Dibesarkan oleh kakeknya yang seorang dokter, Luna tumbuh dengan mimpi besar: menjadi dokter bedah jantung. Namun, hidupnya berubah pada malam hujan deras ketika seorang pria misterius muncul di ambang pintu klinik mereka, terluka parah. Meski pria itu menghilang tanpa jejak, kehadirannya meninggalkan bekas mendalam bagi Luna.
Kehilangan kakeknya karena serangan jantung, membuat Luna memilih untuk tinggal bersama pamannya daripada tinggal bersama ayah kandungnya sendiri yang dingin dan penuh intrik. Dianggap beban oleh ayah dan ibu tirinya, tak ada yang tahu bahwa Luna adalah seorang jenius yang telah mempelajari ilmu medis sejak kecil.
Saat Luna membuktikan dirinya dengan masuk ke universitas kedokteran terbaik, pria misterius itu kembali. Kehadirannya membawa rahasia gelap yang dapat menghancurkan atau menyelamatkan Luna. Dalam dunia penuh pengkhianatan dan mimpi, Luna harus memilih: bertahan dengan kekuatannya sendiri, atau percaya pada pria yang tak pernah ia lupakan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Hari penerimaan mahasiswa baru di Imperial University akhirnya tiba, dan Luna, Freya, serta Theresa berkumpul di auditorium, bersama dengan segelintir mahasiswa baru lainnya. Suasana begitu riuh, dengan suara-suara percakapan dan tawa yang memenuhi udara, seakan semuanya merasa cemas sekaligus bersemangat tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
Luna duduk di kursi paling depan, memandang ke sekelilingnya. Ada banyak wajah baru yang tampaknya lebih tua dan lebih serius, seperti mereka sudah tahu cara menyembunyikan kegugupan dengan lebih baik daripada dia. Di sampingnya, Freya dan Theresa tampak lebih tenang—mungkin karena mereka sudah terbiasa dengan suasana akademis ini, atau mungkin karena mereka memang jauh lebih terorganisir daripada Luna yang hanya mengandalkan keberuntungan dan kopinya yang terlalu manis.
"Sayang sekali Dominic tidak lolos," ucap Theresa sambil mengangkat bahu dengan ekspresi sedih yang sedikit dramatis.
"Iya," balas Freya, menyisipkan rambutnya yang panjang ke belakang telinga, seolah memberikan sentuhan dramatik pada kalimatnya. "Dominic akhirnya memilih untuk bergabung sebagai tentara militer, sementara Daniel malah memilih universitas lain"
Luna mengangguk, meski pikirannya sempat melayang. "Tapi aku senang," ucapnya, mencoba terdengar optimis meskipun sedikit terbata-bata. "Setidaknya aku masih bersama kalian. Setidaknya aku punya seseorang yang aku kenal di sini."
Freya dan Theresa tersenyum padanya, meskipun sedikit canggung. Luna tahu mereka berdua merasa terikat oleh hubungan yang telah terjalin lama, tetapi ada kalanya kehadiran Luna bisa sedikit mengganggu keharmonisan mereka. Namun, Luna tidak terlalu peduli. Toh, selama ini ia terbiasa menjadi seseorang yang mengandalkan dirinya sendiri, bahkan saat seluruh dunia seakan melawan.
Tetapi, sebelum dia bisa terlarut dalam pikirannya yang melayang, suara dari atas panggung menyadarkannya.
"Silakan para mahasiswa baru untuk mendekat. Pembagian kamar dorm akan dimulai," pengumuman itu menggema di seluruh ruangan.
...****************...
Luna, Freya, dan Theresa melangkah dengan rasa penasaran menuju dorm yang telah ditentukan. Mereka tiba di depan pintu kamar yang ternyata sudah terbuka sedikit, seolah menunggu kedatangan mereka.
Ketika mereka mendekati pintu, suara langkah kaki terdengar di dalam, dan saat pintu terbuka sepenuhnya, Luna langsung membeku. Di sana, di ambang pintu, berdiri seorang gadis dengan ekspresi seolah berkata, "Surprise". Wajahnya, meskipun sedikit lebih dewasa, tetap menyimpan senyum hangat yang membuat Luna merasa seperti kembali ke masa lalu.
"Amelia?? Kau masuk Imperial University juga?" seru Luna, suaranya bergetar karena kegembiraan. Ia hampir tak percaya melihat sahabat lamanya yang kini berdiri di hadapannya, setelah sekian lama tidak bertemu.
Amelia, dengan senyum lebar yang tak pernah pudar, tertawa kecil. "Kau terkejut kan? Supaya kau lebih terkejut lagi, biar kukatakan kalau Yumi juga berhasil masuk. Kami berdua belajar mati-matian agar bisa menyusulmu," katanya dengan kekehan yang terdengar ringan, seakan tidak ada hal lain di dunia ini yang bisa lebih membahagiakan dari momen itu.
Luna, yang merasa seperti mimpi, langsung melangkah maju dan memeluk Amelia erat-erat. "Aku tidak percaya ini! Aku benar-benar tidak percaya!" ucapnya dengan kegirangan, mengabaikan tatapan heran dari Theresa dan Freya di belakangnya.
Freya dan Theresa saling bertukar pandang, bingung dengan suasana yang tiba-tiba berubah hangat dan akrab. Mereka sudah terbiasa dengan kedekatan Luna dan sahabat-sahabat lamanya, tapi melihat reaksi Luna yang begitu antusias, mereka tak bisa menahan rasa penasaran.
"Dia Amelia, sahabatku di sekolah lamaku di desa," ucap Luna, matanya bersinar.
Amelia tersenyum lebar, menyapa mereka berdua dengan ramah. "Senang bertemu dengan kalian! Luna selalu bercerita tentang kalian setiap kali kami bicara melalui telepon" katanya dengan semangat.
Theresa dan Freya, yang awalnya tampak sedikit terkejut, kini mulai tersenyum dan menyambut hangat kedatangan Amelia.
...****************...
"Siapa yang bernama Luna Harrelson?" tanya seorang wanita berkacamata yang sepertinya adalah penanggung jawab asrama. Luna mengacungkan tangannya, "Saya" Wanita itu menyerahkan kotak besar padanya, "Ada kiriman untukmu. Tolong tanda tangan disini" katanya.
Luna duduk di kasurnya, memandangi kotak besar yang baru saja diterimanya dengan mata terbelalak. Barang-barang medis yang terbungkus rapi di dalamnya begitu mengesankan—stetoskop berkilau, jas dokter putih yang sempurna, dan sepasang sepatu medis yang tampaknya sangat nyaman untuk hari-hari panjang di rumah sakit. Tetapi yang membuatnya merasa sedikit canggung adalah pesan singkat yang terlampir di dalamnya: "Selamat sudah berhasil menjadi mahasiswa kedokteran, semoga semua ini bisa kau gunakan dengan baik, dari L."
“L lagi?” Theresa melongo, matanya lebar, seolah baru saja mendengar kabar bahwa dunia akan berakhir. “Kali ini bukan bunga, tapi peralatan medis!” Theresa hampir melompat dari tempat tidurnya. “Luna, apa kau benar-benar tidak tahu siapa L itu?”
Luna tersenyum tipis, berusaha sekuat tenaga menyembunyikan perasaan campur aduk yang mulai muncul di dalam dirinya. “Hmm, entahlah. Aku tidak tahu, Theresa. Tapi, aku rasa yang penting adalah peralatan ini sangat berguna untukku,” katanya, sambil mengelus-elus stetoskop yang sudah dia anggap sebagai simbol dari kehidupan barunya sebagai mahasiswa kedokteran. “Lagipula, aku akan sangat kesulitan membelinya dengan uang sakuku. Ini bahkan lebih mahal daripada sepatu favoritku.”
Theresa mendengus, menyadari bahwa Luna tidak akan terbuka mengenai hal ini. “Tapi, Luna, kamu sangat beruntung! Tidak setiap hari seorang pria misterius mengirimkan peralatan medis semahal itu! Aku rasa kita harus mulai mencari petunjuk tentang siapa dia,” Theresa melirik dengan penuh semangat, hampir seperti detektif yang siap memecahkan misteri besar.
Luna hanya mengangkat bahu dengan santai. “Ya, mungkin. Tapi untuk sekarang, aku pikir aku akan menikmati peralatan medis ini dulu. Lagipula, aku akan menggunakannya lebih sering daripada perhiasan.”
"Apa kau yang mengirim paket ini untukku?" tulis pesan Luna pada Lucius disertai foto paket yang sudah dia buka.
Lucius membaca pesan itu, lalu berkata pada dirinya sendiri, "Dia sudah menerima paket itu ternyata" senyumnya melebar, saking lebarnya Rudolf bahkan tidak bisa membedakan apakah Lucius sedang tersenyum atau tertawa.
"Ya, semoga kau menyukai hadiah dariku. Aku tidak tahu apa yang kau butuhkan, jadi aku membeli semuanya" jawab Lucius.
"Terima kasih, aku menyukainya dan ya, aku membutuhkannya" kata Luna.
Sementara itu, disisi lain Rudolf berdiri didepan Lucius, "Bos, apa kau tahu apa yang orang bilang jika cinta bisa membuatmu bodoh" kata Rudolf.
"Jadi kau menyebutku bodoh?" tanya Lucius dengan pandangan yang tajam mengarah pada pengawal sekaligus tangan kanannya itu.
Rudolf mengangkat bahunya, berusaha mencari alasan yang tepat, tapi apapun alasan yang dia pikirkan tetap tidak bisa menutupi perilaku aneh Lucius selama ini yang begitu berbeda, terlebih pada Luna.
Lucius adalah gambaran dari pria tampan, dan kaya raya. Banyak wanita yang ingin menjadi kekasihnya, bahkan tidak jarang yang sampai menggunakan cara-cara licik hanya agar bisa tidur bersama Lucius. Tapi tidak ada sedikitpun yang bisa membuat Lucius tertarik, jangankan tertarik, coba tanyakan nama wanita itu pada Lucius, pasti dia tidak akan mengingatnya.
Tapi Luna? Gadis itu seolah berhasil menerobos dinding pertahanan Lucius, membuat Lucius bertingkah diluar kebiasaannya. Lucius tetap menjadi pribadi yang kejam, dingin, arogan, keras kepala. Namun ketika dia berhadapan dengan Luna, dia bisa berubah menjadi seekor anjing yang haus perhatian dari tuannya.
Dan setiap kali Lucius ditanya tentang hal itu, dia selalu beralasan bahwa itu untuk membalas budi Luna dan kakeknya yang sudah menyelamatkan nyawanya.
"Kalau jatuh cinta membuatnya seperti ini, lebih baik aku tidak jatuh cinta. Aku tidak mau kehilangan wibawaku dihadapan wanita" kata Rudolf sambil terus membersihkan pistol revolver miliknya.
...****************...