Nadia, seorang gadis desa, diperkosa oleh seorang pria misterius saat hendak membeli lilin. Hancur oleh kejadian itu, ia memutuskan untuk merantau ke kota dan mencoba melupakan trauma tersebut.
Namun, hidupnya berubah drastis ketika ia dituduh mencuri oleh seorang CEO terkenal dan ditawan di rumahnya. Tanpa disangka, CEO itu ternyata adalah pria yang memperkosanya dulu. Terobsesi dengan Karin, sang CEO tidak berniat melepaskannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga
“Jadi benar, ya?” Ira memulai dengan tatapan penuh sinis.
“Kau menjual dirimu, Nadia? Seperti itu caramu hidup? Mengandalkan tubuhmu untuk mendapatkan uang?” Suaranya mengandung kebencian yang begitu kentara, membuat dada Nadia semakin sesak.
Nadia menggelengkan kepala, mencoba berkata, “Ira, kumohon, dengarkan aku. Bukan seperti itu…” Suaranya bergetar, penuh ketakutan dan kepedihan, namun Ira tidak memberikan kesempatan sedikit pun.
“Berapa yang dia bayar? Apa pria itu begitu dermawan hingga membuatmu begitu rendah, heh? Sudah berapa kali kau lakukan ini, Nadia? Aib keluarga! Tidak tahu malu!” Ira melontarkan kata-katanya seakan-akan ia melemparkan pisau yang menusuk hati Nadia tanpa ampun.
Nadia berusaha menyeka air mata yang mulai turun, namun ia terlalu lelah untuk menangis lagi. Ia mencoba menjelaskan dengan susah payah, meski setiap kalimat terasa begitu sulit diucapkan,
“Ira, kumohon dengarkan. Aku tidak pernah menjual diriku. Semalam, aku… aku diserang oleh seorang pria asing. Aku pergi keluar untuk membeli lilin karena listrik mati, dan tiba-tiba… dia…” Nadia terdiam, kata-katanya menggantung di udara, karena terlalu menyakitkan untuk diungkapkan lebih lanjut.
Namun Ira hanya tertawa merendahkan.
“Diserang? Kau benar-benar berpikir aku akan percaya cerita seperti itu? Hanya alasan murahan!"
Nadia memandang Ira dengan mata penuh keputusasaan. Di desa kecil ini, memang tidak ada kamera CCTV, tidak ada saksi yang bisa mendukung ceritanya. Semua terbatas, dan kisahnya mungkin terdengar seperti alasan bagi siapa saja yang mendengarnya.
“Aku tahu ini sulit dipercaya, Ira… Tapi aku tidak mungkin mengarang ini. Aku diserang begitu saja tanpa bisa melawan. Aku mencoba, tapi dia terlalu kuat, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa…”
Ira memutar matanya, seolah tidak ingin mendengar sepatah kata lagi dari Nadia. “Ya, ya, kau memang pandai beralasan, Nadia. Kau bisa berdalih apa saja. Lagipula, siapa yang akan percaya denganmu? Di desa ini, orang seperti kau tidak punya harga diri.” Tatapan Ira menyapu Nadia dari ujung rambut hingga ujung kaki, penuh penghinaan yang menyakitkan.
“Aku… aku tidak seperti itu…” Nadia mencoba mempertahankan harga dirinya yang tersisa, tapi kata-kata Ira terus menghujaninya, membenturkan kenyataan yang begitu kejam padanya.
“Tidak seperti itu? Lalu apa? Berlagak jadi gadis baik-baik, tetapi sebenarnya kau sudah menjual dirimu? Kau bahkan mungkin menikmatinya, kan? Menikmati uang yang bisa kau dapatkan dari tubuhmu?” Ira berkata dengan sadis, seolah-olah ia sengaja ingin menghancurkan jiwa Nadia, seolah ingin memastikan tidak ada satu pun kebanggaan yang tersisa dalam dirinya.
Nadia menundukkan kepalanya, menahan rasa sakit yang begitu mendalam. Kepalanya berdenyut, dan dadanya terasa sesak. Sejak kecil, ia telah diajari untuk selalu menjaga martabat dan harga diri, untuk menjadi perempuan baik dan menjaga kehormatannya.
Namun sekarang, semua yang ia banggakan hancur dalam sekejap mata, hilang begitu saja seperti debu yang tertiup angin.
Ia mengulurkan tangan, mencoba menyentuh lengan Ira dengan harapan sepupu perempuannya itu bisa sedikit memahami, tetapi Ira menepis tangannya dengan kasar. “Jangan sentuh aku!” katanya dengan nada jijik.
“Kau tidak pantas menjadi bagian dari keluarga ini. Kau hanya membawa aib! Ibu dan ayah seharusnya tidak pernah mengambilmu. Kau hanya beban. Memalukan.”
“Sudahlah,” lanjut Ira dengan nada penuh penghinaan.
“Kau pikir aku akan membiarkan ini begitu saja? Aku akan memberitahu ibu dan ayah. Mereka harus tahu bahwa kau hanya membawa malu pada keluarga ini. Kau pikir mereka akan membiarkanmu tinggal di sini setelah semua ini? Hah, jangan harap!”
Mendengar ancaman itu, Nadia tersentak dan matanya penuh ketakutan. Selama ini, meski dengan perlakuan yang kasar, ia masih memiliki tempat berlindung. Rumah ini, walaupun tidak sepenuhnya miliknya, adalah satu-satunya tempat yang bisa ia sebut sebagai ‘rumah’.
Jika ia harus pergi dari sini, ia benar-benar tidak punya tempat tujuan. Tidak ada siapa pun yang akan menampungnya, tidak ada keluarga, tidak ada teman yang cukup dekat. Ia benar-benar akan terbuang.
Ira menghela napas panjang sembari memegang ponselnya, jari-jarinya siap untuk menekan tombol panggilan ke orang tuanya yang sedang berada di desa sebelah. Sementara itu, Nadia berdiri di sampingnya, wajahnya penuh rasa cemas dan putus asa.
Nadia dengan suara pelan sekali lagi berkata. "Ira, kumohon... jangan bilang pada paman dan bibi."
Ira hanya meliriknya sekilas tanpa ekspresi, lalu menekan tombol panggilan. Nadia semakin panik. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan air matanya. Akhirnya, ia tak tahan lagi. Nadia langsung berlutut di depan Ira, memegang pergelangan tangan Ira dengan erat.
"Ira, aku mohon! Aku akan melakukan apapun yang kamu minta. Tolong... asal paman dan bibi tidak tahu."
Ira tertegun sejenak, lalu mendengar suara dari telepon yang sudah terhubung.
Suara seorang laki laki terdengar dari telepon "Halo? Ira? Ada apa nak?"
Ira terdiam sesaat, lalu menatap Nadia yang menunduk dengan putus asa di kakinya. Ia tersenyum kecil, seperti menemukan ide baru.
Ira menjawab ke ayahnya. "Oh, tidak ada apa-apa, ayah! Aku hanya ingin bertanya kabar saja. Semuanya baik baik saja di sini. Nanti aku hubungi lagi ya."
Ira mengakhiri panggilan, lalu menatap Nadia dengan tatapan penuh arti.
"Jadi, kau benar akan melakukan apapun yang kuminta?"
Nadia mengangguk cepat, wajahnya penuh ketakutan dan harapan.
"Iya... aku janji, Ira. Aku akan melakukan apapun, asal paman dan bibi tidak tahu." Ucap Nadia.
Ira menatap Nadia dengan ekspresi dingin, sementara senyum licik muncul di sudut bibirnya.
"Kalau begitu, putuskan Angga."
Angga adalah kekasih Nadia, seorang pemuda tampan dengan senyum ramah dan tatapan yang selalu teduh. Dia adalah putra kepala desa, sosok yang dihormati oleh warga karena wibawa dan sikap bijaksananya.
Seperti ayahnya, Angga tumbuh dengan sikap yang tenang dan bertanggung jawab, membuatnya disukai banyak orang di desa, terutama para gadis. Namun, hanya satu hati yang berhasil memikatnya, dan hati itu adalah milik Nadia.
Di sisi lain, Ira, sudah lama menyimpan rasa pada Angga. Ia sering berharap bisa dekat dengannya, namun takdir berkata lain saat Angga memilih Nadia sebagai kekasihnya
Nadia terbelalak, tidak percaya dengan permintaan Ira. Ia menatap Ira dengan wajah penuh keterkejutan.
"Apa...? Tidak, Ira, kumohon. Jangan itu..." Ucapnya.
Ira menyilangkan tangan di depan dada, tetap menatap Nadia tanpa belas kasihan "Kau sudah berjanji, Nadia. Kau akan melakukan apapun yang kuminta. Bukankah begitu?"
Di dalam hatinya, Nadia tahu ia tidak punya pilihan lain. Ira benar. Bagaimana mungkin ia, yang kini merasa ternoda dan tidak layak, bisa tetap bersanding dengan Angga, anak kepala desa yang begitu dihormati di wilayah itu? Rasa rendah diri telah menjalari hatinya, seolah semua harapan untuk memiliki masa depan bersama pria yang ia cintai kini telah hancur berkeping-keping.
"Baiklah, aku akan putus dengan Angga," kata Nadia dengan yakin tapi penuh kesedihan yang dalam.
Ira melemparkan ponselnya ke arah Nadia dengan senyum penuh kemenangan. "Ayo, telpon dia sekarang," ujar Ira dengan nada mendesak, matanya bersinar puas.
Dengan tangan gemetar, Nadia menekan nomor Angga. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tidak butuh waktu lama, suara Angga langsung terdengar di ujung sana, hangat dan penuh semangat.
“Halo, Nadia!” kata Angga, terdengar begitu antusias. “Kamu di mana? Aku khawatir karena kamu nggak ngabarin semalam. Apa kamu baik-baik saja?”
Nada hangatnya membuat hati Nadia bergetar. Suara Angga, penuh perhatian dan kasih sayang, membuatnya sejenak lupa pada segala penderitaan yang baru saja ia alami. Tapi kenyataan kembali menamparnya, mengingatkannya pada apa yang harus ia lakukan.
Nadia menggigit bibirnya, mencoba menguatkan diri. Ia tahu, satu kalimat ini akan menghancurkan bukan hanya hati Angga, tapi juga hatinya sendiri. Dengan suara parau, ia berkata, “Kita putus, Angga.”