"Aku akan melakukan apa pun agar bisa kembali menjadi manusia normal."
Niat ingin mencari hiburan justru berakhir bencana bagi Vartan. Seekor serigala menggigit pergelangan tangannya hingga menembus nadi dan menjadikannya manusia serigala. Setiap bulan purnama dia harus berusaha keras mengendalikan dirinya agar tidak lepas kendali dan memangsa manusia. Belum lagi persaingan kubu serigalanya dengan serigala merah, membuat Vartan semakin terombang-ambing.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Vartan melihat sebuah kayu panjang yang tidak jauh darinya. Dia pun mengambilnya dan mencoba untuk menggerak-gerakkannya ke atas agar daun-daun di atasnya bergerak.
Orang yang berada di atas tebing pun melihat itu. Dia memberitahu pada teman-temannya mengenai keberadaan Vartan. Beberapa diantara mereka pun turun dengan menggunakan tali. Akhirnya Vartan bisa diselamatkan. Namun, karena keadaannya yang terlalu lemah membuat para polisi yang membantu tadi membawanya dengan tandu.
Apalagi sudah dua hari tidak ada makanan yang masuk jadi, energinya terkuras. Dia tidak memakan apa pun, hanya tadi mendapatkan minuman dari seorang polisi yang menolongnya.
Vartan dibawa ke sebuah rumah sakit yang sudah memiliki peralatan yang memadai. Keluarga dan teman-temannya merasa lega, Vartan akhirnya ditemukan juga. Sebelumnya semua orang sudah berpikir jika pemuda itu sudah dimangsa binatang buas, tapi ternyata nasib baik masih berada di pihaknya.
"Sayang, akhirnya kamu sadar juga. Mama senang sekali," ucap Minarti sambil menggenggam telapak tangan putranya.
Vartan yang baru saja membuka mata pun tersenyum. Dia merasa lega karena akhirnya bisa bertemu dengan keluarganya.
"Maafin aku ya, Ma! Apa yang terjadi padaku mungkin adalah karma karena sudah membohongi Mama dan Papa," ujar Vartan dengan suara lemah.
"Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Mama akan selalu memaafkan kamu, tapi jangan diulangi lagi, ya! Ke mana pun kamu mau pergi, kamu harus izin sama Mama atau Papa agar kami bisa mendoakan kamu agar selalu selamat. Di rumah Mama pikir kamu memang benar-benar sedang liburan sama teman-temanmu, tidak tahunya malah ke hutan."
"Itu juga rencananya sambil liburan, Ma," sela Vartan membela diri.
"Liburan nggak ke tempat seperti itu juga, Vartan! Pokoknya Mama nggak mau kamu pergi ke tempat seperti itu lagi. Mama rasanya mau pingsan saja mendengar sesuatu yang buruk padamu."
"Iya, Ma."
Asif, Harya dan Tamaz tidak berani mendekat. Ketiga pemuda itu berdiri di belakang kedua orang tua Vartan. Sejak pulang dari hutan ketiganya dikurung oleh kedua orang tua mereka di dalam rumah. Baru tadi pagi dibebaskan saat mendengar jika Vartan sudah ditemukan. Para orang tua meminta mereka untuk menjenguk temannya itu dan meminta maaf kepada kedua orang tua Vartan.
Vartan melirik ke arah ketiga temannya. Dia tahu, pasti mereka kena amukan oleh mamanya kemarin, juga mendapat hukuman dari orang tua masing-masing, tinggal dirinya yang belum mendapat hukuman. Dia jadi merasa kasihan.
"Assalamualaikum," ucap Ayara, Vidya dan Kurnia secara bersamaan.
"Waalaikumsalam, ada calon mantu Mama yang datang sama teman-temannya. Ayo, masuk-masuk," sambut Mama minarti sambil tersenyum.
Ayara, Kurnia dan Vidya pun berjalan masuk dengan senyum canggung. Padahal Vartan tidak memiliki hubungan apa pun dengan salah satu dari mereka, Minarti saja yang terlalu berlebihan dalam mengartikan kedekatan anaknya dengan salah satu dari mereka.
Vartan dan Ayara memang dekat dan sama-sama memiliki yang lebih, tetapi gengsi keduanya cukup tinggi jadi tidak ada yang mengungkapkan perasaan masing-masing. Ayara, Kurnia dan Vidya mendekati ranjang di mana Vartan terbaring di sana.
"Bagaimana keadaan kamu, Vartan?" tanya Ayara yang posisinya lebih dekat dengan Vartan.
"Baik, maaf ngerepotin kamu buat datang ke sini."
"Pakai gaya-gayaan bilang ngerepotin, bilang aja kalau kamu senang ditengokin sama Ayara," cibir Asif yang segera mendapat pelototan dari Minarni.
Pemuda itu jadi menciut, dia lupa jika dirinya masih belum mendapatkan maaf dari Minarti. Asif pun memukul pelan bibirnya karena terlalu lancang.
"Ma, sudah dong jangan marahin mereka terus. Aku yang bersalah jadi Mama jangan marahin mereka lagi," ucap Vartan yang merasa tidak enak pada teman-temannya.
"Siapa yang bilang Mama marah? Mama nggak marah. Mama nggak marah."
"Dari sikap Mama saja sudah kelihatan kalau Mama marah. Aku tahu kalau aku dan teman-teman salah. Kalau Mama mau marah, marah saja sama aku. Aku yakin di rumah mereka juga sudah mendapat hukuman dari orang tua mereka jadi, cukup ya, Ma! Kalau Mama masih belum puas marahnya, marahin aku saja nggak pa-pa kok!"
"Mama tuh sebenarnya enggak marah sama kalian. Mama hanya khawatir pada kalian semua. Kalian semua 'kan tahu kalau Vartan itu anak Mama satu-satunya. Mama nggak bisa hidup tanpa dia. Untuk bisa mendapatkan dia dulu butuh perjuangan." Tatapan Minarti beralih menatap ketiga sahabat putranya. "Dan kalian bertiga, Tante juga sudah menganggap kalian seperti anak Tante sendiri. Tante marah juga karena Tante khawatir dengan keselamatan kalian."
Asif, Harya dan Tamaz merasa lega dengan jawaban yang diberikan oleh Minarti. Sejak tadi ketiganya harap-harap cemas, takut tidak dimaafkan. Tadi orang tua mereka berpesan jika orang tua Vartan tidak memberi maaf, maka hukuman akan bertambah.
"Terima kasih karena sudah mengkhawatirkan kami. Maafkan kami juga yang sudah membuat Tante dan semua orang khawatir. Maaf juga karena sudah membuat Vartan sampai seperti ini," ucap Tamaz yang diangguki Harya dan Asif.
"Sudah, lupakan saja. Jadikan ini pelajaran untuk ke depannya agar kalian lebih berhati-hati lagi dalam mengambil keputusan. Jangan melakukan sesuatu yang akan membahayakan nyawa kalian."
"Iya, Tante," sahut ketiganya dengan serempak.
"Vartan, bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Ayara membuat semua orang yang berada di ruangan itu pun beralih menatap gadis itu.
"Baik, apalagi dengan kedatangan kamu, keadaanku akan semakin membaik."
Asif pura-pura mual mendengar sahutan Vartan. Harya yang berada di samping Asif pun mengajaknya dan Tamaz untuk keluar. Minarti dan Prayoga yang mengerti pun juga mengikuti kedua pemuda itu sambil mengajak Kurnia dan Vidya.
"Eh, kalian mau ke mana?" tanya Ayara pada kedua temannya.
"Kami mau ke kantin dulu, cari makanan. Kamu tunggu saja di sini, nanti akan aku bawakan makanan," sahut Vidya.
"Iya, Ayara, tolong temani Vartan dulu, ya! Tante juga sudah lapar, mau cari makanan," ucap Minarti yang terpaksa di angguki oleh Ayara.
Gadis itu sebenarnya merasa tidak nyaman berada dalam satu ruangan dengan Vartan. Tidak dipungkiri jika dia memiliki perasaan yang lebih pada pemuda itu, hanya saja rasa gengsinya terlalu tinggi. Ayara menunggu Vartan untuk mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu, malu jika dirinya yang seorang gadis justru mengutarakan perasaannya.
"Vartan."
"Ayara," panggil keduanya secara bersamaan dan kemudian tertawa bersama.
"Kamu duluan saja."
"Tidak, kamu duluan saja."
"Ayara, aku ...."
Vartan tidak melanjutkan kata-katanya. Dia merasa telapak tangannya yang terluka bergetar. Pemuda itu juga melihat ada tumbuh bulu-bulu panjang di sekitarnya dan membuatnya terkejut. Vartan pun reflek menyembunyikan tangannya di bawah selimut.
"Vartan, ada apa? Apa ada yang sakit? Kenapa wajahmu pucat?"