Perjalanan cinta Mat dan Cali, dibumbui konflik ringan di antara mereka berdua.
Tentu cerita ini tidak sesederhana itu, sebab Mat harus berurusan dengan Drake.
Bagaimana kisah lengkapnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riaaan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
"Apa yang telah terjadi?" Mat berlari mengejarnya, hampir tidak bisa mengikuti langkah cepat Cali yang sudah mendekati lift.
"Hei, Cali, tunggu!" Mat berhasil tiba tepat waktu sebelum pintu lift menutup sepenuhnya. Masih dalam keadaan marah, Cali dengan cepat menekan tombol 'G' untuk lantai dasar, satu per satu.
"Cali, apa yang terjadi? Tolong beri tahu aku kamu tidak melakukan sesuatu yang disesalkan..." tanya Mat, cemas melihat ekspresinya.
"Kuharap aku bisa, tapi bajingan itu memeras aku!" jawab Cali dengan marah, suaranya sedikit tercekat.
"Dengar, secara teknis, dia tidak melakukan pemerasan. Apa yang dia katakan itu benar, sesuai dengan kontrak kita. Kamu dan aku sama-sama membacanya dan—"
"Jadi kamu masih membela pria itu?!" seru Cali, semakin kesal.
Mat menghela napas panjang, seolah mencoba menenangkan diri. "Aku tahu kamu punya dendam padanya, tapi kamu tidak bisa bersikap seperti itu, Cali! Bisnis yang kita bangun dengan susah payah bergantung padanya!"
Cali menghela napas jengkel, jantungnya berdebar keras. "Ya, aku tahu. Maafkan aku," jawabnya, suaranya lebih lembut tapi tetap penuh amarah. "Hanya saja aku…" Dia menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang mulai muncul. "Hanya saja aku…" Dia menggigit bibir bawahnya, terdiam sejenak, tidak mampu melanjutkan perkataannya.
Temannya melihat dengan empati, kemudian dengan lembut memeluknya. "Ssshh… aku mengerti perasaanmu, dan aku minta maaf kalau ini terjadi. Kalau saja aku tahu sebelumnya, meskipun ini terobosan besar untuk Perfect Space, aku harap kita tidak menerimanya."
Cali menggelengkan kepalanya, menghapus air matanya. "Tidak. Kamu benar. Ini adalah perpisahan terbesar kita sejauh ini, dan aku harus bisa profesional dalam hal ini."
Mat mengangguk pelan, seolah memahami beban yang dirasakan temannya.
"Bagaimana kalau kamu serahkan saja ini padaku? Aku akan tangani semua orang-orang kita, dan kamu bisa bekerja dari kantor saja?" saran Mat dengan penuh perhatian.
Cali berpikir sejenak, lalu menjawab pelan. "Aku sudah memikirkannya, tetapi dia dengan jelas bilang bahwa dia membutuhkan aku untuk hadir secara pribadi, mengawasi proyek ini dari awal sampai akhir."
"Benarkah? Wah!" Mat berkata tidak percaya. "Apakah akan membantu jika aku coba bicara dengannya lagi?"
"Menurutku tidak, Mat. Aku kenal dia, dan saat dia memutuskan sesuatu, dia tidak akan mudah berubah. Tidak ada yang bisa mengubah pikirannya," jawab Cali, dengan nada lebih berat.
Lama terdiam, Mat akhirnya hanya mengangguk mengerti. "Lalu apa yang bisa kita lakukan?"
Cali menghela napas lagi, mencoba menenangkan diri. "Jalankan saja proyek ini secepat yang kita bisa, kurasa." Isakan kecil keluar dari tenggorokannya, hampir tidak terdengar.
Mat mengangguk, mengerti, dan tidak berkata apa-apa lagi.
Malam itu, Cali berguling-guling di tempat tidurnya, namun tiduran terasa sangat sulit. Setiap kali dia menutup matanya, wajah Drake terbayang di benaknya, seolah menggambar dengan tajam di ingatannya. Rasa frustasi dan amarah bercampur menjadi satu.
Cali akhirnya duduk, bersandar pada kepala tempat tidur, memeluk lututnya ke dada, dan membenamkan kepalanya di sana.
"Sialan kamu, Drake!" pikirnya, perasaan benci dan marah memenuhi dadanya. "Kenapa kamu harus muncul lagi? Apa yang terjadi dengan lima tahun penderitaanku yang sudah hilang hanya karena kamu?!"
Air matanya mulai mengalir tanpa bisa dihentikan. Kenangan yang selama ini dia coba lupakan kembali muncul begitu saja, lebih tajam dan lebih menyakitkan. Selama bertahun-tahun dia berusaha menghindari semuanya, tapi kini, dia tidak bisa menahan perasaan yang datang begitu mendalam.
Kenangan itu—semua kenangan tentang Drake—kembali menguasai pikirannya, dan dia merasa tak berdaya.
Drake menatap langit malam yang terang dengan bulan yang bersinar, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke Calista. Dengan senyum malu-malu, dia memulai kalimatnya. "Sebenarnya, aku punya pengakuan," ujarnya perlahan, sedikit ragu, seolah dia sedang mencari kata-kata yang tepat.
Calista menoleh padanya, ekspresi bingung masih terpampang di wajahnya. "Apa maksudmu?" tanyanya, merasa penasaran namun tetap menjaga jarak emosionalnya. Hatinya berdebar tidak menentu, entah karena kehadiran Drake atau karena suasana malam yang indah di sekitar mereka.
Drake sedikit tertawa, merasa canggung namun tetap berusaha tegar. "Aku… sebenarnya sering datang ke sini. Bukan hanya untuk makan atau menikmati pemandangan," ucapnya, sedikit tersenyum, meski ada sedikit kegugupan yang jelas di matanya.
Calista menatapnya, mulai merasakan ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ajakan makan malam ini. "Lalu kenapa kau membawa aku ke sini?" tanyanya dengan nada agak serius, meskipun masih ada sedikit keheranan di suaranya.
Drake memandangnya dengan lebih intens, seolah hendak berkata sesuatu yang lebih pribadi. "Karena… aku ingin kamu tahu bahwa ini bukan sekadar tentang makanan atau tempat ini, Cali," jawabnya dengan jujur, matanya tetap menatap langsung ke mata Calista. "Aku ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar menikmati waktu yang kita habiskan bersama, dan aku ingin lebih dari sekadar sekedar berteman."
Calista terdiam sejenak, merasa hatinya sedikit terpukul dengan pernyataan Drake. Bagaimanapun, meski dia tidak menginginkannya, dia merasakan dorongan yang kuat untuk membiarkan dirinya terpengaruh oleh kata-kata itu. Ada bagian dalam dirinya yang ingin percaya, tapi ada juga bagian yang mengingatkan betapa rumitnya hubungan mereka di masa lalu.
"Drake," kata Calista perlahan, suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya, "kenapa kamu harus datang kembali ke dalam hidupku seperti ini? Kenapa sekarang?" Matanya mulai berkaca-kaca, meski ia berusaha keras untuk tetap tenang.
Drake menghela napas panjang, dan dengan penuh ketulusan, ia menjawab, "Karena aku menyesal, Cali. Menyesal karena dulu aku terlalu bodoh untuk menghargai kamu. Dan aku ingin perbaiki semuanya, kalau kamu memberi aku kesempatan."
Perasaan campur aduk menyelimuti hati Calista. Dia ingin marah, ingin mengatakan bahwa terlalu banyak waktu telah berlalu dan terlalu banyak luka yang telah terjadi. Namun, di sisi lain, ada rasa rindu yang sulit dia jelaskan, perasaan yang dia simpan rapat-rapat selama ini.
"Drake, kita… kita sudah lama tidak bersama," kata Calista, suaranya serak. "Kenapa kamu pikir semuanya bisa kembali seperti dulu?"
Drake menggenggam tangannya dengan lembut, tatapannya penuh harap. "Aku tidak berharap semuanya bisa seperti dulu. Aku hanya ingin kesempatan untuk membuktikan bahwa aku bisa lebih baik kali ini," jawabnya, suaranya penuh keyakinan.
Keheningan melingkupi mereka sejenak, hanya suara angin malam yang terdengar di sekitar mereka. Calista menunduk, berpikir sejenak. Hatinya bergejolak antara keinginan untuk melupakan masa lalu dan ketakutan akan apa yang bisa terjadi jika dia memberi kesempatan lagi pada Drake.
Akhirnya, dengan suara yang hampir berbisik, Calista berkata, "Aku tidak tahu, Drake. Aku tidak tahu apakah aku bisa melupakan semua yang sudah terjadi."
Drake mengerti. Dia tidak memaksanya, hanya menggenggam tangannya dengan lebih erat, seolah memberi ruang bagi Calista untuk memutuskan sendiri tanpa tekanan.
"Saya tidak akan memaksamu, Cali. Aku hanya ingin kamu tahu, aku di sini jika kamu siap," katanya dengan lembut, dan mereka kembali menikmati pemandangan dan malam yang tenang bersama, meskipun ketegangan dan perasaan yang belum terpecahkan masih menggelayuti keduanya.
Ciuman itu terasa seperti dunia berhenti berputar, seolah-olah semuanya menghilang, meninggalkan hanya mereka berdua di sana, di bawah cahaya bulan yang lembut. Calista merasa hatinya berdebar kencang, setiap sentuhan bibir Drake seolah mengisi kekosongan yang lama dia coba tutupi. Ciuman itu, meskipun lembut, penuh dengan perasaan yang begitu mendalam—perasaan yang selama ini dia pendam namun tak pernah dia ungkapkan.
Saat mereka berpisah, mereka masih saling memandang, dengan napas yang sedikit terengah-engah. Drake tersenyum, senyum yang hangat dan penuh keyakinan, seolah-olah dia tahu bahwa ini adalah langkah pertama menuju sesuatu yang lebih besar. Matanya penuh dengan cinta, dan Calista tidak bisa menghindari perasaan yang memenuhi dadanya, perasaan yang sudah lama ia coba untuk lupakan.
"Apakah kamu yakin?" tanya Calista pelan, suaranya sedikit gemetar. Ini bukan hanya tentang ciuman atau perasaan sesaat. Ini tentang komitmen yang lebih besar—tentang masa depan mereka yang penuh ketidakpastian.
Drake mengangguk perlahan, menggenggam tangannya dengan lembut. "Aku tidak akan pernah ragu tentang kamu, Cali. Aku sudah lama tahu ini yang aku inginkan," jawabnya, suaranya penuh keyakinan dan kelembutan. "Aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada untukmu. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapinya bersama."
Calista menatapnya, terperangkap dalam mata gelapnya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa seperti dia tidak sendirian. Seperti dia tidak perlu lagi bertahan sendiri. "Aku takut," kata Calista, suaranya hampir tak terdengar. "Aku takut pada perasaan ini, pada apa yang mungkin terjadi."
Drake menyentuh pipinya dengan lembut, seolah ingin meyakinkannya bahwa dia akan selalu ada untuk merawatnya. "Takut itu normal, Cali. Kita tidak bisa mengendalikan perasaan kita, tapi kita bisa memilih untuk melangkah bersama. Aku tahu kita bisa melewati semua ini."
Malam itu, di bawah langit penuh bintang, mereka berdiri berdampingan, saling berbagi perasaan yang selama ini terkubur dalam-dalam. Calista merasa seperti dia akhirnya bisa mengambil langkah ke depan, meskipun ada keraguan yang masih menggantung di hatinya. Tapi untuk pertama kalinya, dia merasa ada seseorang yang siap menghadapinya bersama.
Ciuman pertama itu bukan hanya tentang fisik. Itu adalah simbol dari semua yang belum mereka ucapkan, semua yang belum mereka hadapi. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Calista merasa mungkin, hanya mungkin, dia bisa membuka hatinya lagi.