Zia harus menelan pahit, saat mendengar pembicaraan suami dan juga mertua nya, Zia tak percaya, suami dan mertua nya yang selalu bersikap baik padanya, ternyata hanya memanfaatkannya saja.
Zia tidak bisa diam saja, saat tahu sikap mereka yang sebenarnya.
"Awas kalian, ternyata kalian selama ini hanya ingin memanfaatkan aku!" gumam Zia, mencekal tangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukacoretan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Puncak amarah
"Selama kita menikah, hidup satu rumah, dan satu ranjang, menghabiskan malam pengantin kita, apa kamu tidak pernah sedikitpun jatuh cinta denganku, mas?" tanya Zia, dengan tatapan sendu nya.
"Apa kamu tidak pernah jatuh cinta dengan kebaikan aku, dengan perhatian aku, dengan waktu aku yang sudah aku habiskan denganmu, hati kamu sekeras itu?" sambung Zia lagi.
Zia menatap suaminya, berharap suaminya akan mengatakan cinta kepada dirinya.
"Ayo jawab!" teriak Zia.
"Aku tidak pernah mencintai kamu, sedari awal kita bertemu," jawab Rangga.
Zia tersenyum miris.
"Lalu, apa alasanmu, menikah denganku?" tanya Zia.
Tidak ada jawaban dari Rangga.
"Karena harta aku?" tebak Zia.
"Jawab!" teriak Zia.
"Aku tidak pernah mencintai kamu, Zia Kanaya!" bentak Rangga.
"Dasar laki-laki bajingan!" pekik Zia.
"Aku sudah tidak akan mendapatkan apapun darimu, jadi cepat berikan semua aset yang kamu miliki," pinta Rangga.
"Tidak sudi" jawab Zia.
"Jangan keras kepala, zia" ujar Rangga.
"Sedikitpun aku tidak pernah menyangka, sifat asli dirimu memang seperti ini, ternyata selama ini aku bodoh, telah mempercayai bajingan seperti kamu!" teriak Zia.
"Salahmu, terlalu bodoh," jawab Rangga.
"Laki-laki tidak memiliki harga diri, laki-laki pengecut!" hardik Zia.
Plak..
Rangga menampar Zia, lalu mencekik leher Zia dengan sangat kuat, tak ada perlawanan dari Zia, karena Zia sudah pasrah.
Kalaupun ia akan mati ditangan suaminya.
"Bunuh aku!" ucap Zia, dengan air mata yang sudah membasahi wajahnya.
Rangga melepaskan tangannya dari leher Zia.
Lalu Rangga mencari-cari sebuah sertifikat dilemarinya.
"Kamu mencari sertifikat dengan barang-barang berhargaku, mas?" tanya Zia.
Rangga menatap tajam kearah Zia, lalu ia mendekati Zia.
"Katakan, dimana semua itu," bentak Rangga.
"Kamu tidak akan mendapatkannya, karena aku sudah menyimpannya dengan baik," jawab Zia.
"Cukup bodoh, karena memilihmu sebagai suamiku, tapi tidak dengan urusan lain," sambung Zia lagi.
"Katakan, dimana semua itu?" tanya Rangga lagi, dengan tatapan tajamnya.
"Kalo kamu memberikan semua itu, kamu bisa keluar dari sini dengan selamat," ucap Rangga.
"Ayo kita mati sama-sama, biar impas," ujar Zia.
"Kenapa harus mati bersama, sedangkan aku tidak pernah mencintaimu," jawab Rangga.
"Kamu hanya wanita sampah!" bentak Rangga.
"Sampah, tapi bisa memberikan kehidupan enak buat kamu, dan juga keluargamu," jawab Zia.
"Karena memang itu tujuanku," sahut Rangga.
Zia menatap Rangga, sang suami yang sudah satu tahun lamanya menemani dirinya.
Zia menatap sendu, meskipun Zia sudah menyiapkan hati untuk kejadian ini, tapi Zia tetap merasakan sakit hati yang sangat dalam.
"Ternyata kamu benar, aku memang bodoh, bodoh karena telah memilih suami bajingan seperti kamu," teriak Zia.
Rangga mendorong Zia sangat kuat, Zia seluruh badan Zia ambruk kebawah lantai, kepalanya terbentur sisi laci.
"Aw" Zia merintih kesakitan, mengusap wajahnya berdarah.
Rangga mendekati Zia.
"Sekarang bagaimana? Milih poin pertama, atau kedua," bisik Rangga.
Zia merintih kesakitan, kepalanya terasa pusing, dan lukanya terasa perih, namun dengan tekad yang kuat, Zia tidak mau mati ditangan suaminya.
Dengan kekuatan yang tersisa, Zia menendang burung suaminya, dan menginjak perutnya, lalu Zia mengambil kunci kamarnya, dan membawa tas miliknya.
Zia keluar dari kamarnya, dia berlari sembari merintih kesakitan.
Lalu Zia keluar dari rumah tersebut, membawa mobilnya keluar.
Zia melajukan mobilnya dengan sangat kencang, Zia tak memikirkan rasa sakit yang ia rasakan, sepanjang jalan, Zia menangis.
Setelah lima belas menit, Zia sampai didepan rumah keluarganya.
Tak banyak tanya, Zia langsung masuk kedalam rumah keluarganya.
"Zia..." ucap serentak.
Zia tak bisa mengatakan apapun, Zia hanya bisa berdiri menatap semua keluarganya.
"Ayah..." ucap Zia.
Ayah Dimas langsung memeluk anaknya.
"Katakan dengan ayah, siapa yang sudah melakukan semua ini," bisik ayah Dimas.
Zia tak menjawab, hanya tangisan yang terdengar.
"Katakan, siapa yang membuatmu, seperti ini," teriak Roy.
"Mas Rangga!" jawab Zia.
"Bajingan..." hardik Roy.
Roy langsung berlari keluar, langsung memasuki mobilnya.
"Rey, ikuti kakakmu," titah ayah Dimas.
Rey langsung berlari keluar, paham apa yang dimaksud sang ayah.
"Ayo bunda obatin lukamu, dulu," ucap bunda Ita, menyusut air matanya, tak tega melihat sang anak.
"Ayah gendong, kita kekamar," ucap ayah Dimas.
Zia hanya mengangguk, untuk bicara rasanya sudah tidak punya tenaga lagi, Zia benar-benar merasakan lelah.
•
•
Sementara disisi lain, Roy sudah sampai dirumah Zia.
Terlihat Rangga sedang diobati lukanya, bekas tonjokan Zia tadi.
Dengan amarah yang memuncak, Roy mendobrak pintu rumah itu, bu Minah sampai mengelus dadanya karena merasakan kaget.
"Bajingan!.." teriak Roy.
Rangga terdiam, wajahnya pucat, karena Rangga sudah menduga, Roy akan mendatanginya.
Roy mendekati Rangga, dengan mata merah padam, memperlihatkan rasa amarahnya.
"Berani-beraninya, kau menyakiti adik ku," hardik Roy.
"T-tidak... A-aku..." ucap Rangga terpotong.
Bugh..
Bugh..
Roy menonjok tepat diperut Rangga, dan juga wajahnya.
Roy tidak memberikan kesempatan untuk Rangga bisa melawan dirinya, Roy terus mencecar Rangga dengan amukannya.
"Hentikan! Jangan sakiti anak ku," teriak bu Minah.
Lalu Roy menatap wanita paruh baya itu, sudah tidak ada hormat untuk wanita tua itu, yang ada rasa amarah yang sudah memuncak.
"Oh ini, wajah yang sudah membesarkan seorang monster, kelak kau akan menyesal dengan semua yang kalian lakukan, kepada adik ku," bentak Roy.
"Jangan membentak ibuku," ujar Rangga, sembari memegang perutnya yang terasa sakit.
"Cih, kalian memang sama-sama bajingan, tidak memiliki harga diri," hardik Roy.
Roy menatap bu Minah, "kau bangga, membesarkan seorang anak, untuk menjadi bajingan? Kau juga wanita" ucap Roy.
"Anak ku sudah baik, hanya saja adikmu kurang ajar," jawab bu Minah.
"Adik-ku, tumbuh dengan sangat baik, didampingi keluarga, harta, dan juga pendidikan, sedangkan kau membesarkan anakmu, dengan hasil kau menjalang," ejek Roy.
"Jangan mengatakan seperti itu dengan ibuku," Rangga bangkit, lalu ingin menghajar Roy.
Dengan sigap, Roy langsung menendang perut Rangga dengan sangat kuat.
Sehingga Rangga terhiyung kebawah lantai.
"Aku akan membalaskan setiap satu tetes air mata yang keluar dari mata adik ku," ucap Roy.
"Ceraikan dia, bebaskan Zia!" desak Roy.
"Tidak akan, aku tidak akan menceraikan, Zia," jawab Rangga.
"Masih punya nyali juga, dasar tidak tahu diri," hardik Roy.
"Aku tidak akan menceraikan Zia, kecuali kau memberikan semua aset milik keluargamu," ucap Rangga, tidak tahu diri.
Roy tersenyum menyeringai.
"Ceraikan adik-ku, atau wanita jalang ini akan aku habisi," desak Roy, mengeluarkan senjata apinya, kearah bu Minah.
"Tidak, aku tidak akan menceraikan, Zia" jawab Rangga, Rangga tak menghiraukan ancaman Roy, karena Rangga mengira itu hanya menggeretaknya saja.
"Baik, pasti pilihan yang bagus, untuk kelangsungan hidupmu," ucap Roy.
Dor..
Dor..
Dor..
"Ibu...Tidak..." jerit Rangga.
bakal berusaha trs mengganggu hdp zia trs
cepat sembuh zia