannya yang betul sekali itu. 

Aku kembali memutar otak. "Oh, kamu nggak tau? Ini namanya menjaga berat badan. Dari pada nurunin, jaga berat badan itu jauh lebih susah, loh!" Aku melantur. Sudahlah, semua kacau. Sudah kuduga kalau membawa bekal ke sekolah itu cukup beresiko ketahuan bahwa aku miskin. Bisa dilihat dari lauk dedaunan hijau yang selalu aku bawa setiap ke sekolah.

"Iya juga, sih. Dari awal, setiap Beta bawa bekal, dia selalu makan sayur. Tapi, sampe segitunya? Jangan keras-keras lah, sama diri sendiri. Entar sakit, loh!" Bagus. Pembicaraan sudah mulai berjalan secara alami berkat Yanti. Seperti yang kita harapkan dari seorang ketua kelas yang bijaksana. 

'Thanks, Yan!' ucapku dalam hati dengan riang.

"Aku nggak masalah, kok. Ini sudah sesuai dengan kebutuhan kalori harianku. Jadi, setiap makanan yang masuk ke perut, udah bener-bener aku hitung kalorinya." Rencana melanturku semakin berjalan lancar dengan menambahkan sedikit teori dari pelajaran Biologi yang telah kupelajari di kelas sebelas dulu.

"Wah, si ranking satu udah mulai pamer, manteman! Dah lah, serah kamu!" Sofia pun berjalan meninggalkan kelas, entah pergi ke mana. 

Yanti dan beberapa murid yang tadi penasaran, juga mulai pergi menjauhi bangkuku. Aku selamat. Alasan diet memang sangat membantu dan terdengar cukup masuk akal. 

Aku sendiri juga sebenarnya sangat muak dengan sayuran. Aku pun, juga ingin bisa makan jajan seperti teman-teman yang lain. Setiap melihat mereka memakan camilan itu, aku hanya bisa menelan air liurku sendiri. 

Dulu, sebelum aku mulai membawa bekal ke sekolah, aku selalu membuat alasan kalau aku sedang puasa. Dan aku memang selalu puasa karena di rumah pun, juga jarang ada makanan. Jikalau ada, itu pun sangat sedikit karena merupakan pemberian dari tetangga. Dan aku lebih memilih untuk mengalah demi adikku yang masih dalam masa pertumbuhan dan demi ibuku yang sedang sakit. Adikku adalah seorang lelaki, bisa gawat kalau dia tidak bisa tumbuh tinggi seperti teman sebayanya. Karena itu aku jadi khawatir. 

Terkadang, selain hari Senin dan Kamis, aku sampai bingung harus niat puasa apa lagi. Hampir setiap hari aku bilang kalau aku sedang puasa, ketika ada seseorang yang mengajakku pergi ke kantin. 

Pernah suatu hari, seorang siswi menaruh curiga padaku. Aku hanya bisa mengatakan kalau aku sedang menjalankan puasa nabi Daud. Dalam hati, aku merasa bersalah karena terus berbohong. Padahal, sebenarnya aku hampir setiap hari puasa dan kadang tanpa niat yang jelas.

Puasa nabi Daud dari mana? Aku bahkan tidak pernah absen puasa. Aku banyak meneguk air putih untuk mengenyangkan perut ketika azan maghrib telah berkumandang. Setelah puasa seharian, perutku jadi tidak bisa menampung banyak makanan. Jadi, memenuhi perut dengan air putih adalah solusinya. 

                   ~

"Wah, anda jadi terlihat seperti sedang menjalankan puasa 'mutih'." Komentar dari psikolog di hadapan Beta, berhasil membuatnya kembali ke dunia nyata. Sejak tadi, ia memang terlalu fokus bercerita sampai terbayang masa lalunya sendiri.

"Tanggapan anda sungguh tidak terduga," balas Beta dengan nada datar.

"Hahaha!" Psikolog itu tertawa kecil. "Saya sanget senang mendengar kisah hidup anda. Sayang sekali, hari ini waktu kita sudah habis. Saya akan sangat menantikan lanjutannya besok," ucap sang psikolog dengan menunjukkan jari kelingkingnya di hadapan Beta.

Beta menatap ke arah psikolog itu sejenak. "Saya tidak janji," jawabnya, sebelum pergi meninggalkan ruangan itu bersama seorang suster yang menjemputnya.

Para suster kemudian mengantarkan Beta menuju sebuah ruangan khusus di rumah sakit tempatnya berada sekarang.

Karena desakan dari para anggota keluarga Beta, akhirnya pihak penyidik memberikan sedikit keringanan pada Beta, dengan membuatnya berada di rumah sakit dan menjalani tes kesehatan psikologis, selagi pihak kepolisian berusaha menemukan bukti-bukti lain dalam kasus kematian suaminya.

Di sisi lain, seorang psikolog yang sejak tadi bersama Beta, masih belum beranjak dari tempat duduknya. Ia sedang terlihat sibuk menuliskan sesuatu pada sebuah buku panjang yang terus dibawanya.

Dari awal, psikolog itu memilih untuk fokus mendengarkan cerita dari sang pasien tanpa membuat gerakan atau berbuat sesuatu yang akan mengganggu Beta. Keadaan pasiennya itu, bisa jadi sedang sangat sensitif saat ini. Dan ia baru bisa menuliskan analisisnya, setelah Beta pergi meninggalkan ruangan di sana.

                  ~

1
EnanaRoja.
author, kamu keren banget! 👍
Yola Varka: Kalian penyemangatku🫶🥺
total 1 replies
mmmmdm
Jangan berhenti menulis, kami butuh cerita seru seperti ini 😍
Yola Varka: Makasih supportnya🫶
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!