Tiga ribu tahun setelah Raja Iblis "Dark" dikalahkan dan sihir kegelapan menghilang, seorang anak terlahir dengan elemen kegelapan yang memicu ketakutan dunia. Dihindari dan dikejar, anak ini melarikan diri dan menemukan sebuah pedang legendaris yang memunculkan kekuatan kegelapan dalam dirinya. Dipenuhi dendam, ia mencabut pedang itu dan mendeklarasikan dirinya sebagai Kuroten, pemimpin pasukan iblis Colmillos Eternos. Dengan kekuatan baru, ia siap menuntut balas terhadap dunia yang menolaknya, membuka kembali era kegelapan yang telah lama terlupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusei-kun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rivalitas Sejati
Yusei Shimizu duduk di bawah pohon besar yang rindang di sisi kampus Akademi Altais, menikmati kesunyian yang terasa begitu menyegarkan setelah sesi pelajaran yang panjang. Di sana, jauh dari keramaian, ia bisa meresapi ketenangan dunia sekelilingnya. Tidak ada suara guru yang berteriak, tidak ada teman sekelas yang berbicara tentang ambisi atau masa depan mereka. Semua itu terasa sangat jauh dari Yusei yang hanya ingin hidup damai, mengabaikan sorotan dunia yang menuntutnya menjadi sesuatu yang lebih besar.
Namun, ketenangannya itu hanya berlangsung sebentar.
"Tapi kenapa kamu selalu memilih tempat sepi ini, Yusei? Aku sudah bilang, kan? Kita bisa lebih banyak bicara kalau kita duduk bersama!" suara ceria dan agak berisik itu sudah lebih dulu memenuhi telinganya. Akira, sahabat sekaligus rivalnya, muncul dengan senyum lebar dan tatapan penuh semangat. Rambut merahnya yang cerah bergoyang tertiup angin saat ia berjalan mendekat.
Yusei menoleh sekilas ke arah Akira yang kini duduk di sebelahnya, tanpa permisi. Ia hanya mendesah pelan, berusaha menahan rasa jengkel yang perlahan tumbuh. "Akira, aku hanya butuh sedikit waktu untuk sendiri. Kamu tahu itu."
"Tapi kan, kamu selalu sendirian! Ayo, kita harus lebih banyak berbicara. Aku punya banyak hal yang ingin diceritakan tentang rencanaku ke depan, tentang masa depan kita! Kamu nggak penasaran?" Akira mulai bercerita dengan antusias, tangannya bergerak-gerak, menunjukkan betapa besar semangat yang ada di dalam dirinya. "Aku akan jadi penyihir terhebat, mengalahkan semua lawan dan menjadi legenda! Itu sudah pasti!"
Yusei memejamkan mata sejenak, meresapi kata-kata Akira. Setiap kali mereka berbicara, Akira selalu berbicara tentang ambisinya dengan penuh gairah, sementara Yusei lebih suka menjaga ketenangan. Keduanya telah bersahabat sejak mereka dibesarkan di panti asuhan yang sama, tetapi sifat mereka begitu berbeda. Akira, yang berisik dan penuh semangat, dan Yusei yang lebih tenang dan penuh perenungan. Kadang-kadang, perbedaan ini membuat Yusei merasa sedikit terganggu, meskipun ia tahu bahwa Akira tidak bermaksud buruk.
"Tapi kamu tahu, Akira," kata Yusei, suaranya lebih tenang dari biasanya. "Kadang-kadang aku lebih suka menghabiskan waktu sendirian. Aku tidak suka kalau semuanya terlalu berisik."
Akira memiringkan kepala, tampak sedikit bingung, namun tidak kehilangan semangat. "Kenapa sih? Kamu harus terbiasa dengan keramaian, Yusei. Itu bagian dari hidup, kan? Kalau kamu terus-terusan terkungkung dalam kesendirian, bagaimana kamu bisa mencapai apa yang kamu inginkan?"
Yusei mengangkat bahu. "Mungkin aku lebih suka melakukannya dengan caraku sendiri. Tidak perlu terburu-buru."
Akira tertawa. "Ya, itu yang aku suka darimu! Selalu punya cara sendiri." Ia berbaring telentang di atas rumput, menatap langit biru yang cerah. "Tapi jangan terlalu sering menyendiri, nanti kamu jadi terlalu serius. Hidup itu harusnya lebih menyenangkan, kan?"
Yusei hanya mengangguk pelan, tapi pikirannya mulai melayang ke hal-hal lain. Ia tidak bisa melupakan kenyataan bahwa di dunia ini, tidak ada yang benar-benar bisa bebas dari sorotan dan tuntutan. Terutama karena ia adalah satu-satunya yang tersisa dari Klan Shimizu, klan yang kini hanya dikenal sebagai kenangan kelam di dunia penyihir.
Akira terus berbicara, menyebutkan berbagai pencapaiannya yang ia rencanakan untuk masa depan. Setiap kata yang keluar dari mulut Akira seakan penuh dengan ambisi yang tak terbendung, yang mungkin membuat Yusei merasa semakin tertekan dengan harapan dunia yang ada di pundaknya.
Namun, meskipun sikap Akira seringkali membuat Yusei jengkel, ia tidak bisa membantah bahwa sahabatnya itu memberikan warna dalam hidupnya yang sunyi. Tanpa Akira, hidup Yusei mungkin akan semakin membosankan. Meskipun begitu, kadang-kadang Yusei merasa lebih nyaman berjalan sendiri, jauh dari hiruk-pikuk yang diciptakan Akira.
Tiba-tiba, Akira bangkit dengan wajah penuh semangat. "Aku dapat ide! Ayo kita tantang Kiria lagi, Yusei!"
Yusei menoleh dengan tatapan bingung. "Tantang Kiria? Lagi?"
"Ya! Dia pasti akan kesal kalau kita tantang dia lagi! Aku sudah cukup bosan dengan sikap sombongnya. Kali ini, aku akan tunjukkan siapa yang lebih hebat!" Akira berkata dengan percaya diri, meskipun Yusei tahu bahwa Kiria Akazuchi adalah salah satu murid terbaik di akademi, bahkan lebih berbakat daripada mereka berdua.
Yusei menghela napas. "Aku tidak yakin itu ide yang bagus."
"Tentu saja! Kita bisa menunjukkan padanya bahwa kita bukan orang yang bisa dianggap remeh!" Akira tersenyum lebar, seperti selalu, siap untuk memulai tantangan baru. Yusei tahu bahwa sekali Akira sudah mendapatkan ide dalam kepalanya, dia tidak akan bisa dihentikan. Meski begitu, Yusei tidak bisa menahan senyum tipis. Tanpa disadari, ia menikmati ketegangan yang muncul dari sikap Akira yang begitu percaya diri.
Saat mereka berdua menuju lapangan, mereka melihat Kiria sedang berbicara dengan beberapa murid lain di dekat pohon besar. Kiria, dengan postur tegap dan rambut hitamnya yang selalu rapi, tampak tidak terganggu dengan perhatian yang mengelilinginya. Ketika dia melihat Yusei dan Akira mendekat, senyum sinis muncul di wajahnya.
"Ah, kalau bukan kalian berdua, siapa lagi?" kata Kiria, suaranya penuh ejekan. "Ayo, apa yang ingin kalian bicarakan kali ini? Sudah siap menyerah sebelum bertarung?"
Akira menyeringai, seolah tidak peduli dengan sindiran itu. "Tidak, Kiria. Kami datang untuk menguji seberapa hebat kamu kali ini."
Yusei menatap Kiria tanpa ekspresi, namun dalam hati, ia merasa sedikit cemas. Kiria memang seorang ahli dalam banyak hal—terutama dalam penggunaan sihir petir. Tantangan seperti ini selalu berisiko.
"Jadi, kalian benar-benar ingin melawan aku?" Kiria bertanya dengan nada meremehkan. "Baiklah, kalau itu yang kalian inginkan."
Pertarungan pun dimulai. Yusei dan Akira saling berhadapan dengan Kiria di tengah, meskipun Yusei lebih memilih untuk mengamati dari samping. Akira melangkah maju, menantang Kiria dengan penuh semangat. Meskipun Yusei tidak terlalu tertarik dengan adu kekuatan ini, ia tetap tahu bahwa tantangan ini bukan hanya tentang mengalahkan Kiria, tetapi juga tentang menunjukkan bahwa mereka tidak akan kalah begitu saja.
Sihir petir milik Kiria menyambar dengan cepat, namun Akira mampu menghindar dengan gesit. Di sisi lain, Yusei mengamati pergerakan mereka dengan mata tajam, menilai setiap gerakan dengan penuh perhitungan. Meskipun ia tidak ingin terlalu terlibat dalam perkelahian ini, Yusei tahu bahwa untuk melindungi sahabatnya, ia harus siap kapan saja.
Tak lama kemudian, Akira mulai tampak kelelahan. Sementara itu, Kiria tetap tenang dan sigap, seperti biasa. "Kamu pikir bisa menang dengan semangat saja, Akira?" ejek Kiria. "Tanpa kemampuan yang cukup, kalian berdua hanya akan kalah."
Akira tersenyum, meskipun kelelahan. "Jangan terlalu yakin, Kiria."
Tiba-tiba, Yusei melangkah maju. "Cukup, Akira. Kita tidak akan mendapatkan apa-apa dari ini."
Akira menatap Yusei dengan cemas, namun akhirnya ia mundur. "Tapi—"
"Aku katakan cukup," Yusei mengulang, dengan suara yang lebih tegas.
Kiria tertawa sinis. "Kalian memang menyebalkan, Shimizu. Tapi kali ini, aku menang."
Yusei menatapnya dengan tenang. "Mungkin. Tapi ingat, Kiria, tantangan ini bukan tentang menang atau kalah. Ini hanya tentang membuktikan bahwa kita tidak akan terpuruk hanya karena kamu menganggap diri sendiri lebih hebat."
Akira dan Yusei kemudian berbalik, meninggalkan Kiria yang masih dengan tatapan penuh kebencian. Meski mereka kalah dalam perkelahian, Yusei tahu bahwa pertarungan ini bukan tentang kemenangan fisik. Ini tentang mempertahankan harga diri, bahkan jika harus menghadapi dunia yang tak pernah berhenti menilai.
Dan meskipun jalan mereka terasa penuh tantangan, Yusei tahu bahwa dia tidak akan pernah berjalan sendirian—terutama dengan Akira di sisinya