Di tahun 2145, dunia yang pernah subur berubah menjadi neraka yang tandus. Bumi telah menyerah pada keserakahan manusia, hancur oleh perang nuklir, perubahan iklim yang tak terkendali, dan bencana alam yang merajalela. Langit dipenuhi asap pekat, daratan terbelah oleh gempa, dan peradaban runtuh dalam kekacauan.
Di tengah kehancuran ini, seorang ilmuwan bernama Dr. Elara Wu berjuang untuk menyelamatkan sisa-sisa umat manusia. Dia menemukan petunjuk tentang sebuah koloni rahasia di planet lain, yang dibangun oleh kelompok elite sebelum kehancuran. Namun, akses ke koloni tersebut membutuhkan kunci berupa perangkat kuno yang tersembunyi di jantung kota yang sekarang menjadi reruntuhan.
Elara bergabung dengan Orion, seorang mantan tentara yang kehilangan keluarganya dalam perang terakhir. Bersama, mereka harus melawan kelompok anarkis yang memanfaatkan kekacauan, menghadapi cuaca ekstrem, dan menemukan kembali harapan di dunia yang hampir tanpa masa depan.
Apakah Elara dan Orion mampu m
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Jejak Darah
Malam datang seperti selimut hitam yang mencekik. Langit di luar tampak penuh dengan bintang yang redup, tertutup lapisan debu tebal yang melayang di atmosfer. Di dalam reruntuhan bangunan tua tempat mereka berlindung, Orion duduk berjaga. Senapan tergeletak di tangannya, sementara matanya tajam memindai setiap sudut.
Elara tertidur di sudut ruangan, tubuhnya meringkuk dengan tablet yang masih menyala di dekatnya. Namun, tidurnya tidak tenang. Wajahnya terus bergerak gelisah, seolah-olah mimpi buruk menghantuinya.
Orion menghela napas. Dia tahu mereka tidak bisa lama di sini. Keamanan tempat ini hanya ilusi; terlalu dekat dengan Deadzone berarti ancaman bisa datang dari mana saja.
Tiba-tiba, suara lirih terdengar dari luar. Orion menegang, memiringkan kepalanya untuk mendengar lebih jelas. Suara itu seperti derak langkah kaki yang sengaja diperlambat, menciptakan gema samar di antara puing-puing.
Dia berdiri perlahan, senapan terangkat. Dengan hati-hati, dia berjalan menuju jendela yang sudah pecah, mengintip ke luar melalui celah kecil di dinding. Pandangannya menyapu gelap malam, tetapi tidak ada yang terlihat—hanya bayangan dari bangunan yang runtuh dan pasir yang berterbangan.
Namun, dia tahu lebih baik daripada mempercayai ketenangan ini. "Elara," bisiknya, mencoba membangunkannya tanpa suara.
Elara terbangun dengan tersentak, menatap Orion dengan mata penuh pertanyaan. "Apa yang terjadi?" bisiknya balik.
"Seseorang—atau sesuatu—ada di luar," jawab Orion pelan. "Bersiaplah."
Elara meraih pistolnya, menyalakan kembali tablet untuk mengaktifkan kamera drone yang masih tertinggal di luar. Layar tablet memperlihatkan pemandangan yang membuat darahnya membeku. Beberapa sosok bergerak di kejauhan, mendekat perlahan ke arah mereka.
"Anarkis," gumam Elara. "Mereka menemukan kita."
Orion mengutuk pelan, mengangkat senapannya. "Kita tidak bisa melawan mereka di sini. Mereka pasti punya peralatan yang lebih baik. Kita harus keluar sebelum mereka mengepung tempat ini."
Elara mengangguk. Dia segera merapikan peralatannya, memasukkan tablet ke dalam tasnya. Namun, sebelum mereka bisa melangkah, sebuah suara keras menggema di luar.
BOOM!
Dinding di sebelah mereka runtuh, mengirimkan puing-puing beterbangan ke segala arah. Elara menjerit, terlempar ke belakang, sementara Orion berusaha melindunginya dengan tubuhnya.
Ketika debu mulai mereda, mereka melihat sebuah lubang besar di dinding. Di sisi lain, sosok-sosok bersenjata lengkap berdiri, topeng mereka bercahaya samar dalam kegelapan.
"Serahkan gadis itu," salah satu dari mereka berkata dengan suara serak yang menggema dari helmnya. "Dan kami akan membiarkanmu pergi."
Orion tertawa pahit, mengangkat senapannya. "Itu bukan tawaran yang bagus."
Tanpa menunggu jawaban, dia menarik pelatuk, peluru menghantam salah satu dari mereka tepat di dada. Anarkis itu terjatuh, tetapi rekan-rekannya langsung membalas tembakan.
"Pergi sekarang!" teriak Orion pada Elara sambil terus menembak untuk memberi perlindungan.
Elara bangkit dengan susah payah, berlari menuju pintu belakang bangunan itu. Di tengah pelarian, dia mendengar suara-suara lain dari radio yang dibawa para anarkis:
"Target terlihat. Kirim tim kedua untuk memotong jalur mereka."
Mereka tidak hanya menghadapi satu kelompok, tetapi pasukan penuh.
---
Mereka berlari tanpa henti melalui lorong-lorong reruntuhan, napas mereka terengah-engah. Elara memimpin dengan bantuan peta di tablet, sementara Orion menutup di belakang, sesekali berhenti untuk menembak ke arah pengejar mereka.
"Ke kanan!" teriak Elara, menunjuk ke lorong sempit yang tampak menuju ke luar area.
Namun, saat mereka berbelok, jalan itu tiba-tiba terhalang oleh kawanan mutan yang tampaknya tertarik oleh suara tembakan. Wajah mereka yang cacat dan mata kosong membuat Elara merasa seperti sedang menghadapi mimpi buruk yang tak berujung.
"Ini semakin buruk," gumam Orion sambil mengarahkan senapannya.
"Mutan di depan, anarkis di belakang. Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Elara, panik.
"Tidak ada pilihan," jawab Orion. "Kita harus menerobos mereka."
Dia mulai menembak mutan satu per satu, sementara Elara mengikuti dengan gemetar. Namun, jumlah mutan itu terlalu banyak. Mereka menyerang seperti gelombang, membuat setiap langkah terasa seperti pertempuran hidup dan mati.
Ketika mereka akhirnya berhasil menerobos, tubuh mereka penuh luka kecil, dan tenaga mereka hampir habis. Namun, mereka tidak punya waktu untuk beristirahat.
---
Setelah hampir dua jam berlari tanpa henti, mereka menemukan tempat perlindungan sementara: sebuah bunker tua yang tersembunyi di bawah puing-puing. Orion membuka pintu besi berat itu dengan susah payah, sementara Elara berjaga dengan pistolnya.
Begitu mereka masuk, Orion segera menutup pintu dan menguncinya. Mereka berdua jatuh terduduk, napas mereka tersengal.
"Aku... aku tidak tahu... berapa lama lagi aku bisa terus seperti ini," kata Elara di antara napasnya.
"Kau harus bisa," jawab Orion dengan nada tegas. "Ini belum selesai."
Dia memeriksa senapannya, memastikan masih ada peluru. Sementara itu, Elara memeriksa tablet. "Koordinat Eden masih ada," katanya pelan. "Kita hanya butuh beberapa jam lagi untuk sampai ke sana."
"Kalau begitu kita tidak bisa lama di sini," kata Orion. "Mereka akan menemukan kita cepat atau lambat."
Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan, suara di luar mulai terdengar lagi. Kali ini, itu bukan suara langkah kaki, melainkan sesuatu yang jauh lebih besar.
Elara menatap Orion dengan mata melebar. "Apa itu?"
Orion mendekati pintu, menempelkan telinganya. "Kendaraan lapis baja. Mereka membawa sesuatu yang besar."
Elara merasa darahnya membeku. "Apa kita bisa melawan mereka?"
"Tidak di sini," jawab Orion tegas. "Kita harus keluar sekarang."
Dia mulai mencari jalan keluar lain, dan akhirnya menemukan pintu kecil di lantai bunker. "Ini mungkin membawa kita ke luar," katanya. "Ayo."
Mereka turun ke lorong gelap yang penuh dengan bau lembap. Lorong itu sempit, hanya cukup untuk satu orang sekaligus. Dengan hati-hati, mereka menyusuri jalur itu, sementara suara kendaraan besar semakin mendekat di atas mereka.
Ketika mereka akhirnya keluar, mereka menemukan diri mereka di tepi ngarai besar yang membentang di bawah bulan yang redup.
"Kita tidak bisa menyeberang," kata Elara, melihat jurang itu.
Orion memeriksa sekeliling, lalu menunjuk ke arah kabel baja tua yang tergantung di atas jurang. "Kita bisa menggunakan itu."
"Apakah kau serius?" tanya Elara, matanya membelalak.
"Apakah kau punya pilihan lain?" Orion menjawab dingin.
Tanpa menunggu jawaban, dia mulai memanjat tiang tempat kabel itu terhubung. Elara mengikutinya dengan gemetar, berusaha mengabaikan rasa takutnya.
Namun, sebelum mereka bisa menyeberang, suara dari belakang membuat mereka berhenti. Anarkis sudah menemukan mereka, dan mereka bersiap menembak.
"Kau duluan!" teriak Orion.
Elara memegang kabel itu dengan erat dan mulai menyeberang, sementara Orion menembak untuk menahan musuh. Peluru berdesing di sekitar mereka, tetapi dia tidak berhenti sampai Elara berhasil mencapai sisi lain.
Ketika giliran Orion, dia bergerak cepat, meskipun peluru terus menghujaninya. Namun, saat dia hampir mencapai sisi lain, salah satu peluru mengenai kabel, membuatnya bergetar hebat.
Orion hampir terjatuh, tetapi berhasil meraih kabel dengan satu tangan. Dengan usaha keras, dia akhirnya mencapai sisi lain, hanya untuk melihat Elara menatapnya dengan wajah pucat.
"Kita tidak bisa terus seperti ini," katanya, suaranya penuh ketakutan.
Orion memandangnya dengan serius. "Kita tidak punya pilihan, Elara. Kalau kau ingin sampai ke Eden, kau harus bertahan."
Elara mengangguk, meskipun rasa takut masih menghantuinya. Dan di belakang mereka, bayangan anarkis terus mengejar, membuat setiap langkah terasa seperti perlombaan melawan maut.