Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nemenin Kamu
Levin berpura-pura bodoh di depan Dizza. Meskipun sebetulnya dia justru paling tahu soal itu. Kini ingatan samar semalam membuatnya mengerti mengapa dia sempat melupakan soal janjinya. Dia pasti minum lagi, karena cemburu buta setelah Dizza memintanya untuk menemani membeli kado itu untuk Edzhar. Teman mereka yang akan berulangtahun. Sembilan September. Besok.
“Untuk Edzhar,” tukas Dizza lagi. Nada bicaranya terdengar sangat riang gembira. Dia memang selalu selepas itu bila segala halnya berkaitan soal Edzhar. Dizza akan menjelma menjadi sosok gadis cilik polos yang bisa tersenyum selebar itu. Ya, setidaknya Levin lega. Walaupun hatinya sekarang dihujam oleh ribuan jarum tak kasat mata. Sakit juga rasanya.
“Kurasa kita tidak perlu memberinya kado, Dizza. Dia kan sudah punya segalanya. Tuan muda seperti dia tidak membutuhkan apa-apa,” ujar Levin.
Kata-kata itu tanpa sadar terucap, cemburu adalah penyebab mengapa dia bisa berkata sedemikian terus terang itu. Alhasil perkataannya barusan sukses membuat semangat si gadis menguap tak bersisa. Apalagi ketika gadis itu menengadah untuk melihat tepat kearah matanya. Dia seperti tidak setuju, dan Levin tahu bahwa Dizza memang tidak akan pernah setuju bila dia mengatakan sesuatu yang buruk soal Edzhar didepan gadis itu. Rasa bersalah langsung bersarang seketika. Andai Levin bisa mengusirnya dengan caranya sendiri tanpa perlu melibatkan Edzhar. Dia pasti akan mengusirnya jauh dari mata cantik gadis itu sekarang juga.
“Aku tahu itu makanya… aku ingin memberikan sesuatu untuknya. Apalagi dihari ulangtahunya. Kita kan sahabatnya masa kau tidak mau memberikan tanda persahabatan kita untuk dia?” bibir mungil gadis itu berkata pelan. Mengiba.
“Dizza, tapi kan dia—”
“Kumohon Levin… temani aku ya.”
Selalu begitu. Levin akan menjadi pihak yang kalah dalam sebuah perdebatan yang bila disana ada Dizza. Dia tidak bisa menolak permohonan sahabat masa kecilnya itu sama sekali. Apalagi bila dia sudah memasang tampang memelas andalannya. Sedikit menghela napas panjang. Pria itu mendecakan lidah. Hari ini akan jadi lebih panjang. Dan dia mungkin perlu persiapan tempur mumpuni kedepannya. menemani gadis ini belanja apalagi demi Edzhar adalah sebuah tantangan paling berat.
“Baiklah… aku temani.” Sedikit sesal dia utarakan. Anehnya hal itu menguap begitu saja ketika Dizza tersenyum sumringah dan menggenggam tangannya. Apa Levin sebegitu gampangannya kah?
Setelah banyaknya jejeran toko yang telah dilewati. Levin sepertinya harus sedikit mengeluh sekarang, terlebih ketika kakinya mulai merasa pegal meskipun gadis dihadapannya terlihat sama sekali tidak terpengaruh apapun. Jika dihitung mereka mungkin telah memasuki toko ke sebelas, atau bahkan lebih ?
Jujur saja walaupun semembosankan itu dan semelelahkan itu, sialnya Levin terus mengekor dibelakang Dizza layaknya seekor anak ayam yang patuh terhadap induknya.
Sebetulnya Levin tidak secara mentah-mentah hanya mengekor dibelakang. Beberapa kali, oh tidak… bukan! Puluhan kali, Levin sudah menyarankan beberapa benda yang menurutnya cocok bila hanya sekadar untuk hadiah ulangtahun. Sesuatu yang menurut pandangan logisnya cukup berguna dan bisa digunakan sehari-hari sesuai kebutuhan. Namun sebanyak itu pula sang gadis yang merangkap sahabat masa kecilnya itu menggelengkan kepala. Bahkan untuk urusan saran dan solusi saja Dizza dengan mudahnya menolak. Apalagi bila berhubungan dengan soal rasa bukan? Levin memukul kepalanya sendiri secara spontan lantaran untuk beberapa saat kepalanya terkontaminasi beberapa adegan drama picisan yang sering kali sang mama tonton di akhir pekan.
Kini tiba ditoko yang kedua puluh, Levin tidak bisa lagi berpura-pura baik-baik saja. Akhirnya naluriah alaminya untuk merapal sumpah serapah sebanyak mungkin tidak lagi terbendung. Namun tentu saja Levin berani begitu setelah memastikan dia tidak mendapatkan atensi dari Dizza. Untungnya lagi Levin pandai menganalisasi sekitar, sebab si gadis nampak masih sibuk dengan barang antah berantah yang tidak ada hubungannya dengan Edzhar.
Setelah dirasa terlalu membuang waktu akhirnya keluhan, gerutuan, bahkan sampai pada titik suruhan untuk segera mengambil putusan dan pilihan dalam kegiatan yang dinamakan membeli satu buah barang dengan alasan lapar dan butuh makan siang Levin koarkan. Tapi tetap saja, si keras kepala Dizza tidak menghiraukan dan malah bilang ingin mengitari lagi toko yang pertama kali mereka masuki.
“Aku lapar Dizza, kakiku rasanya mau copot.” Ini adalah rengekan Levin untuk yang kesekian kalinya.
“Kau kan memang selalu lapar setiap saat Levin. Jangan merengek disaat aku sedang fokus mencari barang,” sahut Dizza cuek. Tangannya penuh dengan pernak-pernik yang tidak berguna. Ketika jemari gadis itu terhenti disatu barang, Levin bernapas lega. Sungguh, dia berharap itu adalah pilihan akhir dari Dizza agar mereka bisa segera keluar dari toko itu dan mengisi perut Levin yang kelewat lapar.
“Ada yang kau suka Dizza?” Levin lebih tanggap. Kali ini dia tidak peduli berguna atau tidaknya hadiah yang akan Dizza berikan. Dia hanya berharap segera menyudahi acara bodoh ini secepatnya.
“Bagaimana menurutmu dengan ini?” dia mengangkat salah satu patung yang berjejer apik di toko tersebut. Levin mengenalnya sebagai Dewa Hefaistos- dewa teknologi, pandai besi, pengrajin, pemahat, logam, metalurgi, api, dan gunung berapi. Hefaistos diceritakan dalam mitologi Yunani sebagai dewa yang pincang dan langkahnya terputus-putus- kurang lebih seperti itulah yang dia ketahui dari benda yang dimintai Dizza sebagai hadiahnya.
“Kau berharap Edzhar jadi pincang? Tidakkah kau sedikit tidak berperasaan untuk hari ulangtahunnya?” Memang dasar mulut Levin itu gatal. Agak puas juga dia meledek orang itu dengan hadiah yang hendak Dizza berikan. Levin bahkan mengingkari apa yang dia hendak lakukan. Mulut sialannya malah menyanggah pilihan Dizza dengan cepat. Harusnya biarkan saja kan? Bukannya bagus?
“Hei, kesampingkan soal itu! coba kau perhatikan makna lain. Dia itu dewa pengrajin, dia banyak membuat benda-benda ajaib untuk para dewa bahkan sebagian besar benda berkekuatan khusus. Kau melupakan yang satu itu ya?” balas Dizza tak terima dengan pendapat Levin yang menilai benda itu hanya dari fisiknya.
“Bukannya lebih cocok yang itu?” Levin menunjuk kearah sebuah patung besar wanita yang letaknya tak jauh dari tempatnya berdiri. Patung yang menggambarkan seorang wanita dengan aura kecerdasan yang kuat, mengenakan baju perang lengkap dengan pelindung kepala dan memegang perisai serta tombak. Athena. Sejujurnya ini bukanlah sebuah saran yang betul-betul dia ingin berikan. Hanya sebatas becandaan.
Dizza mendekati patung dewi Athena yang Levin tunjuk setelah meletakan patung dewa Hefaitos ketempat semula. Dia terlihat menganggukan kepalanya. “Well, kau benar ini ide yang bagus. Dewi Athena adalah penggambaran yang sempurna untuk sosok Edzhar. Seorang yang bijaksana dan dikenal dengan dewi seni. Tapi… akan sulit untuk membawanya kemana-mana.” Ia menggumam.
“Hoi! Kau tidak Benar-benar akan mempertimbangkan ideku yang ini kan? Oh ayolah Dizza aku cuma bercanda!”
Cepat-cepat Levin menarik tangan Dizza menjauh dari sana. Lebih tepatnya menyeretnya secara paksa sebelum sahabat karibnya itu mempertimbangkan membeli benda tak berguna macam itu. Levin tahu bahwa bila dia jadi membeli benda itu, maka dialah yang akan kerepotan nantinya.
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱