NovelToon NovelToon
Jejak Naga Langit

Jejak Naga Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Fantasi Timur / Reinkarnasi / Fantasi Wanita
Popularitas:604
Nilai: 5
Nama Author: HaiiStory

"Ada rahasia yang lebih dalam dari kegelapan malam, dan ada kisah yang lebih tua dari waktu itu sendiri."

Jejak Naga Langit adalah kisah tentang pencarian identitas yang dijalin dengan benang-benang mistisisme Tiongkok kuno, di mana batas antara mimpi dan kenyataan menjadi sehalus embun pagi. Sebuah cerita yang mengundang pembaca untuk menyesap setiap detail dengan perlahan, seperti secangkir teh yang kompleks - pahit di awal, manis di akhir, dengan lapisan-lapisan rasa di antaranya yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang cukup sabar untuk menikmatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaiiStory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Cangkir Yang Menyimpan Fajar

Mei menatap cangkir tua di hadapannya—cangkir pertama yang diberikan Madam Lian padanya bertahun-tahun lalu. Di bawah cahaya bulan kembar yang kini hampir terpisah sepenuhnya, dia bisa melihat detail-detail yang selama ini luput dari perhatiannya: goresan-goresan halus yang membentuk pola seperti sisik, begitu halus hingga hanya terlihat saat cahaya menyentuhnya dari sudut tertentu.

"Selama ini..." dia berbisik, jemarinya menelusuri tekstur cangkir yang terasa hangat meski tidak berisi apa-apa. "Selama ini ada di depan mataku."

Wei An mengangguk perlahan, gulungannya kini menampilkan diagram yang berbeda—sebuah lingkaran dengan tiga titik yang membentuk segitiga sempurna. "Kadang," ujarnya dengan suara dalam yang menyimpan kebijaksanaan ribuan tahun, "hal yang paling jelas adalah yang paling sulit dilihat. Seperti udara yang kita hirup atau waktu yang terus mengalir."

Madam Lian melangkah mendekat, gaun sutranya berbisik lembut menyapu lantai kayu. Dalam keremangan malam, sosoknya tampak lebih tua dan lebih muda sekaligus—seolah waktu sendiri tak bisa memutuskan bagaimana harus memperlakukannya. "Kau ingat hari pertama kau datang ke kedai?" tanyanya, suaranya membawa kehangatan yang familiar.

Mei mengangguk. Bagaimana dia bisa lupa? Hari itu hujan turun rintik-rintik, menciptakan musik lembut di atas atap genteng. Dia masih ingat bagaimana tangannya gemetar saat Madam Lian menyodorkan cangkir ini padanya—cangkir yang tampak begitu sederhana namun entah mengapa terasa... spesial.

"Kau bilang," Mei berkata pelan, mengingat-ingat, "'Setiap pembuat teh sejati memulai perjalanannya dengan cangkir yang tepat.'" Dia mengangkat wajahnya, menatap Madam Lian. "Tapi bukan itu maksud sebenarnya, kan?"

Master Song, yang sejak tadi diam mengamati, mengetukkan tongkatnya ke lantai dengan ritme yang familiar—tiga ketukan, jeda, dua ketukan. Seperti detak jantung yang tidak sempurna. "Cermin pertama menunjukkan 'apa yang ada'," dia berkata. "Cermin kedua menunjukkan 'apa yang mungkin'. Tapi Cermin ketiga..."

"...menunjukkan 'apa yang selalu ada'," Liu Xian melanjutkan, suaranya sehalus sutra tapi mengandung ketegasan baja. "Dan apa yang lebih konstan dari ritual pertama yang mengawali segalanya?"

Mei merasakan getaran lembut dari kedua Cermin di tangannya, berirama dengan ketukan tongkat Master Song. Perlahan, dia mengangkat cangkir itu ke arah bulan kembar. Cahaya menembus badan keramik yang tipis, dan untuk sesaat, dia melihat—atau mungkin membayangkan—sosok seekor naga yang melingkar di dalamnya.

"Ini..." dia terdiam, mencari kata-kata yang tepat. "Ini bukan hanya cangkir biasa, kan?"

Wei An membuka gulungan lainnya, menampilkan tulisan kuno yang bergerak-gerak seperti ular air. "Di masa lalu, jauh sebelum manusia mengenal tulisan, para naga mengajarkan rahasia alam kepada mereka yang terpilih. Tapi bahkan naga tahu bahwa pengetahuan adalah pedang bermata dua—terlalu berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah."

"Karena itu," Madam Lian melanjutkan, "mereka menciptakan cara untuk menyimpan pengetahuan dalam benda-benda sederhana. Benda yang akan luput dari perhatian mereka yang haus kekuasaan..."

"...tapi akan menemukan jalan ke tangan yang tepat," Master Song menyelesaikan.

Mei merasakan tenggorokannya mengering. "Jadi cangkir ini..."

"Adalah Cermin ketiga," Liu Xian mengangguk. "Atau lebih tepatnya, wadah yang menyimpannya."

Tiba-tiba, Mei teringat sesuatu—detail kecil yang selama ini tersembunyi di sudut ingatannya. "Ibu," dia berkata pelan, "selalu menggunakan cangkir ini untuk minum tehnya. Setiap pagi, tanpa gagal." Dia mengangkat wajahnya, menatap yang lain bergantian. "Dia tahu?"

Keheningan yang menyusul terasa berat dengan makna. Akhirnya, Madam Lian yang memecahnya. "Ibumu... adalah penjaga sebelum dirimu. Seperti aku adalah penjaga sebelum ibumu."

"Tapi bagaimana cara—" Mei berhenti di tengah kalimat saat merasakan getaran yang lebih kuat dari kedua Cermin di tangannya. Cahaya yang dipancarkan keduanya mulai berpadu, menciptakan pola yang familiar di permukaan cangkir.

"Ah," Wei An tersenyum tipis. "Mereka mulai beresonansi."

Di permukaan cangkir, pola sisik yang tadinya nyaris tak terlihat mulai bersinar dengan cahaya keemasan. Mei bisa merasakan kehangatan yang berbeda mengalir dari cangkir itu—bukan kehangatan fisik, tapi sesuatu yang lebih dalam, seperti pelukan yang telah lama dirindukan.

"Apa yang harus kulakukan?" dia bertanya, suaranya hampir berbisik.

"Apa yang selalu kau lakukan," Master Song menjawab dengan senyum penuh arti. "Seduh teh."

Liu Xian melangkah maju, menyodorkan kantung sutra kecil yang entah dari mana munculnya. Aroma yang menguar darinya membuat Mei terkesiap—aroma yang familiar sekaligus asing, seperti kenangan yang belum terjadi.

"Ini..." Mei mengendus perlahan, "...bukan teh biasa."

"Ini adalah daun dari Pohon Fajar," Madam Lian menjelaskan. "Pohon yang tumbuh di perbatasan dunia manusia dan dunia naga. Pohon yang menyerap cahaya bulan dan matahari sekaligus."

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Mei mengambil daun-daun itu. Warnanya seperti emas yang dicelup dalam tinta—hitam dengan kilau metalik yang menari-nari saat bergerak. Dia bisa merasakan kekuatan yang berdenyut di dalamnya, seperti detak jantung yang tertidur.

Wei An maju, menuangkan air dari teko yang tampaknya terbuat dari batu giok murni. Air itu berkilau seperti embun fajar, dan saat menyentuh daun teh, aroma yang tercium membuat Mei merasa seperti melayang di antara awan.

"Ingat," Madam Lian berkata lembut, "dalam setiap tetes, ada cerita. Dalam setiap aroma, ada kenangan. Dan dalam setiap tegukan..."

"...ada kebenaran," Mei menyelesaikan, seolah kata-kata itu telah tertanam dalam jiwanya sejak lama.

Saat air mulai berubah warna, menciptakan spiral keemasan yang berputar dengan sendirinya, Mei merasakan sesuatu yang berbeda. Bukan hanya aroma atau warna, tapi sesuatu yang lebih mendasar—seolah realitas di sekitarnya mulai melonggar, seperti kain yang kehilangan jahitannya.

Dan dalam momen itu, saat teh mencapai kematangan yang sempurna, kedua Cermin di tangannya berdenyut sekali lagi—kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Cahaya keemasan dari cangkir bertemu dengan cahaya dari Cermin, menciptakan pantulan yang membentuk karakter yang belum pernah Mei lihat sebelumnya.

Sebuah karakter yang tampak seperti perpaduan antara 'awal' dan 'akhir', namun lebih dari sekadar gabungan keduanya.

"Itu..." Wei An terkesiap, untuk pertama kalinya tampak benar-benar terkejut. "Itu adalah karakter kuno untuk 'kebenaran sejati'—karakter yang hilang bahkan dari catatan tertua kami."

Tapi Mei nyaris tidak mendengarnya. Perhatiannya terpaku pada apa yang dia lihat dalam teh—atau lebih tepatnya, apa yang dia lihat melalui teh. Seperti jendela yang terbuka ke masa lalu dan masa depan sekaligus, menunjukkan potongan-potongan puzzle yang selama ini hilang.

Dia melihat ibunya, muda dan cantik, menerima cangkir yang sama dari Madam Lian. Melihat Madam Lian muda menerimanya dari seseorang yang wajahnya tersembunyi dalam kabut. Melihat rangkaian penjaga yang membentang hingga ke masa yang terlalu jauh untuk diingat.

Dan di ujung rangkaian itu, dia melihat sesuatu yang membuatnya hampir menjatuhkan cangkir—sosok seorang gadis yang sangat mirip dengan dirinya, berdiri di sebuah taman yang dipenuhi pohon teh keemasan, berbicara dengan seekor naga yang sisiknya berkilau seperti embun pagi.

"Itu..." dia berbisik, "...adalah awal dari segalanya?"

Tapi sebelum siapapun bisa menjawab, sesuatu yang tak terduga terjadi. Bulan kembar di langit, yang tadinya hampir terpisah sepenuhnya, tiba-tiba berhenti bergerak. Dan dalam keheningan yang menyusul, Mei mendengar suara—suara yang terdengar seperti gabungan dari ribuan suara, berbicara dalam bahasa yang dia pahami:

"Akhirnya," suara itu berkata, "lingkaran hampir tertutup. Tapi ingat, Mei Zhang, dengan setiap jawaban yang kau temukan..."

"...akan muncul pertanyaan baru yang lebih dalam," Mei menyelesaikan kalimat itu, entah bagaimana mengetahui kata-kata yang tepat.

Dan saat dia mengangkat cangkir untuk menyesap teh—teh yang menyimpan rahasia awal mula segalanya—dia tahu bahwa ini bukanlah akhir dari perjalanannya.

Ini hanya awal dari babak baru.

Karena dalam dunia di mana teh bisa menyimpan ingatan dan bulan menyembunyikan rahasia kuno, tidak ada yang sesederhana kelihatannya.

Dan Cermin ketiga, yang selama ini tersembunyi dalam kesederhanaan sebuah cangkir teh, baru saja membuka pintu menuju misteri yang jauh lebih besar—misteri yang mungkin akan mengubah tidak hanya masa lalu dan masa depan...

...tapi juga makna dari waktu itu sendiri.

1
muhammad haryadi
Makasih kak
Pisces gemini
semangat kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!