NovelToon NovelToon
I Adopted Paranormal Dad

I Adopted Paranormal Dad

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Reinkarnasi / Pendamping Sakti
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Matatabi no Neko-chan

Setelah sembilan belas kehidupan yang penuh penderitaan, Reixa terbangun kembali di usianya yang kesembilan tahun. Kali ini dengan gilanya, Reixa mengangkat seorang pria sebagai ayahnya, meninggalkan keluarganya setelah berhasil membawa kabur banyak uang.
Namun, siapa sangka Reixa membangkitkan kemampuannya dan malah berurusan hal di luar nalar bersama ayah angkatnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3

Sinar matahari menyelinap melalui celah jendela, menciptakan pola-pola lembut di ruangan. Di atas tempat tidur besar, terlihat dua sosok—seorang pria dewasa dan seorang gadis kecil—tertidur lelap. Kaki kecil milik gadis itu bertumpu di perut pria tersebut, seolah dia sengaja mengklaim tempat tidurnya.

Reixa menggeliat pelan, tubuh mungilnya meregang, lalu matanya yang hijau teduh terbuka, menangkap cahaya pagi. Dia berguling, tanpa sengaja berhadapan langsung dengan pria di sampingnya yang masih terlelap. Dengan penasaran, Reixa mendekat, mengamati wajahnya.

Pria itu tampak damai dalam tidurnya, rahangnya tegas, kulitnya halus tanpa cela, dan ekspresinya menenangkan. Reixa mengulas senyum kecil sambil memandangi sosok yang kini begitu dekat dengannya.

"Aku nggak tahu apa yang sudah atau akan kau alami," pikirnya sambil menggenggam tekad kuat. "Tapi kali ini, aku pastikan kau nggak akan mengalami hal mengerikan itu lagi, Om."

Ingatan tentang dua kehidupan sebelumnya membayangi benaknya. Reixa bertemu dengan Saverio di usia lima belas tahun setelah kabur dari rumah, dan saat itu pria ini menjadi tempatnya bersandar. Namun, takdir tragis merenggut pria itu tiga tahun kemudian. Bayangannya tewas dengan darah membasahi tubuhnya masih menghantui Reixa.

Seolah mendengar pikirannya, Saverio membuka matanya perlahan. Manik ungu indah itu langsung bertemu dengan tatapan cerah gadis kecil di hadapannya.

"Pagi, Om~ Tidurnya nyenyak?" sapanya ceria, senyum lebar terpampang di wajah mungil itu.

Saverio menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang. Kesadaran yang perlahan masuk ke pikirannya membuatnya ingin menertawakan nasibnya sendiri. Jadi, yang terjadi kemarin benar-benar nyata.

"Pagi. Berkatmu, tidurku jadi 'sangat' nyenyak," jawab Saverio dan senyum tipis yang jelas dipaksakan menghiasi wajahnya.

Reixa tertawa kecil, tak menyadari sindiran halus pria itu. Dia malah semakin menempel pada Saverio, mengabaikan tatapan lelah pria tersebut. Saverio hanya bisa pasrah, menyadari dirinya kini menjadi "tahanan" gadis kecil itu—si perangko yang selalu menempel erat. Namun, melihat senyum cerah Reixa, ada secercah rasa hangat yang mulai menyelinap di hati Saverio, meski dia enggan mengakuinya.

🐾

Sarapan pagi itu penuh dengan ketegangan. Di meja makan yang megah terdapat hidangan mewah terhampar rapi, tetapi atmosfer di antara penghuni rumah ini jauh dari kata nyaman. Alarick, dengan wajah dinginnya, duduk berhadapan dengan Reixa yang menyimpan bara amarah di matanya. Saverio, di sisi lain, hanya bisa menyibukkan diri dengan makanannya, berharap tidak tersedak di tengah perdebatan yang semakin memanas.

"Reixa, bagaimanapun juga aku adalah walimu sekarang," ucap Alarick dengan suaranya tegas, mencoba mengakhiri konflik ini dengan sebuah ultimatum.

Reixa langsung memutar bola matanya, wajah gadis kecil itu menampilkan ekspresinya penuh ketidakpuasan. "Paman itu wali nggak guna, tahu nggak?! Sekolah aku pernah ngundang orang tua wali, tapi Paman nggak pernah datang! Paman cuma bisa bilang sibuk kerja! Memangnya sekolah aku nggak sepenting itu buat Paman?!" serunya, nada marahnya tak bisa ditahan lagi.

Saverio mengunyah perlahan, berusaha mengabaikan drama yang terjadi. Namun, intensitas perdebatan itu membuat setiap suapan terasa seperti menelan batu.

"Aku benar-benar sibuk, Reixa," Alarick mencoba membela diri, suaranya mulai melembut.

"Sibuk?! Kesibukan Paman itu selalu bikin aku dituntut jadi anak sempurna! Aku nggak pernah merasa Paman peduli sama aku! Coba deh, lihat kamar aku. Semua penghargaan ada di sana, tapi Paman cuma tahu nuntut lebih! Aku nggak peduli alasan Paman lagi!" Reixa membalas, suaranya bergetar karena emosi yang tertahan.

"Reixa!" Alarick mendesah panjang, suaranya terdengar lelah.

Tanpa berkata lagi, Reixa membanting sendok garpunya ke atas piring, suaranya menggema di ruangan yang sunyi. Gadis kecil itu berlari ke arah Saverio, memeluknya erat sambil menangis tersedu-sedu.

"Paman itu cuma adik angkat Ibu aku! Aku nggak suka sama Paman!" tangisnya pecah. Lalu, dengan mata berkaca-kaca, dia mendongak dan menatap Saverio dengan ekspresi memelas. "Om, mau nggak jadi ayah aku? Aku buka lowongan buat cari ayah baru."

Saverio tersentak. Hampir saja dia menyemburkan minumannya, matanya membelalak kaget tak percaya dengan perkataan gadis kecil di hadapannya. "Nak, nggak segampang itu menjadi seorang ayah. Dan nggak semua pria dewasa yang kau temui cocok jadi ayah. Termasuk aku," jawabnya sambil menolak dengan suara lembut, mencoba menenangkan situasi.

Namun, Reixa tak mau menyerah. "Pokoknya aku maunya Om yang jadi wali aku! Bukan Paman Babi Hutan jelek itu!" serunya keras sambil menunjuk Alarick dengan penuh emosi. Sayangnya, tanpa sadar jari tengahnya terangkat membuat Saverio nyaris tersedak lagi, kali ini oleh udara.

Alarick yang melihat gestur itu langsung mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Reixa! Dari mana kau belajar hal seperti itu?!" bentaknya, wajahnya campuran antara terkejut dan marah.

Saverio hanya bisa menutup wajahnya dengan satu tangan, menghela napas panjang. "Tolong, biarkan aku makan dengan damai sekali saja," gumamnya dalam hati, merasa seperti terjebak dalam drama keluarga yang tak ada habisnya.

"Kenyataannya benar, kok," sahut Reixa ketus, menatap Alarick dengan tatapan penuh perlawanan. "Paman itu kerjanya cuma marah-marah nggak jelas. Kalau memang Paman nggak suka sama aku, kenapa nggak langsung usir aku aja dari rumah ini?" lanjutnya dengan nada enteng, seolah apa yang dia katakan adalah hal biasa.

Alarick menatap Reixa tajam, tapi di balik amarahnya, ada kilatan rasa bersalah yang berusaha dia sembunyikan. "Jangan bicara sembarangan, Reixa! Kau tahu betul ini rumah orang tuamu. Aku hanya berusaha menjalankan tanggung jawabku sebagai wali!" suaranya meninggi, mencoba mempertahankan otoritas.

Namun, Reixa hanya mendengus, ekspresinya mencemooh. "Tanggung jawab? Apa itu berarti cuma marah-marah dan nuntut aku jadi anak sempurna? Kalau itu tanggung jawab, aku nggak butuh!" jawabnya tegas, nadanya penuh kebencian yang membuat suasana semakin memanas.

Saverio yang mendengar semuanya, hanya bisa memijat pelipisnya. Dalam hati, dia berpikir, "Kalau begini terus, mungkin aku yang akan minta diusir dari rumah ini duluan."

"Reixa, apa-apaan ini? Aku dengar dari pamanmu kalau kau sedang membuat keributan. Tapi, kenapa kau memungut pria miskin yang nggak jelas asal-usulnya?" tanya seorang wanita paruh baya dengan nada merendahkan, sambil menatap Saverio dari atas ke bawah seolah-olah dia adalah barang usang yang tak berguna.

Reixa mengerutkan kening, mata hijaunya menatap neneknya dengan tajam. Wanita itu selalu menuntut kesempurnaan darinya, mencampuri setiap aspek kehidupannya, dan selalu membandingkannya dengan sepupu-sepupunya. Dalam benaknya, Reixa sudah lelah dengan perlakuan neneknya yang tak pernah berubah, baik di kehidupan ini maupun sebelumnya.

Saverio hanya menunduk sopan, berusaha mengabaikan tatapan menghina dari wanita itu. Dalam hati, dia bergumam, "Sepertinya keluargamu sudah lama menggali lubang kehancurannya sendiri."

Pikirannya terbayang-bayang akan masa depan keluarga ini. "Enam tahun lagi, akan ada keributan besar. Wanita ini, terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga anak-anaknya. Obsesinya dengan kontrol dan harta hanya mempercepat kehancuran keluarga ini. Stroke yang dia alami nanti adalah akibat dari kesepian dan kehilangan, ketika semua kekayaan lenyap." Saverio melirik sekilas ke arah wanita itu, lalu kembali menundukkan kepala.

"Nenek bicara apa, sih? Dia ini manusia, bukan barang. Nenek buta, ya?" balas Reixa tajam tanpa rasa takut. Gadis kecil itu sudah kehilangan rasa hormat pada neneknya yang selalu mendikte hidupnya. Bahkan, Reixa ingat bagaimana wanita ini menjadi dalang atas penderitaannya di kehidupan sebelumnya.

"Kau! Nggak sopan sama orang tua! Lihat sepupumu, mereka semua jauh lebih baik daripada kau!" sembur sang nenek dengan marah, menunjuk Reixa seolah-olah dia adalah aib keluarga.

'Mulai lagi, deh.' batin Reixa dengan kesal. Dia menarik napas panjang, mencoba meredam emosi sebelum membalas dengan nada yang tak kalah tajam, "Aku nggak buta, kok, Nek. Lagipula cucu Nenek yang lain kan selalu membanggakan. Nggak kayak aku yang nggak guna ini, seperti kata Paman Babi Hutan."

"Reixa!" hardik Alarick, mencoba memutuskan perdebatan. Namun Reixa, dengan penuh rasa drama, memeluk Saverio erat-erat sambil menyembunyikan wajahnya di dada pria itu.

"Om, benar kan aku bilang? Paman angkatku mirip babi hutan!" serunya dengan nada sedih yang dibuat-buat, sambil melirik ke arah Alarick dengan senyuman penuh ejekan.

Saverio menatap Reixa dengan ekspresi campur aduk antara kaget dan pasrah. Dalam hati, dia hanya bisa berdoa, "Tuhan, tolong bantu aku keluar dari situasi ini. Kalau bisa, keluarkan aku dari rumah ini sekalian."

Sementara itu, Reixa menunduk, membenamkan wajahnya di lengan Saverio sambil berpikir, "Ayo dong, usir aku sekarang. Kalau mereka mengusirku, aku bebas dari semua aturan menjijikkan keluarga ini. Ini harapan terakhirku."

1
Astuty Nuraeni
Reixa masih 10 tahun pak, tentu saja masih kanak kanak hehe
Ucy (ig. ucynovel)
secangkir ☕penyemangat buat kak author
Ucy (ig. ucynovel)
reinkarnasi ya
Citoz
semangat kk 💪
Buke Chika
next,lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!